"Kamu kenapa lagi sih, Dar? Itu rambut yang tadinya lurus, bisa jadi keriting loh, gara-gara kamu acak-acak gitu terus." Kalimat standar yang selalu diucapkan Rina setiap kali melihat reaksiku yang seperti ini. Tapi kali ini ada yang berbeda, karena otomatic reply-nya itu tidak disertai dengan ekspresi datar atau sebal. Justru kini dia memasang wajah menahan tawa.
"Ini nih, mamaku, kenapa coba pake nyuruh-nyuruh anaknya cepetan nikah? Pake dikasih deadline lagi! Udah kayak tugas kuliah aja tauuk, pake deadline segala." Aku mendengus sebal. Rina malah tertawa, nyaris menyemburkan kuah bakso yang baru saja masuk ke mulutnya.
"Udah aku duga. Haha."
"Maksud kamu?" Aku mendelik.
"Iya, udah aku duga. Itu pasti kejadiannya gara-gara kamu nolak calon yang disodorin mama kamu kamarin, kan? Jadi sekarang kamu disuruh nyari sendiri? Haha." Rina kembali tertawa, terlihat puas dengan penderitaan yang aku alami.
"Kamu, bukannya ngasih solusi, malah ngetawain aku."
"Ya deh. Sorry, sorry. Jangan marah gitu dong, neng. Ntar cantiknya ilang, jodohnya nggak jadi datang. Hehe." Rina menggodaku--godaan yang sama sekali nggak lucu untuk situasi seperti ini.
Aku mengaduk-aduk asal bakso yang tadi kupesan, sms dari mama barusan benar-benar membuatku kehilang selera makan. Padahal biasanya, jika sudah berada di depan semangkok bakso, aku sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk membuat mangkoknya mengkilat, menghabiskan seluruh isinya. Nikah kok pake deadline, teori macam apa itu? Aku bersungut-sungut sambil terus mengaduk-aduk asal bakso yang ada di hadapanku, menambahkan kecap, saos, cabai, tambah kecap lagi, cabai lagi, saos lagi--pikiranku entah kemana.
"Ya ampun Daaar. Itu bakso mau kamu apain?" Rina berseru sambil menahan gerakan tanganku yang entah sejak kapan terus saja mereka ulang adegan menambah saus dan kecap ke dalam mangkok bakso.
"Yah. yah.. Ini kenapa bakso aku jadi kayak gini?" Aku melongo menatap semangkok bakso yang sudah tak layak untuk dimakan.
"Hmmm... Parah nih anak. Baru disuruh nikah aja kayak gini."
"Kamu sih, nggak ngerasain berada di posisi aku. Sebenernya aku bukannya nggak mau nikah, Rin. Tapi, kalau didesak-desak gini mana bisa, coba? Emangnya nyari suami kayak beli baju? Tinggal pilih mana yang suka, trus bayar. Kan enggak..."
"Terus, rencana kamu selanjutnya gimana?"
"Entahlah..." jawabku mengangkat bahu. "Kamu ada ide?"
"Hmm... Gimana kalau..."
"Kalau apa?" tanyaku tak sabaran.
Bersambung...
"Gimana kalau tak kenalin sama kakakku aja?", kata Rina
BalasHapus#aslingarang :-D
heee..untung umi ayahku pengertian..ga ngasih deadline *opss
Semangat ngejar deadline ya..eh.
BalasHapushahahaha, deadline oh deadline, ada aja, ditunggu lanjutannya
BalasHapusAyo mba. Aku siap
BalasHapusHahaha
Wah muantappp mbak semoga berhasil, Ahi hi hi.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWaahh kalau apa ya?? Ditunggu kelanjutannya..
BalasHapusLoh, loh, kenapa ceritanya dipotong ini? Kalau gak cepet disambung ceritanya, kasian kan nanti si "Aku" digetok sama Mamanya, gara2 kelewat deadline-nya.
BalasHapushmm,, tulisan mbak cici slalu ajaa bikin penasaran,,
BalasHapusoke, ditunggu chapter selanjutnya^^
Jaman saya dulu, tnpa ba bi bu ... lgsg tembak di tempat tuch cewek.
BalasHapusSudah sepeti jaman siti nurbaya saja mbak :D
BalasHapusDi tunggu ya mbak kelnjutan ceritanya :D
Hmmm, ceritanya benar2 menohok. Bagaimana mnrt tmn2 sndiri.klo nikah di kasi.deadline? Mau kuliah s2 aja.dsuruh nikah duluuu hmmmm ....
BalasHapusHmmm, ceritanya benar2 menohok. Bagaimana mnrt tmn2 sndiri.klo nikah di kasi.deadline? Mau kuliah s2 aja.dsuruh nikah duluuu hmmmm ...
BalasHapus