Rabu, 30 Desember 2015

Dulu-Kini

Dulu.
Saat whatsapp tak dianggap. Banyak orang justru merasa lebih keren pakai BBM. Tapi sekarang, aku rasa tidak. Justru mereka yang tidak menggunakan Whatsapp, dianggap kudate (Kurang Update).

Entah kapan atau dari mana fenomena Whatsapp ini bermula. Tapi, yang jelas bagi diriku sendiri, menggunakan Whatsapp pada mulanya bukan karena latah atau ikut-ikutan trend. Karena, sebelum chatting via Whatsapp nge-trend, aku sudah lebih dulu menggunakannya. Dan saat itu, jujur saja. Kontak Whatsapp di HP-ku, masih sepi. Hanya ada beberapa. Grup? Apalagi. Tidak ada satupun.

Namun, seiring berjalannya waktu. Fenomena Whatsapp makin mewabah. Grup makin banyak, bahkan tak terhitung lagi. Walau begitu, aku masih ingat. Bahkan sangat terekam jelas diingatanku, apa nama grup pertamaku. Ya, dialah ODOJ (One Day One Juz). Sebuah komunitas mengaji (Tilawah Qur'an satu hari satu juz). Aku bergabung di komunitas ini pada November 2013. Dan tidak lama, hanya selang 1-2 bulan saja semenjak aku bergabung di komunitas ini, maka Whatsapp langsung mewabah di mana-mana. Pertambahan kontak di HP-ku meningkat drastis. Grup ini itu makin bertebaran. Mulai dari grup kampus, kajian, bisnis, dan lain sebagainya.

Kadang aku berpikir, dulu Whatsapp cenderung terabaikan. Tapi, semenjak ada ODOJ, Whatsapp menjadi perhatian. Dan untuk hal ini, sepertinya Whatsapp harus berterima kasih ke pada ODOJ. Eh, atau ODOJ yang harus berterima kasih pada Whatsapp? Karena waktu itu hanya Whatsapp yang bisa menampung member grup lebih dari 30 orang (Tidak seperti BBM yang hanya 30 orang saja). Ah sudahlah, aku tidak ingin membahas siapa yang harus berterima kasih kepada siapa. Toh, juga tidak ada gunanya. Yang jelas, ODOJ dan Whatsapp (WA) saling membutuhkan.

Dulu.
Banyak di antara kita yang masih begitu awam. Tidak tahu bagaimana menggunakan smartphone, apalagi Whatsapp. Atau, ada juga sebagian dari kita yang sudah menggunakan smartphone, tapi masih awam dengan aplikasi Whatsapp.
Entah kenapa, lagi-lagi selalu saja terlintas di pikiranku, bahwa Whatsapp "harus berterima kasih" pada ODOJ. Karena tidak sedikit orang yang pada akhirnya menggunakan aplikasi ini, hanya karena ingin bergabung di ODOJ.

"Maaf mba, itu gabung ODOJ-nya via apa ya? Whatsapp? Saya nggak punya Whatsapp mba. Tapi, nanti saya coba install dulu ya."

"Mba, itu di grup kok bisa muncul icon-icon gitu, ya? Caranya gimana?"

"Mba, cara buat list tilawahnya gimana? Bisa bantu aku?"

"Mba, ini gimana?"

"Mba itu apa?"

"Mba, Mba, bla bla bla."

Begitulah lebih kurang komentar-komentar mereka yang baru menggunakan Whatsapp karena bergabung di grup ODOJ.

Dan kini? Kalian tahu hasilnya? Jangan ditanya lagi. Mereka sudah ahli menggunakan semua fitur-fitur yang ada. Bahkan mungkin lebih ahli dariku. Jumlah grup di smartphone-nya? Ah. Aku rasa juga tak terhitung lagi. Bukankah dengan bergabung di satu grup saja, bisa melahirkan grup lain yang beranak pinak? Karena di grup banyak besileweran info-info mengenai grup-grup lainnya. Yang siapa saja bebas mengakses dan mendaftar.

Dulu.
Waktuku banyak luang, tak jarang bahkan sering update status nggak jelas. Kadang juga uring-uringan nggak jelas mau ngapain.

Dulu.
Pekerjaanku biasa saja. Bahkan sering mengganggur. Ingin cari kerja sampingan, bingung mau kerja apa. Bisnis? Nggak tahu mau bisnis apa.

Dulu.
Anak-anak rasanya sulit diatur. Dengan tetangga tidak begitu akur.

Dulu.
Aku bukan siapa-siapa. Bahkan terkadang di tengah masyarakat aku seolah antara ada dan tiada.

Dulu.
Aku bingung, aku linglung. Jiwaku terkungkung.

Dulu.
Rezeki rasanya begitu sulit. Keresahaan hati kian menghimpit. Tak jarang, terkadang hutang juga datang melilit.

Dulu.
Karena alasan itu semua. Dari pada waktu terbuang percuma, dan agar aku bisa mendekat pada-Nya, aku memilih untuk bergabung di sini, bersama ODOJ.

Dulu.
Masih teringat kenangan itu, saat aku dan teman-teman saling berlomba ingin segera kholas (menyelesaikan tilawah 1 juz), mendapat icon terbaik. Bukan. Bukan icon terbaik sesungguhnya yang kami kejar. Tapi, amalan terbaik, dalam rangka ber-fastabiqul khairat.

