Jumat, 28 Agustus 2015

Curhat 40 tahun



Hai, Di!
Kamu lagi ngapain? Aku gak ganggu kan?
Eh, tapi bodo amat sih mau ganggu apa gak, kamu kan udah janji mau jadi teman setiaku. Mendengarkan dengan setia segala keluh kesahku. Hehe.

Oh ya, Di. Hari ini aku mau cerita tentang mimpi-mimpiku. Tentang cita-citaku di masa depan. Kamu mau denger kan?

Jadi gini, Di. Aku udah buat rancangan nih ya... Di umur 40 tahun nanti aku mau udah mecapai puncak kesuksesan aku. Gak cuma sukses di dunia Di, tapi juga sukses untuk mempersiapkan diri di akhirat nanti.
Kamu masih inget kan, waktu itu aku pernah bilang kalau aku pingin mengamalkan ilmu yang aku dapat di bangku kuliah dulu? Aku pengen buka BMT Di, semacam koperasi syari'ah gitu. Waaah... kebayangkan gimana serunya kalau nanti aku bisa punya BMT sendiri? Aku pengen bisa bantu orang-orang yang ekonominya kekurangan buat bisa survive dengan usaha tangan mereka sendiri, bahkan kalau ada yang gak punya skill, bakal aku kasih pelatihan gratis. Nanti tuh ya, aku bakal bina ibu-ibu biar bisa punya keterampilan buat bantu ekonomi keluarga. Aku juga bakal buat sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu.
Bakal aku jadiin ini semua menghasilkan pundi-pundi kekayaan, kekayaan dunia dan akhirat tentunya.

Di usia aku 40 tahun nanti, aku juga pengen udah punya buku. Menulis buku. Gak cuma 1,2 buku, tapi setidaknya aku pengen punya 10 buku yang aku tulis sendiri. Buku tentang wanita, cita, cinta, dan do'a.
Aku ingin menjadi wanita yang bisa menginspirasi banyak orang.
Yahhh... walaupun kamu tahulah Di, aku sekarang masih jauh dari itu semua.
Tapi, itu pasti bisa terjadi asal aku maksimalin do'a dan usaha kan Di?

Oh ya, kalau aku nanti dapet suami yang sama-sama suka baca tulis, aku pengen nulis buku bareng ama dia Di, selain buku nikah loh ya... hehe. Kayak Setia Furqon Kholid dan Ina, atau kayak Kang Canun dan Teh Fufu. Pasti so sweet deh. Hehe.
Ngayal aku ketinggian lagi ya, Di?
Ah, tapi bodo amat deh. Mumpung mimpi masih gratis. Haha.
Kamu jangan ngetawain aku ya, Di.

Di usiaku 40 tahun nanti, aku juga pengen ngeliat anak-anakku udah jadi penghafall qur'an. Walaupun sekarang, yaaa... lagi-lagi kamu tahu deh aku masih gimana. Masig jauh dari penghapal qur'an Di. Tapi... setidaknya aku punya azam dan cita kan?

Di, sebenernya masih banyak lagi sih mimpi-mimpi aku yang ingin aku ceritain ke kamu. Yang bakal jadi puncak keberhasilan aku di usia 40 nanti. Tapi, kayaknya itu dulu deh ya... kapan-kapan kita sambung lagi.
Sang Maha Cinta udah memanggil, Di. Saatnya munajat dulu nih. Sholat maghrib.

Maafin aku ya... Lagi-lagi habis curhat kamu aku tinggal. Tapi, aku yakin kamu gak marah kan, Di? Karena kamu emang temen sejati aku dari dulu.

Bye Di, kamu emang selalu setia menemani.
Thank's a lot, karena udah selalu mau jadi tempat curhat aku.

Arigato Dipi. Diary Pinky.
Muaaaachh...

-cici putri-

Kamis, 27 Agustus 2015

BAPER

Baper
Kata yang akhir-akhir ini lagi nge-hits di kalangan anak muda. Baper alias bawa perasan, yang bisa diartikan sebagai kondisi seseorang yang sensitif gitu deh, apa-apa dimasukin hati, apa-apa bawa perasaan.
Baper
Kata yang biasa dikaitkan, dihubung-hubungkan dengan mereka yang sedang jatuh hati, atau sekedar PeDeKaTe tapi gak pernah dapat hati, malah keseringan gigit jari. #Eh

Baper
Suatu kondisi saat hatimu sensitif banget. Gak bisa liat orang senyum dikit, tetiba ingat dia. Liat kucing tetangga gak mau makan, langsung ingat dia. Bawaanya jadi melow, padahal dianya mah selloww... haha.

