Jumat, 25 Maret 2016

Kulkas, ada?

Setelah kemarin nulis tentang hati yang suka ngedumel dengan yang itu-itu aja, kali ini mau bahas yang berkaitan dengan kajian (lagi).

Hmmm... Jadi ceritanya--entah kenapa--tiba-tiba teringat waktu dulu pernah ikut kajian. Waktu itu bahas tentang apa ya... lupa. Hehehe. Tapi intinya sih, waktu itu Pak Ustadz bertanya sama jama'ahnya (baca:peserta kajian), "Jadi, berapa orang di sini yang sudah ada buku tafsir di rumahnya?"

Dan seketika hening. Peserta kajian saling pandang--sambil menunduk-nunduk tentunya. Karena tak satupun ternyata yang mengangkat tangan untuk menyatakan bahwa dirinya punya buku tafsir di rumah.

Pak ustadz menarik napas, dan melanjutkan pertanyaan, "Kalau kitab fiqih? Siapa yang punya kitab fiqih di rumahnya?" Kembali peserta menunduk dan saling pandang. Pak ustadz menarik napas--lagi.

"Oke. Kalau pertanyaanya saya ganti. Kalau yang ini saya yakin rata-rata pasti angkat tangan dan menjawab ada. Siapa yang di rumahnya ada kulkas?"

Deg. Peserta langsung terdiam--beribu-ribu bahasa. Tertohok dengan pertanyaan yang diajukan. Mereka--termasuk aku, tentunya mulai mengerti ke mana arah pertanyaan dari sang ustadz.

"Ada kan, Bu?" Peserta mesam mesem, cengengesan.
"Kalau tv? Handhpone? Pasti juga ada kan, Bu?" Peserta makin tertohok.
"Kira-kita mahalan mana kulkas sama kitab tafsir, Bu?" Peserta terkunci mulutnya. Merasa tertampar jiwanya.
"Jadi, Bu. Bisa atau tidaknya kita membeli sesuatu, sebenarnya bukan faktor mahal atau tidaknya. Tapi apakah kita mau dan merasa butuh atau tidak. Itu saja. Jika kita merasa lebih butuh kulkas dari kitab tafsir Qur'an dan kitab fiqih, tentu kita akan memprioritaskan kulkas dari kitab-kitab itu. Begitu juga sebaliknya, jika kita merasa kitab tafsir dan fiqih lebih kita butuhkan dalam hidup kita sebagai pedoman dan pencas ruhiyah kita, sebagai jalan kita memahami kalam-kalam-Nya, tentu kita akan prioritaskan membelinya dari pada kulkas, tv, AC, dan lain sebagainya."

Pak ustadz menarik napas sejenak, menatap para peserta kajian. Sepertinya sang ustadz mengerti, bahwa para peserta sedang tertampar jiwanya, maka sang ustadz melanjutkan, "Tidak masalah jika sekarang memang belum ada dan belum merasa butuh, tapi saya akan do'akan, semoga kita semua di sini, termasuk orang-orang yang bisa memilah dan memilih dengan baik, mana yang lebih prioritas dalam kehidupan dunia dan akhiratnya." Pak Ustadz pun tersenyum. Peserta terlihat sedikit lega, termasuk aku.

Dan mulai saat itu, aku sudah mulai bertekad, suatu saat nanti, aku akan beli kitab tafsir dan fiqih. Dan saat tulisan ini dibuat, alhamdulillah...Allah izinkan aku sudah memiliki salah satunya, kitab fiqih. :)

#SemogaNggakSekedarJadiPajangan




11 komentar:

  1. Saya bacanya juga ngrasa ketampar Mbak ... Hikss...

    BalasHapus
  2. moga pak ustazt nya ngga nanya "kalau buku novel banyak kan bu?"

    Seketika saya ke dapur ngambil cemilan

    BalasHapus
  3. moga pak ustazt nya ngga nanya "kalau buku novel banyak kan bu?"

    Seketika saya ke dapur ngambil cemilan

    BalasHapus
  4. plak!
    saya jadi ketampar juga nih...

    BalasHapus
  5. Hehehe berasa ditabok deh.. kemaren udah ada niat sih beli kitab tafsir dan fiqh.. tapi belum terwujud udah beli novel aja., hahaha #plaaaakkkk

    BalasHapus
  6. kokkena tabok lagi ya..
    Aduh kemaren postingan cici juga menabok saya

    BalasHapus
  7. reminder buat kita ,, hh
    thanks mbaa

    BalasHapus
  8. benar, mba.. miris sekali saat ini.. Fenomena teknologi.. Kitab-kitab dan pengajian kian tak dihiraukan.. Tulisan yang luar biasa..Peringatan untuk kita semua

    BalasHapus