Kini.
Alhamdulillah. Mungkin ini berkah dari Allah. Karena aku sudah istiqomah untuk tilawah. Keresahaan semakin memudar, rezekipun kian lancar. Tawaran pekerjaan, peluang bisnis datang tanpa terduga. Dan tentu saja, itu semua membuatku semakin bahagia.

Kini.
Makin hari bisnisku semakin lancar. Relasiku juga semakin melebar. Peluang-peluang kerja, jenjang pendidikan yang lebih baik, semuanya makin terbuka lebar. Waktuku, kini tak luang lagi. Hampir setiap menit, bahkan detik selalu terisi.

Kini.
Semuanya semakin mendekat. Karirku melesat, bisnisku semakin jauh meningkat. Aku merasa butuh waktu lebih banyak lagi.

Kini.
Curcol di grup ODOJ, sudah mulai kukurangi. Muncul di grup untuk saling menyemangati, juga hanya sesekali. Itupun, kalau aku ada waktu. Laporan? Ah. Kadang aku lupa. Tapi, bukankah yang penting aku tetap tilawah?

Kini.
Pekerjaanku kian banyak. Orderan jualanku semakin membludak. Ini pasti karena aku semakin serius menjalani bisnis ini. Kalau begitu, aku harus fokus.

Kini.
Japrian dari admin dan teman-teman ODOJ terasa seperti rentenir yang selalu menghantui. Menagih-nagih laporan, memintaku segera menyelesaikan tilawah.
Hey! Tak tahukah mereka kini aku sedang berusaha membagi waktu? Aku tak bisa lagi seperti dulu. Tilawah? Nanti saja. Pekerjaanku yang lain, tak bisa ditunda.

Kini.
Mungkin lebih baik aku mundur saja. Daripada terus bertahan di sini. Bersama orang-orang yang kerjanya hanya menghantui. Menagih-nagih setoran tilawahku. Memangnya mereka pikir, mereka malaikat? Mau mencatat semua amalku? Begitu?

Kini.
Keputusanku sudah bulat. Aku mundur saja. Keluar dari jama'ah (ODOJ). Toh, jika hanya mengaji, aku bisa sendiri. Dan aku bisa lebih bebas, tanpa perlu ada yang menghantui.

Kini.
Aku sendiri. Bebas dari segalanya. Tak perlu bersusah-susah untuk laporan. Tak perlu repot-repot menjadi petugas harian.

Kini.
Aku bisa lebih leluasa melakukan apa saja yang aku suka. Dan tentunya, kini aku lebih punya banyak waktu untuk yang lain. Untuk keluarga, karir, dan bisnisku.

Kini.
Aku bebas. Aku terlepas. Aku merdeka. Semerdeka-merdekanya. Hingga mungkin aku benar-benar "merdeka" hingga tilawahpun kini aku benar-benar lupa.
Ya Allah, inikah bencana?

Sahabatku,
Tak perlu merasa tersindir, apalagi tersentil. Karena tulisan ini bukan untukmu. Tapi aku!

Semoga menjadi pengingat, agar aku bisa selalu taat. Agar Allah senantiasa berkenan, menjagaku dari godaan dunia yang sungguh semakin meraja.

"Jika bersama dakwah saja kau serapuh itu, bagaimana mungkin jika kau seorang diri?" (Ust.Rahmat Abdullah)

Ya Rabbi, ampuni kami.




-Cici Putri-
@ciciliaputri09
ODOJ181

Pku,301215

Selasa, 22 Desember 2015

Dear Kamu

Dear kamu,

Aku tak tahu pasti, kapan pertama kali kita berkenalan. Kapan pertama kali kita memulai pembicaraan, saling bertukar pikiran. Hingga akhirnya kini tanpa disadari, kita begitu dekat, bahkan sangat dekat.

Sepertinya hampir tak ada satupun hari-hariku tanpamu. Kamu selalu tahu nyaris segalanya tentangku. Mulai dari apa yang aku suka, tidak suka, hal-hal yang aku alami sehari-hari, bahkan hingga impian dan rencana masa depanku, kamu juga tahu. Tentu saja kamu tahu segalanya, bukan karena kamu seorang peramal. Tapi, karena aku dengan senang hati menceritakan segalanya padamu. Karena bagiku, kamulah teman terbaik.

Kamu selalu ada di saat aku butuh. Di saat aku merasa sendirian, kamu selalu hadir menemani. Saat aku butuh seseorang untuk mendengar keluh kesah, kamu selalu ada dan bersiap menampung curahan cerita dariku. Saat aku butuh hiburan, kamu juga selalu siap dengan joke-joke andalanmu. Joke yang selalu saja berhasil membuatku tertawa dan lupa akan semua duka.

Kamu, tak hanya hadir untuk mendengarkan cerita, atau tempatku berbagi tawa. Tapi lebih dari itu, darimu, kini aku juga tahu dan belajar tentang banyak hal. Karena, semenjak kita berkenalan, kamu juga semakin rajin mengenalkanku dengan teman-temanmu yang lainnya. Mengajakku berdiskusi bersama, berbagi ilmu, atau sekedar sharing ringan tentang hal-hal yang kita alami seharian. Dan tentu saja, semua ini membuatku semakin nyaman--bersamamu.

Bersamamu, semua memang terasa begitu menyenangkan, bahkan sangat menyenangkan, hingga terkadang aku lupa waktu. Bahkan lupa apa yang sebenarnya hendak kutuju.