Baper
Saat orang yang kamu suka bilang, "Makasi ya, kamu emang baik banget. Pasti beruntung deh orang yang bisa dapetin kamu." Tetiba langsung baper, menghayal bakalan ditembak ama si dia, padahal mah sebenernya dia lagi nyari yang lebih dari kamu, biar gak cuma beruntung. Tapi, teramat sangat beruntung banget. *Ok, kata-kata yang terakhir ini lebay*

Baper
Kondisi hati yang gampang tersentuh, mudah terhenyuh, karena semuanya dimainin di hati, jarang pake logika lagi, lebih jarang dianalisa lagi, yang dia tahu hanya apa yang dirasa dalam hatinya.

Baper
Jadi sebenernya makhluk apa sih Baper ini? Kenapa aku jadi bahas dia panjang kali lebar sehingga menjadi luas begini??? Hahaha... *Jangan-jangan kamu yang lagi baper, Ci* #Plakk

Baper
Jadi sebenernya baper itu penting gak sih? Hmm... gimana ya? Menurut aku sih baper itu "Penting gak penting, dibilang gak penting, penting!" *Lah, kenapa jadi kayak slogan acaranya Jo***** #Sensor #Abaikan

Oke, jadi gini Guys. Buat kamu yang suka baper, aku kasih peci nih ya... *Lah,kenapa dikasih peci??? Kan belum mau foto akad nikah???* Haha... Ini bukan peci yang itu, tapi PeCi alias Peribahasa Cici, "Buanglah Baper Pada Tempatnya". *Whhaaaaat????? Bapernya suruh dibuang????? Zoom in, zoom out ala sinetron*

Iya, sekali lagi nih ya... "Buanglah baper pada tempatnya". Atau tempatkanlah baper pada tempatnya, jangan sembarangan membuang dan menempatkan bapermu. Karena salah-salah kamu malah kena batunya, sakit sendiri hatinya, mewek jadinya dan kemudian mau mati saja. Hiks... :'( Jangan sampai ya, Guys.

Sebagai anak muda yang kece, kamu harus baper pada tempatnya. Kalau kamu bisa baper sama dia, kenapa gak bisa baper juga sama DIA???

Kalau denger dia manggil aja kamu udah berbunga-bunga, lalu kenapa kalau DIA yang manggil biasa aja?

Kalau denger dia nyebut kamu trus muji kamu, kamunya langsung meleleh. Lalu kenapa saat DIA menyanjung dan bahkan akan memberi cinta yang lebih ke kamu, kamu biasa aja, seakan gak peduli ama perasaan-Nya?

Kalau dia bilang, dia suka sama cewek yang berjilbab, yang kalem, yang lembut, trus kamunya langsung berubah. Hey, DIA udah lebih dulu bilang itu ke kamu, Girl! Lebih indah, karena kata-katanya disampaikan melalui surat cinta sepanjang masa. Lalu kenapa selama ini kamu mengabaikannya?

Guys! Kita ini generasi muda, generasi penerus bangsa, generasi cerminan agama. Jika kita lemah, hanya sibuk dengan dunia yang semakin gak jelas arusnya, lalu mau jadi apa bangsa kita ke depannya? Bukankah majunya suatu negara dilihat dari produktivitas pemudanya?
Saatnya bangkit, Guys! "Buanglah baper pada tempatnya"
Tempatkan baper di tempat yang selayaknya.

Baperlah saat melihat teman-temanmu menghabiskan waktu untuk games yang gak jelas manfaatnya.
Baperlah saat melihat di sekelilingmu masih banyak orang-orang yang membutuhkan uluran tangan.
Baperlah saat agama dipermainkan.
Baperlah saat halal dan haram tidak lagi menjadi prioritas kehidupan.
Baperlah saat melihat pemuda justru bangga dengan selfie dari pada berbagi.
Baperlah saat banyak yang membutuhkanmu, tapi kamu gak bisa memberikan apa-apa.
Baperlah saat DIA berkali-kali membelaimu dengan teguran dan kasih sayang, justru kamu mengabaikan-Nya.
Baperlah ketika usia semakin bertambah, namun engkau tak jua berbenah.
Baperlah ketika disebutkan nama penghuni syurga itu, namun namamu tak masuk di dalamnya.

