Kamis, 03 Maret 2016

Lara

Panggil aku Lara. Aku gadis berusia 23 tahun. Seperti namaku, kisah cintaku juga melara. Karena aku hanya bisa bermimpi tentang cinta. Cinta yang entah kapan akan bersambut.

Ya. Mungkin aku tidak tahu diri, jatuh cinta pada Leo, lelaki super terkenal bak boy band di kampusku. Tidak hanya tampan, Leo juga lelaki yang ramah dan baik hati. Aku kenal betul dengannya, karena rumah kami berdekatan. Sejak dulu kami susah bertetangga. Tapi entah kenapa,
walau aku tahu Leo lelaki yang baik dan tidak pilih-pilih teman, aku selalu takut untuk menghampirinya. Maka, hingga kini hanya mampu menatapnya dari jauh, mengaguminya selama bertahun-tahun. 

Apakah dia mengenalku? Entahlah, aku rasa tidak. Karena aku terlalu takut dan tidak percaya diri untuk bergaul, terlebih kepada Leo. Leo yang beberapa tahun lalu datang sebagai tetangga baru di komplek rumahku. Dan dengan sangat cepat, berhasil menyedot perhatian warga-warga satu komplek, terutama para gadis tentunya.
ilustrasi: nyaplok di google
"Maaf." Hanya itu kata yang mampu keluar dari mulutku  saat kami tak sengaja hampir bertabrakan di koridor kampus, atau di komplek perumahan. Sambil menunduk--tak berani menatap, dan membungkukkan badan berkali-kali, lahi-lagi hanya satu kata saja yang bisa keluar dari bibirku. "Maaf." Jantungku serasa mau copot jika berada pada jarak sedekat ini dengannya. Maka, tidak ingin mengambil resiko karena Leo mendengar detak jantungku yang sudah tak beraturan dan pipiku yang mulai memerah, aku segera berlalu darinya.

Ah... Betapa bodohnya aku. Kenapa kesempatan seperti itu aku lewatkan begitu saja? Bukankah seharusnya aku bisa berteman dan berkenalan lebih dekat dengannya? Namun aku, tetaplah aku. Lara, gadis berusia 23 tahun, yang hanya mampu menjadi seorang pengagum rahasia. 

Sore ini, aku duduk di bangku stasiun kereta, menunggu Leo. Sabtu sore, adalah jadwal Leo latihan basket. Dan itu berarti, aku di sini akan melihatnya dengan penampilan yang entah kenapa membuatku semakin menyukainya. Sebentar lagi, seperti biasa, Leo akan tampak menunggu kereta dengan seragam basket tanpa lengan yang basah oleh keringat. Sebuah bola basket di tangan kanan, dan bahu kiri menyandang ransel yang berisi air minum di saku samping, dan handuk kecil di talinya. Ah Leo, dia semakin mempesona bila seperti ini.

Aku memilih posisi bangku yang bersebrangan dari tempat Leo menunggu kereta. Karena dengan posisi seperti ini, aku bisa menatapnya lebih leluasa, tanpa ia perlu tahu ada aku yang selalu menunggu, menatapnya dari jauh.

Aku melirik jam, pukul 17.45 Wib, seharusnya Leo sudah di stasiun sejak jam 17.30 tadi. Lihatlah, betapa aku sudah hapal tiap menit, bahkan detik kegiatannya. Aku mulai resah, mungkinkah terjadi sesuatu padanya? Mungkinkah ia mengalami cedera ketika latihan basket? Rasa khawatir menyelimutiku. Beberapa hari belakangan, Leo memang terlihat sedikit pucat. Sepertinya ia sedang kurang enak badan.

Pukul 17.57 wib, aku kembali melirik jam, Leo masih belum terlihat. Mungkinkah Leo pulang bersama temannya? Atau Leo ada latihan tambahan hingga malam? Atau memang benar-benar telah terjadi sesuatu padanya? Berbagai pertanyaan kembali berkelebat di benakku. 