Kamu, teman yang telah memperkenalkanku banyak hal. Membuat hari-hari lebih menyenangkan. Tapi, rupanya itu semua hanyalah topeng. Kamu tidaklah sebaik dan semenyenangkan yang kukira. Di balik topeng kebaikanmu itu, rupanya diam-diam kamu juga menjadi Dementor. Makhluk penghisap kebahagian, kebahagian yang sesungguhnya. Bukan kebahagian semu seperti yang kurasakan saat bersamamu.

Kini, kau telah berhasil menjebakku. Hingga aku telah mengidap candu bersamamu. Aku tak peduli lagi pada dunia, walau ia terus memanggil  dan menyadarkanku dengan berbagai cara. Yang kutahu hanya tak ingin kehilanganmu. Karena kurasa aku bisa gila. Tapi, bagi mereka di luar sana, justru kini aku telah benar-benar sudah gila. Karena lebih memilihmu daripada mereka.



Kamu, entah apa kata yang tepat bagiku untuk menyebutmu. Kamu adalah dunia yang kini banyak digilai. Kamu, si dementor jelmaan, "penghisap kebahagian". Kamu Dunia Maya.


Jumat, 18 Desember 2015

Kamu--Aku

Kala itu kita masih sama. Sama-sama berseragam putih biru. Mereka bilang kita sahabat. Tapi entahlah, apakah ini bisa dikatakan persahabatan?

Kita selalu bersama. Nyaris setiap hari. Walau kita tak sebaya, karena kamu dua tahun lebih dua dariku, tapi entah kenapa kita selalu bisa membahas topik yang sama bersama. Bahkan, sesuatu yang tadinya biasa saja, terasa begitu menyenangkan jika aku membahasnya denganmu. Begitupun denganmu, kamu terlihat begitu antusias di dekatku. Entah itu benar atau tidak, tapi begitulah yang aku rasakan. Dan mereka yang melihat kita, juga sepakat dengan hal itu. Kita begitu dekat.

Mereka bilang kita pacaran. Kamu diam-diam memendam rasa padaku. Hah? Benarkah? Aku tak percaya. Bagaimana mungkin seseorang yang hampir setiap hari menjadi tempat curhat, adalah orang yang disukainya. Ini bukan dunia sinetron, kan? Bahkan, tentang pacar yang sering kamu ceritakan itu, bukan hanya satu. Tapi lebih. Ya, kamu adalah playboy, begitu kata mereka. Dan sepertinya kali ini aku sepakat dengan apa yang mereka katakan. Kamu playboy.

Bagaimana tidak, sekali punya pacar kamu bisa punya dua, tiga, bahkan empat sekaligus. Oh tunggu, bahkan jika aku tak salah, waktu itu kamu pernah punya lima. Ckckckck. Sungguh kelakuanmu terkadang membuatku geleng-geleng kepala. Apakah sebegitu tampannya dirimu? Sehingga dengan mudahnya kamu tebar pesona kemanapun kamu suka? Mendapatkan gadis-gadis yang kamu mau.

Sering aku berkata, "Sudahlah... hentikan saja semua kelakuanmu ini. Setialah pada satu gadis saja. Nanti kamu kena batunya." 

Bukannya merasa bersalah dan merenungi kata-kataku, kamu justru dengan santai menjawab, "Bukan aku yang ngejar-ngejar dan mau sama mereka, tapi mereka yang ngejar-ngejar aku. Lalu aku bisa apa?" katamu dengan raut wajah sok tampan. Lihatlah, betapa percaya dirinya kamu. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa berekspresi -,-, dan kamupun terpingkal. Merasa menang.

Terkadang ada yang membuatku lagi-lagi tak habis pikir. Saat kamu ketahuan selingkuh oleh salah satu pacarmu, kamu dengan mudahnya mengaku. Dan setelah kamu mengakui semuanya, masih saja ada di antara mereka yang dengan rela tetap mempertahankanmu, sebagai pacarnya.  "Oh ladies, please open your eyes. He is playboy!" Batinku menjerit. Tak terima ada kalangan hawa yang begitu mudah dibutakan oleh cinta, hingga dengan rela diduakan cintanya."Hey boy, kamu pake pelet apa, sih?"

Lagi dan lagi, ini tentang pacarmu. Bukan. Bukan pacar, mungkin lebih tepat pacar-pacar. Karena gadis yang kamu ceritakan bukan hanya satu. Dan entah kenapa, mereka yang selalu menjadi pacar-pacarmu itu, selalu saja teman-temanku, dan mereka yang kukenal. Apakah kamu sengaja melakukannya? Sengaja ingin membuatku cemburu?

Hey! Tunggu dulu. Cemburu? Kenapa kamu ingin aku cemburu? Dan kenapa aku harus cemburu? Tidak ada kata cemburu dalam kamusku--untukmu. Ya. Sekali lagi aku katakan, TI-DAK-A-DA. Tidak ada kata cemburu, hingga seseorang tanpa sadar, telah lancang mengubah isi kamusku. Cemburu. Kini kata itu ada di dalamnya. Aku jatuh cinta--padamu.

Aku benci dengan rasa ini. Kenapa aku bisa jatuh hati? Pada seseorang yang sudah jelas-jelas sering mendua. Tak setia. Bahkan mungkin tak punya rasa--sama sekali. Apa ini karena kita selalu bersama? Berjumpa setiap hari? Berbagi cerita, tertawa, bermain, dan terkadang melakukan hal-hal konyol bersama.