Selagi masih ada waktu, selagi masih ada DIA tempatmu mengadu. Kepolah sebanyak-banyaknya tentang-Nya, agar kamu bisa baper ketika mendengar nama-Nya.
Karena Rajin kepo pangkal baper. Maka buanglah baper pada tempatnya.
Semangat berkarya, semangat menjemput surga.

Salam cinta penuh semangat, dari seseorang yang berusaha taat.
#PeCi
#PenaCici
#PeribahasaCici

-cici putri-
@ciciliaputri09

Selasa, 18 Agustus 2015

Hidup Tak Sempurna

"Bu, aku ingin merantau". Kataku pada ibu. Saat itu langit sedang memperlihatkan warna jingganya. Pertanda sang malam kan datang menyapa.

"Kenapa kamu ingin merantau, Nak? Bukankah di sini kita sudah bisa hidup damai. Jauh dari hingar bingar kota. Di sini kita bisa menghirup udara segar setiap hari. Masyarakat hidup rukun, dan rasa kekeluargaan masih kuat terasa. Untuk keperluan sehari-hari alhamdulillah, kita juga masih punya kebun untuk digarap. Di sini juga kita dekat dengan sanak saudara, jadi mudah kalau-kalau kita butuh sesuatu." Kata ibu seraya membereskan sampah-sampah bekas anyaman tikarnya. Ibu memang suka mengayam. Beberapa hasil anyaman tikarnya terkadang dijual jika ada yang berminat.


"Tapi Bu, aku ingin kehidupan yang lebih baik. Aku merasa di sini aku tidak bisa berkembang. Aku ingin kehidupan yang lebih maju. Punya rumah gedung, mobil, banyak relasi, pakai dasi, baju rapi seperti orang-orang di televisi bu. Aku ingin merasakan sukses seperti mereka." Aku menjelaskan dengan semangat menggebu.

"Apa kamu sudah pikirkan masak-masak?"

"Sudah, Bu. Aku sudah memikirkan semua ini jauh-jauh hari."

"Lalu, keputusanmu ini sudah bulat? Yakin kamu ingin merantau?" Ibu kembali bertanya, sepertinya ia ingin memastikan seberapa besar keinginanku untuk merantau.

"Iya, Bu. In syaa Allah. Keputusanku sudah bulat. Aku juga sudah menghubungi temanku yang di Jakarta. Dia bilang, jika aku memang ingin ke Jakarta, dia akan bantu mencarikan pekerjaan untukku. Sekarang, aku hanya butuh restu dari ibu. Jika ibu izinkan aku akan berangkat besok lusa. Untuk biaya, ibu tidak perlu khawatir, aku punya sedikit tabungan." Jelasku meyakinkan.

"Baiklah, Nak. Jika keputusanmu itu sudah bulat, ibu merestui. Berangkatlah. Ibu do'akan semoga kamu sukses di rantau sana. Jangan lupa untuk selalu berkirim kabar pada ibu."

"In syaa Allah, Bu. Jika sudah di Jakarta nanti aku akan selalu kirim kabar pada ibu."

"Semoga kamu sukses." Ibu memeluk dan mencium keningku.

Tiiiiiiin... Tiiiiiiiiin....

Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Pengemudi mobil di belakangku terlihat mulai marah-marah, karena aku terlambat merespon si lampu hijau. Jalanan padat. Macet tak dapat dihindari. Pulang malam, berjam-jam antri dan terjebak di jalanan. Itu semua nyaris setiap hari ku rasakan. Ya beginilah ibukota, tempat yang ku pilih beberapa tahun lalu. Saat aku memutuskan pilihan untuk merantau. Kini aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Rumah, mobil dan jabatan. Tapi, satu yang tak bisa ku dapatkan di kota ini, yaitu kedamaian.

Tiba-tiba aku rindu. Rindu saat-saat menghabiskan nasi dengan sambal terasi buatan ibu di ladang. Rindu saat sore hari aku duduk bernyanyi, menemani ibu mengayam tikar ditemani secangkir kopi. Rindu saat ibu marah-marah karena aku masuk rumah dengan kaki berkubang tanah.
Rindu. Ah. Aku rindu semua itu.

Kini aku tahu ibu. Aku ingat kata-katamu. Saat aku hendak berangkat dulu, kau pernah bilang padaku, "Nak, jika kau ingin kehidupan yang sempurna, maka kau takkan pernah mendapatkannya. Tapi jika hatimu mampu menerima semua apa adanya, maka semua kan terasa sempurna. Baik itu teman, kerabat, ataupun harta kekayaan, semuanya tidak ada yang mampu membuat hidup ini sempurna. Yang kita bisa lakukan adalah berusaha untuk menerimanya dengan sempurna dan selalu bersyukur atas apapun pemberian dari-Nya".