Hari semakin gelap, adzan maghrib sebentar lagi akan berkumandang. Aku memutuskan untuk pulang, walau rasa khawatir terhadap keadaannya masih terus saja terlintas. Leo, apakah kamu baik-baik saja?
Aku kembali ke parkiran, mengambil motor untuk bergegas pulang saat tiba-tiba terdengar seseorang menyapaku, "Hai, Lara. Kamu Lara, kan?"

Aku menoleh ke arah suara. Leo? Ya Tuhan, benarkah ini Leo? Seketika jantungku berdetak tak karuan. Rasanya aku sulit bernapas, aku butuh oksigen tambahan.

"Hei... Kok malah bengong? Kamu Lara, kan? Yang tinggal satu komplek denganku?" tanyanya lagi, seraya mengibas tangan di wajahku.

"Eh... A...aku, iya aku Lara," jawabku tergagap.

"Kamu mau pulang? Aku boleh nebeng, nggak? Kereta pada penuh kayaknya. Aku telat tadi, ada latihan tambahan." Kini Leo sudah berada persis di sampingku. Beberapa detik, aku masih bergeming. Berusaha meyakinkan diri, bahwa yang di hadapanku kini adalah Leo. 

"Eh. Kok bengong lagi, sih? Boleh nebeng, nggak?" Leo mengulangi pertanyaannya, yang segera aku balas dengan sebuah anggukan tanpa kata.

"Udah, biar aku yang bawa." Leo memberi isyarat agar aku turun dan duduk diboncengan. Aku menurut tanpa kata. Pikiran dan perasaanku masih meraba-raba, benarkah ini nyata?

Sore ini, saat langit menggurat warna keemasan, ada rasa yang sulit untuk dikatakan. Ya Tuhan, mimpikah aku? Jika ini benar mimpi, aku tak ingin terjaga. Biarkan aku bermimpi selamanya.
-Cici Putri-
@ciciliaputri09

 

16 komentar:

  1. Lara bangun Lara.. jangan kelamaan mimpinya.. hehehe
    Blognya kumpulan cerpen ya?
    Bagus :))

    BalasHapus
  2. Hhehe. Nggak kok mba. Ini blog isinya random. Gado2. :D

    BalasHapus
  3. Hai Lara, semoga awal yang baik ya dengan pulang barengnya sama Leo, hehe

    BalasHapus
  4. Lara...
    Jangan pegangan pinggang Leo ya. Bukan mahramnya. Hahahaha.


    Manis kok Ci. Tapi saran aja, endingnya dibikin para pembaca penasaran. Biar lebih greget n ninggalin kesan gimana gitu sama cerita ini. Hehe. Btw, diksi di tulisan Cici makin oke loh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaakkk... Ini seriusan Emud blg diksi aku makin oke? Kalau Emud yg blg, aku jd melayang. *nyari pegangan*


      Motornya lara pake pembatas triplek kok, Emud. Wkakaka.

      Hapus
    2. Serius. Gini2 aku kan rajin blogwalking ke blog member OWOP land, hehe. Jadi ya... lumayan paham si A tulisannya gini, B gitu, C begono. Haha.

      Ya ampun... Kesian... Si Lara :)))

      Hapus
  5. Ini tidak bersambung ya, Ni?

    Setuju, diksinya keren. :D

    Suka!^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih ragu, mau bersambung atau tidak. Atau fika mau buat lanjutannya? Bisa sambung cerita nih kita. :)

      Hapus
  6. Lara udah bangun kan sekarang?

    BalasHapus
  7. Lara ungkapkan aja...nanti menyesal lho

    BalasHapus
  8. Nggak nyangka, banyak yang support n prihatin ama Lara. Hahaha.

    Makasi bua smua yg udh singgah :D

    BalasHapus
  9. Diksinya bagus. Ayuk bikin sambungannya bergantian. Siapa tau ini terobosan yang bikin ODOP mendunia. #mimpi harus tinggi. :D

    BalasHapus