Hari itu, kita berkejaran keliling masjid. Saat yang lain sedang berusaha untuk khusyuk melaksanaan shalat. Sedangkan kita, tanpa merasa berdosa, tetap saja berkejaran, hanya untuk saling membalas. Melempar air. Bajuku dan bajumu basah sudah.

Malam itu, selepas maghrib, karena peristiwa kejar-kejaran itu, kita disidang oleh guru ngaji. Untunglah kita tidak kena hukuman. Hanya sampai pada peringatan. Dan semenjak kejadian itu, kamu tentu tahu, gosip semakin menjalar kemana-kemana. Bahkan, guru ngaji kitapun beranggapan bahwa di antara kita ada rasa. Tapi sekali lagi, sebagaimana kita menanggapi pernyataan yang sama dari mereka sebelum-sebelumnya, dengan "tegas" kita sama-sama menolak. Sama-sama berkata, "Kami hanya sahabat."

Kejadian itulah yang akhirnya berhasil merevisi kamusku. Menambahkan kata "Cinta" dan "Cemburu" di dalamnya--khusus untukmu. Ah cinta. Kini aku baru tahu alasannya, kenapa mereka rela melakukan apa saja demi cinta. Mereka, mungkin sama denganku--bodoh. Merelakan pintu terbuka, sehingga "pencuri" yang sudah ahli sepertimu mudah untuk masuk, menyusup ke kamar hati.

Cinta. Sepertinya ini rasaku yang pertama. Tapi, benarkah ini cinta?
Ah. Terlalu cepat jika aku berkesimpulan seperti itu. Bahkan kita masih sama-sama
berseragam putih biru.


***
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan dari salah seorang teman. Tantangan nulis tentang "Cinta Pertama". 

PERHATIAN!!! 
Cerita ini mengandung fiksi, jika ada kesamaan tokoh, latar, dan cerita itu merupakan kesalahan yang disengaja. :p







Sabtu, 12 Desember 2015

Rentan

Ini adalah waktu-waktu yang rentan.
Waktu di saat kamu istirahat dari rutinas pekerjaan harianmu.
Waktu di saat kamu bisa bercengkerama mesra dengan keluargamu.
Waktu di saat kamu mengagendakan liburan bersama teman-temanmu.
Menikmati akhir pekan, beristirahat dari penatnya rutinas harian.
Ya, di saat waktu-waktu seperti inilah ada sesuatu yang menjadi rentan--terabaikan.

Saat tilawah ditunda nanti. Karena merasa hari ini hari libur. Segalanya bisa diatur. Nanti saja, toh hari libur. Kita nikmati saja pagi yang lapang ini. Berleha-leha di atas kasur, ataupun bereksperimen terlalu lama di dapur. Hingga akhirnya kita terlupa, hari sudah beranjak senja. Padahal masih ada kewajiban yang belum tuntas tertunaikan dengan sempurna.

Atau terkadang di saat-saat weekend seperti ini, kita justru asik dengan planning jalan-jalan, menghadiri seminar sana-sini, nonton bioskop menikmati film terkini, ataupun kongkow bareng teman sambil ketawa-ketiwi. Hingga lagi-lagi ada sesuatu yang kita lupa. Tilawah.

Ya, begitulah fenomenanya. Itu nyata, dan sering terjadi pada diri kita. Terlalai. Terbuai karena menganggap waktu begitu lapang. Atau berasumsi bahwa ini adalah hari libur, aku akan lakukan apapun yang menyenangkan bagiku, yang bisa merefresh kembali otakku yang telah begitu penat dengan hari-hari yang padat.

Teman, jika weekend adalah waktu refresh untukmu, maka jadikanlah Qur'an salah satu sahabat rehatmu. Sahabat yang seharusnya justru bisa menghilangkan segala penat jiwa dan ragamu. Tunaikan dulu kewajibanmu pada-Nya, maka Dia akan memberikan waktu yang lapang untukmu menikmati hal-hal lainnya. Jangan pernah "mengabaikannya", hanya karena kau ingin menikmati hari yang "berbeda".

Hari boleh weekend, tapi semangat tilawah nggak boleh end.

-Cici Putri-
@ciciliaputri09

#SemangatODOJ
#HappyWeekend

Congklak dan Korupsi

Sumber : http://www.kompasiana.com/d3551/permainan-djadoel-edisi-1
Kau tahu permainan congklak?
Permainan yang populer di kalangan anak-anak--dulu.
Dan sekarang tidak lagi, karena permainan ini nyaris hilang--seperti ditelan bumi.

Ah... Sudahlah, aku tidak akan membahas tentang apa dan mengapa permainan ini bisa hilang. Karena aku yakin, kau juga pasti tahu penyebabnya.

Aku di sini tidak akan berasumsi, berpersepsi apatah lagi berteori. Namun, jika aku diizinkan beranalogi, maka akan kukatakan, para pelaku korupsi sama seperti para pemain congklak.