-cici putri-

Ilustrasi oleh : Santoso Permadi



Tembok



Aku tahu kamu benci
Aku tahu kamu tak suka ini

Kamu benci jika di antara kita ada spasi
Kamu tak suka jika di antara kita ada tembok pemisah

Kamu ingin selalu bersama,
tapi aku tak bisa

Aku terus membangun pertahanan,
namun kau juga semakin ingin tuk  runtuhkan.

Mungkin dulu aku dan kamu satu,
tapi kini aku tahu,
bahwa kita tak seharusnya begitu.

Aku ingin kepastian
Sedangkan yang kau berikan hanya harapan.

Bukan cintamu yang salah
Tapi aku ingin kita lebih terarah
Kepada cinta yang menuju Jannah.

Apakah akhirnya kita kan bersatu?
Bersama-sama meraih Jannah itu?

Atau kau dan aku hanya akan menjadi kenangan dalam lembaran "kelam" di masa lalu?

Jika kau mau
Aku akan hentikan tembok pertahanan ini
Agar kita bisa membangun bersama
Tembok-tembok peradaban cinta kita
Dalam balutan kasih dan sayang-Nya

Bersamamu aku mau,
Menuju surga itu.

#MalamNarasiOWOP

-cici putri-
@ciciliaputri09

Sastrawan Musik

Sastrawan musik. Begitu aku menyebutnya. Pria misterius yang tanpa sengaja aku temui di salah satu sudut perpustakaan berlantai lima di daerahku, diam-diam telah menarik perhatianku. Dia yang jarang bicara, mengasingkan diri dari dunia luar. Setiap hari hanya menghabiskan waktu di ruangannya, menyendiri. Hanya mesin tik tua yang menjadi sahabat setianya. Sekilas tidak ada yang aneh dengan pria paruh baya dan mesin tik tuanya itu, tapi yang menarik perhatianku adalah bagaimana caranya seorang yang sedang menulis menggunakan mesin tik, bisa menghasilkan bunyi ketukan seperti tuts-tuts piano? Bahkan tak jarang ku dengar, dia bukan sedang mengetik, melainkan sedang memainkan piano. Indah sekali. Tak jarang aku terhanyut, dalam nada-nada syahdunya. Pernah aku bertanya pada penjaga perpustakaan, siapa pria di ruangan pojok itu sebenarnya, penjaga perpustakaan tidak bisa memberikan keterangan banyak, ia hanya mengatakan bahwa pria tersebut adalah sastrawan yang meminta tempat untuk beberapa waktu di perpustakaan ini. 

"Mau ke ruangan itu lagi, Nay?" Tanya Gita.

"Iya, aku ingin mendengarkan lantunan melodi dari tuts-tuts mesin tik ajaib itu lagi."



"Hmmm..." Gita menarik nafas, "kamu emang pemberani ya, Nay. Pria aneh gitu kok malah kamu kepo-in. Udah kayak fans setia dia aja kamu. Kamu gak takut apa? Kalau tiba-tiba di sana kamu disekap sama dia?"

"Ah, kamu ada-ada aja, Git. Aku malah gak kepikiran sampai ke situ. Lagian aku rasa dia pria baik kok, buktinya pemilik perpustakaan ini memberikan tempat untuknya." Jelasku.

"Ya, itu sih terserah kamu. Kalau masih mau ke sana ya silahkan. Tapi, maaf nih kali ini aku gak bisa nemenin, buku yang aku cari belum ketemu." Gita meneliti satu per satu buku yang berjajar di rak perpustakaan.

"Ya udah deh gak papa. Lagian kamu mah kalau diajak ke sana, bawaannya pingin pulang mulu. Seremlah, kebelet pipislah. Kayak anak kecil. Huuu...!" Aku meledek.

"Iiih... Kamu, Git. Ngeledek ya?"

"Eits... Gak kena." Aku berhasil menghindari cubitan maut Gita, kemudian berlalu meninggalkan Gita yang manyun karena cubitannya tidak berhasil mengenaiku.

Aku berjalan menuju lantai dasar tempat pria itu biasa berada. Tapi, kali ini aku tidak mendapatinya di sana. Kemana perginya pria itu? Batinku. Aku melihat sekeliling, sosok yang aku cari tetap tidak terlihat.