Kau mungkin heran, kenapa aku menganalogikan permainan menyenangkan ini dengan prilaku yang sungguh jauh dari kata menyenangkan sama sekali.
Terlalu lancang memang, atau bahkan sungguh tak pantas aku beranalogi seperti ini.
Tapi, Hey! Cobalah liat satu sisi. Ada yang sama di antara keduanya.
Pada permainan congklak, tujuanmu hanya satu, memperkaya lumbungmu-- sebanyak-banyak. Tak peduli betapa temanmu telah sengsara kehabisan harta bendanya. Kau masih saya terus melancarkan misimu--memenuhi lumbung hartamu, terus-- hingga melimpah.

Kau juga berlagak pura-pura dermawan membagi-bagikan hartamu, padahal itu adalah harta yang telah kau 'rebut' dari mereka. Lagi-lagi, tujuanmu hanya satu--mengambil harta mereka--perlahan, lalu memenuhi lumbung hartamu.
Persis perilaku korupsi para manusia berdasi, bukan?

Ah. Sudahlah...
Aku tak ingin membahas lebih jauh lagi tentang ini. Karena aku tak ingin persepsimu tentang permainan menyenangkan ini berubah menjadi benci, jika aku bahas ini lebih jauh lagi. Karena sesungguhnya aku memang telah lancang, mengambil penganalogian yang tak sepantasnya ini.

Biarlah...
Kini, aku sudah lelah bersuara.
Aku lelah berkoar-koar di jalan raya.
Kini, aku ingin berjuang dengan cara yang berbeda.
Berjuang untuk menyadarkan diri-diri yang terlena oleh dunia.
Berjuang untuk membangkitkan jiwa agar lebih peka.
Kini aku ingin berjuang--melalui pena.

-Cici Putri-
@ciciliaputri09

#MalamLemparKata
#CongklakKorupsiPena

Jumat, 04 Desember 2015

Strategi Al-Kahfi



Hai...
It's jumu'ah. Jangan lupa baca Al-Kahfinya ya...

"Ya elah min, boro-boro pake baca Al-kahfi segala, nyelesein satu juz aja udah ngos-ngosan min."

Ada yang pernah berpikiran atau komen kayak gitu?
Kalau ada, mulai sekarang yuk ah, perbaiki strateginya.
Kita bisa kok, selesein satu juz dan juga dapat pahala baca Al-Kahfi di hari jum'at.

Caranya gimana? *pasang muka cuek, tapi kepo*

Jadi gini manteman,

Senin, 23 November 2015

Rasa yang "hilang"

Yuhuuu...


Hai, jumpa lagi sama Cici di sini. Kali ini aku bakal berbagi sebuah tulisan yang nge-jleb banget. Jleb ampe ke dasar hati. Bikin aku intropeksi diri, trus mewek sendiri. Hiks. Tulisan ini aku dapat dari seorang teman di grup Whatsapp. Nggak ada tercantum nama penulisnya, sih. Tapi, tulisan ini bagus banget buat menilik lebih dalam tentang diri kita. Tentang sebuah rasa, yang mungkin telah "hilang", tentang sebuah persepsi--yang salah dalam memaknai.

Oke langsung aja guys. Cekidot.

***
MENGAPA ALLOH TIDAK MENGHUKUM KITA?

ﻗﺎﻝ ﺍﺣﺪ ﺍﻟﻄﻼﺏ ﻟﺸﻴﺨﻪ :
ﻛﻢ ﻧﻌﺼﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻻ ﻳﻌﺎﻗﺒﻨﺎ ..
Seorang santri bertanya kepada Syaikhnya:
Berapa kali kita durhaka kepada Alloh dan Dia tidak menghukum kita?

ﻓﺮﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺸﻴﺦ :
Maka Syaikh menjawab:

ﻛﻢ ﻳﻌﺎﻗﺒﻚ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻧﺖ ﻻ ﺗﺪﺭﻱ .. ﺃﻟﻢ ﻳﺴﻠﺒﻚ ﺣﻼﻭﺓ ﻣﻨﺎﺟﺎﺗﻪ .. ﻭﻣﺎ ﺍﺑﺘﻠﻲ ﺍﺣﺪ ﺑﻤﺼﻴﺒﺔ ﺃﻋﻈﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻗﺴﻮﺓ ﻗﻠﺒﻪ ..
Berapakali Alloh menghukummu sedangkan kamu tidak mengetahuinya?
Bukankah dihilangkan darimu rasa manis munajah kepada-Nya?
Tidak ada cobaan yang lebih besar menimpa seseorang dari kerasnya hati...

ﺍﻥ ﺍﻋﻈﻢ ﻋﻘﺎﺏ ﻣﻤﻜﻦ ﺍﻥ ﺗﺘﻠﻘﺎﻩ ﻫﻮ ﻗﻠﺔ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﺍﻟﻰ ﺍﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺨﻴﺮ ..
Sesungguhnya hukuman yang paling besar dan mungkin kamu temui adalah sedikitnya taufik kepada perbuatan baik...

ﺍﻟﻢ ﺗﻤﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ ﺩﻭﻥ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻟﻠﻘﺮﺍﻥ ..
Bukankah telah berlalu hari-harimu tanpa bacaan Al Quran?

ﺍﻟﻢ ﺗﻤﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﻠﻴﺎﻟﻲ ﺍﻟﻄﻮﺍﻝ ﻭﺃﻧﺖ ﻣﺤﺮﻭﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ..
Bukankah telah berlalu malam malam yang panjang sedangkan engkau terhalang dari shalat malam?

ﺍﻟﻢ ﺗﻤﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻮﺍﺳﻢ ﺍﻟﺨﻴﺮ .. ﺭﻣﻀﺎﻥ .. ﺳﺖ ﺷﻮﺍﻝ .. ﻋﺸﺮ ﺫﻱ ﺍﻟﺤﺠﺔ .. ﺍﻟﺦ ﻭﻟﻢ ﺗﻮﻓﻖ ﺍﻟﻰ ﺍﺳﺘﻐﻼﻟﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﺒﻐﻲ .. ﺍﻱ ﻋﻘﺎﺏ ﺍﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ؟
Bukankah telah berlalu musim-musim kebaikan, Ramadhan, enam hari syawwal, sepuluh hari dzulhijjah, dan lainnya..., sedangkan engkau tidak mendapatkan taufik untuk memanfaatkannya sebagaimana mestinya... hukuman manalagi yang lebih banyak dari ini...?

ﺍﻻ ﺗﺤﺲ ﺑﺜﻘﻞ ﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ ..
Tidakkah engkau merasakan beratnya ketaatan?

ﺍﻻ ﺗﺤﺲ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻣﺎﻡ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﻭﺍﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ..
Tidakkah engkau merasa lemah dihadapan hawa nafsu dan syahwat?

ﺍﻟﻢ ﺗﺒﺘﻠﻰ ﺑﺤﺐ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻭﺍﻟﺠﺎﻩ ﻭﺍﻟﺸﻬﺮﻩ ..
Bukankah engkau diuji dengan cinta harta, kedudukan, dan popularitas..?

ﺃﻱ ﻋﻘﺎﺏ ﺍﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ..
Hukuman mana yang lebih banyak dari itu?

ﺍﻟﻢ ﺗﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﻐﻴﺒﺔ ﻭﺍﻟﻨﻤﻴﻤﺔ ﻭﺍﻟﻜﺬﺏ ..
Bukankah engkau merasa ringan untuk berghibah, namimah dan dusta..?

ﺍﻟﻢ ﻳﺸﻐﻠﻚ ﺑﺎﻟﻔﻀﻮﻝ ﻭﺍﻟﺘﺪﺧﻞ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﻌﻨﻴﻚ ..
Bukankah engkau tersibukkan untuk campur tangan pada hal yang tidak bermanfaat untukmu..?

ﺍﻟﻢ ﻳﻨﺴﻴﻚ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺍﻛﺒﺮ ﻫﻤﻚ ..
Bukankah akhirat dilupakan dan dunia dijadikan sebagai tujuan utama?

ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﺬﻻﻥ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺍﻻ ﺻﻮﺭ ﻣﻦ ﻋﻘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ..
Ini adalah tipuan,,, tidaklah itu semua kecuali bentuk hukuman dari Alloh...

# ﺇﺣﺬﺭ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﻓﺎﻥ ﺍﻫﻮﻥ ﻋﻘﺎﺏ ﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺴﻮﺳﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺃﻭ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﺔ ..
Hati-hatilah anakku, sesungguhnya hukuman Alloh yang paling ringan adalah yang terletak pada materi, harta, anak, kesehatan ...

ﻭﺍﻥ ﺍﻋﻈﻢ ﻋﻘﺎﺏ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ ..
Sesungguhnya hukuman terbesar adalah yang ada pada hati...

ﻓﺎﺳﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻭﺍﺳﺘﻐﻔﺮ ﻟﺬﻧﺒﻚ ..
Maka, mintalah keselamatan kepada Alloh, dan mintalah ampunan untuk dosamu...

ﻓﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﻟﻠﻄﺎﻋﺎﺕ ﺑﺴﺒﺐ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻳﺼﻴﺒﻪ
Sesungguhnya seorang hamba diharamkan taufik untuk melakukan ketaatan karena sebab dosa yang menimpanya.

*Sumber : Grup Whatsapp




Kamis, 12 November 2015

Morning Hectic

Seperti biasa, tiap pagi suasana di rumahku terasa ramai sekali--gaduh lebih tepatnya. Dua orang adikku yang duduk di taman kanak-kanak, si kembar, Rana dan Rani seperti biasa selalu berebutan ke kamar mandi. Mulai dari rebutan handuk--walau sudah punya masing-masing, hingga rebutan siapa yang harus lebih dulu ambil gayung dan pakai sabun. Tentu saja, pertikaian antara si kembar ini tidak akan berakhir jika mama belum turut ambil bagian untuk melerai.

Sementara Randy, adikku yang duduk di kelas 2 SMA tidak akan menunjukkan tanda-tanda ketertarikkannya untuk beranjak dari kasur--yang sudah lebih 6 bulan tidak diganti spreinya, jika si Bonny--jam waker berbentuk kucing kesayangannya belum berbunyi. Jika Bonny berbunyi, maka dengan kecepatan--entah apa, Randy akan segera bangun, melompat dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi, serta membuat kegaduhan bersama papa. Kegaduhan karena harus berdebat--rebutan kamar mandi dengan papa yang punya kebiasan bolak-balik buang air besar tiap pagi. Nyaris lebih dari 7 kali buang air sebelum akhirnya papa berangkat ke kantor. Sungguh kebiasaan papa yang aneh.