"Mba, yang biasa ke sini kan?" Seorang penjaga menghampiriku.

"Eh. Iya, Pak" Jawabku sedikit kaget.

"Ini ada titipan buat mba," penjaga itu menyodorkan secarik kertas yang dilipat seperti surat ke padaku. Aku heran, "itu dari pria yang biasa di sini, mba. Tapi sekarang beliau sudah pergi. Habis subuh tadi berangkatnya." Terang pak penjaga.

"Oh. Makasi, Pak." Jawabku sambil menerima kertas itu. Perasaan heran bercampur penasaran bergelut dalam diri. Ku buka kertas itu perlahan, dan membaca pesan yang tertulis di dalamnya.

"Menulislah dengan hati, maka akan kau dapati ketenangan diri. Menulislah yang bermanfaat, maka kan kau dapati balasan hingga akhirat."


#TelPic Night
#OWOP

-cici putri-

Merdeka?

"MERDEKA! MERDEKA! MERDEKA!"

Teriakan itu terdengar di mana-mana. Bahkan dinding-dinding rumah, kantor, gedung, dan jalananpun seolah ikut meneriakan satu kata "MERDEKA".

Tidak hanya itu, para pengguna media sosial pun ikut meneriakan kata yang sama, melalui kicauan, status, bahkan gambar-gambar kreatif di akun-akun mereka. Sekali lagi, semuanya mengacu pada satu kata "MERDEKA".  Tak jarang di antara mereka para pengguna media sosial, membuat sajak, puisi, cerita atau sekedar quote tentang "MERDEKA" menurut versi mereka.

Ah, MERDEKA. Satu kata yang pasti menjadi idaman setiap bangsa, menjadi surga bagi mereka yang dulu pernah dijajah.

MERDEKA. Aku bersyukur kini bangsaku sudah merdeka. Sehingga aku bisa melakukan apa yang ku suka, tanpa takut diancam Belanda.

MERDEKA. Aku bahagia kini bangsaku merdeka. Banyak cita dan cerita indah yang bisa ku lukis di dalamnya.
Negeri yang damai, semua rakyat hidup rukun. Saling berdampingan, perbedaan suku dan bahasa itu bukanlah sebuah halangan. Justru perbedaan itu yang membuat negara dan bangsaku ini semakin kaya. Kaya bahasa, kaya hasil tambangnya, kaya hasil pertaniannya, kaya hasil lautnya. Bahkan menurutku, inilah surga dunia. Semua kekayaan bumi bisa dikatakan di dalamnya.

Ah. Indonesia, aku makin cinta.

Tapi, tunggu dulu. Apakah "MERDEKA" itu hanya imajinasiku? Kemana perginya semua kekayaan itu? Jika benar ini surga dunia, semua kekayaan alam ada padanya, lalu kenapa banyak rakyatnya yang sengsara?
Bahkan belakangan, aku semakin melihat, aku merasakan, bangsaku tidak hanya sengsara harta, tapi juga sengsara hati, jiwa dan pikirannya.

Hati yang kini banyak dirasuki rasa benci, jiwa yang kini semangatnya tak berkobar lagi, dan pikiran yang kini telah terkontaminasi.
Sampai kapankah bangsaku seperti ini?
Apakah benar merdeka itu hanya imajinasi? Atau ilusi penghibur diri?

Ah. Bangsaku. Seperti apapun keadaanmu, aku selalu cinta. Walau ku tahu kini rakyatmu tengah "dijajah" moral, pikiran dan mentalnya.

Bangsaku. Bantu aku untuk bisa memerdekakanmu seutuhnya.


#MerdekaDalamImajinasi
#MalamTantanganOWOP


-cici putri-

Keyakinan

Jika memang keyakinan itu sudah di hatimu,
kenapa kau masih tertunduk diam membisu?

jika memang keyakinan itu sudah di hatimu,
kenapa kau hanya duduk manis di sudut kamarmu?

jika memang keyakinan itu sudah di hatimu,
kenapa masih kurasakan hampa di setiap langkahmu?

jika keyakinan itu benar telah tertanam di hatimu,
kenapa kulihat kau malu menyerukan kebenaran itu?

jika keyakinan itu memang benar di hatimu,,,
maka genggamlah tanganku,
kita satukan tekad.
walau ku tahu perjalanan ini sungguh berat.
tapi, kau jangan khawatir sobat,
cukup mintalah pada-Nya pundak yang kuat.


-cici putri-
@ciciliaputri09