Seolah tidak peduli dengan kegaduhan yang terjadi di sekitarnya, Mba Tum, pembantu di rumah kami tengah asyik meramu bahan-bahan yang ada di dalam kulkas untuk diolah menjadi santapan lezat bagi penghuni rumah. Tentu saja seperti biasanya, sambil menyiapan masakan, Mba Tum berdendang-dendang ria dengan lagu dangdut terbarunya. Mba Tum penggemar dangdut tulen. Jika ingin tahu perkembangan dunia perdangdutan masa kini, tanyakan saja pada Mba Tum, dia tahu segalanya.

Sedangkan Farel, dan mungkin memang hanya Farel yang tidak turut serta menyumbangkan kegaduhan pagi hari di rumah. Adik laki-lakiku yang duduk di kelas 1 SMP ini, terlihat sudah rapi dengan seragam putih-birunya. Si Mr.Kaku kutu buku ini, seolah tidak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi. Dia hanya tertarik dengan hal-hal yang bisa menambah wawasan dan menaikkan nilai rapornya. Maka, jadilah buku-buku tebal menjadi santapan favoritnya tiap pagi. Bahkan saat di meja makan sekalipun, buku-buku tebal itu seolah menjadi hidangan pelengkap baginya.

Dan aku, mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri, masih setia di sini. Sejak ayam mulai tertidur hingga bangun kembali, berkutat dengan file-file di depan laptop dan printer yang tintanya ngadat lagi pagi ini.


-Cici Putri-



#Challenge
#BukuTintaKulkas

Selasa, 10 November 2015

Kotak Pos

"Kakaaaakkk... Itu punya aku mau dikemanain?"

"Mau dibuat sesuatu. Aku minta, ya." Alis Jony naik turun, menggoda--lebih tepatnya membujuk paksa adiknya.

"Tapi itu kan, tempat mainan aku," protes Danu.

"Udah, Untuk mainan kamu nanti pake yang lain aja. Pake keresek juga bisa. Ini lebih penting," jawab Jony. Tangannya sibuk mematut-matut kardus yang semula menjadi markas mainan adiknya.

"Kakak... Sebenernya mau buat apa, sih?" Danu mendekati Jony yang tengah men-design kardusnya.

"Sebentar. Nanti kamu juga tahu," jawab Jony masih sibuk dengan kardus, gunting, spidol dan beberapa peralatan lainnya. "Bisa tolong ambilin tangkai sapu yang udah nggak kepake di gudang, nggak?" pinta Jony.

Danu menurut, dan mengambilkan tangkai sapu yang dimaksud kakaknya, walau masih heran apa sebenarnya yang tengah dilakukan kakaknya yang duduk di kelas lima Sekolah Dasar ini. Sedangkan otak taman kanak-kanaknya, masih terlalu polos untuk menerka-nerka.

"Nah, siap." Jony berdiri berkacak pingang, dengan senyum sumringah seraya memamerkan karyanya.

"Itu apa, kak? Tongkat nenek sihir?" komentar Danu polos, melihat kardus yang sedikit dicoret-coret, atau digambar entahlah dengan tangkai sapu sebagai penyangganya. Mirip seperti tongkat sihir--atau lebih tepatnya tongkat ibu peri versi jumbo.

"Ini kotak pos. Mau aku letak di depan rumah," jawab Jony cuek. Tidak mempedulikan tatapan heran adiknya.

"Kotak pos? Tapi untuk apa, kak?" Danu masih saja dengan pertanyaan polos dan tatapan herannya.

"Buat naruh paket, surat atau apalah sejenisnya. Biar Pak pos yang tampangnya serem itu nggak perlu lagi ketok-ketok pintu kalau mau ngantarin paket untuk Kak Manda. Sebel tahu, kalau lagi-lagi aku yang disuruh ibu bukain pintu, trus aku harus jumpa sama Pak Pos serem dengan barisan gigi kuningnya gitu. Kayaknya Pak Pos itu nggak mandi-mandi deh, sampe tampangnya jadi kayak gitu," jelas Jony sambil bersungut.

"Haha..." Tawa Danu pecah. Dia kini mulai mengerti kenapa kakaknya ingin segera membuat kotak pos. Jony ingin menghindar dari Pak Pos yang sering sok ramah dengan barisan gigi kuning dan tampang mirip penculik.


-cici putri-
#TelPicNightOWOP


Senin, 09 November 2015

"Mengetuk" pintu

Hufh. Kuhempaskan badan yang penat di atas kasur kamar kosan. Tas selempang yang setia menemani perjalanan kuliahku selama tujuh semester ini, kuletakkan sembarang di samping kasur. Kunyalakan kipas angin mini yang terletak di samping tempat tidur. Syukurlah siang ini dosenku nggak jadi masuk, jadi aku bisa istirahat. Jarang-jarang bisa istirahat siang kayak gini. Dan kebetulan anak-anak kos yang lain belum pulang, jadi aku bisa bocan--bobok cantik. Siapa tahu nanti mimpi dilamar pangeran, kan lumayan. Hehehe.

Angin sepoi-sepoi mulai membelai rambutku yang basah oleh keringat. Oh, betapa nikmatnya bisa tidur siang seperti ini, pikiranku pun mulai melayang entah kemana. Terlena bersama belaian mesra angin dari kincir mini yang berputar di sampingku. Baru saja aku terlena dan hendak memejamkan mata, saat terdengar suara seseorang mengetuk pintu.

Tok... tok.. tok...

"Assalamu'alaikum." Ya ampuuun, ini siapa sih yang datang siang-siang begini. Nggak bisa banget liat orang seneng apa, yah?

"Wa'alaikumussalam," jawabku lirih, masih dengan kepala menekur ke bantal.


Tok... tok... tok...

"Assalamu'alaikum." Terdengar ucapan salam untuk kedua kalinya.

"Wa'alaikumussalam. Iya sebentar," jawabku malas. Dengan tampang kusut dan mata setengah terbuka, aku menyambar kerudung instan di belakang pintu kamar. Bukan jilbab lebar seperti yang kebanyakan digunakan para penghuni kos ini. Tapi setidaknya aku sudah menutup aurat selalu, kan? Menutup aurat versi aku tentunya. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan sambil misuh-misuh dalam hati, Hmm... Awas ya, kalau yang datang ini abang-abang galon yang sok kegenitan itu, terus belagak minta tagihan galon siang-siang gini. Langsung aku usir dan bilang mulai hari ini penghuni kos nggak minum air galon lagi, cukup nampung air hujan aja.

Tok... tok... tok...

Ketukan ronde ketiga, membuatku semakin sebal. Iya, iya. Sebentar. Ni orang nggak sabaran amat sih. 

"Ya, cari siapa?" kataku ketus seraya membuka pintu. Namun perasaan kesal karena ada yang mengganggu rencana bocan-ku tiba-tiba menguap bersama panas udara hari ini, saat mendapati seorang pria dengan tinggi 170-an, berkulit sawo matang, rambut rapi dengan sedikit "acakan cakep"  di bagian jambul, berdiri di hadapanku.

Oh Em Ji. Ini bukan mimpi kan? Ada angin apa, siang-siang gini ada pangeran cakep nyamperin aku ke kosan? Aku menepuk-nepuk pipi, meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.

"Eh. Reyna ada?" tanya pria itu sambil menunduk-nunduk sopan, sambil menyugingkan senyuman yang membuatku meleleh. Aku terpana.

"Maaf, Reyna ada?" tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.

"E eh." Aku gelagapan, ketahuan melamun. "Oh, Reyna. Reyna... masih di kampus, ya di kampus." jawabku menebak-nebak, karena memang mungkin dia masih di kampus. Ya ampun, ini cowok cakep amat sih, siapanya Reyna coba? Pacar? Kayaknya nggak mungkin deh, Reynakan jilbaber gitu, masa punya pacar. Kalau emang bukan pacar Reyna, berarti boleh dong buat aku? Khayalanku mulai beraksi lagi.

"Oh. Ya udah, kalau nggak ada. Saya titip ini aja, ya." Cowok berkemeja coklat dengan lengan panjang yang sedikit digulung itu menyerahkan kantong plastik berukuran lumayan besar padaku. "Itu dari ibunya Reyna, bilang aja tadi Bang Arya yang antar ke sini."

"Oh ya, nanti aku sampaikan," jawabku. Setelah berterima kasih, diapun pamit. Sebelum dia benar-benar membalikkan badan, "Oh ya, mas ini siapanya Reyna, ya?" tanyaku polos, lalu aku mengutuk diri sendiri karena lancang bertanya tanpa malu.

"Saya abangnya, bukan abang kandung sih. Tapi kami sepupu dan saudara sepersusuan, dan kebetuluan rumah kami berdekatan. Jadi, semalam waktu aku pulang, ibu Reyna nitip itu buat Reyna. Tolong sampaikan, ya." Aku mengangguk mengiyakan, diapun pamit dan berlalu.


Aku kembali ke kamar dengan wajah berseri-seri atau lebih tepatnya mesam mesem sendiri. Dan karena kejadian barusan, gen ngayal yang sedari dulu melekat di diriku mulai beraksi lagi. Aku kembali membaringkan badan dengan indah di tempat tidur sambil mengkhayal menjadi putri dan Bang Arya pangerannya. Aaa... Pasti keren banget deh. Akupun mulai terlarut dalam buaian mimpi--yang kuciptakan sendiri.

Tok... Tok... Tok...

Aduh. Siapa lagi, sih? Dengan berat aku melangkahkan kaki membuka pintu depan.

"Ya, cari si--" Suaraku tercekat saat melihat Bang Arya sudah berada di depan pintu dengan seikat bunga mawar merah di tangannya.

"Sa, maaf kalau udah ganggu istirahat kamu. Tapi aku ke sini cuma mau ngasih ini buat kamu." Bang Arya menyerahkan bunga mawar di tangannya ke padaku. Ya ampuuun... So sweet banget sih. Mukakku merah tomat, bahkan mungkin lebih merah lagi.

"Makasi ya, Bang. Jadi nggak enak, Bang Arya sampai repot-repot gini." Aku menerima bunga mawar itu dan menciumnya. Seperti adegan di tivi-tivi.

"Nggak repot, kok. Untuk gadis secantik kamu, aku seneng-seneng aja direpotin." Kata-kata Bang Arya membuatku makin meleleh.

"Oh ya. Bang Arya kenapa balik lagi? Dan kok tahu namaku Salsa?"

"Karena aku... Aku sayang kamu, Sa." jawab Bang Arya seraya menyentuh pundakku.

"Bang Arya sayang aku?" Bagaimana mungkin baru kenal udah bisa bilang sayang? Mendadak otak khayalanku mulai mendarat di bumi--bisa berpikir logis.

"Iya, aku sayang kamu. Sayang kamu." Kini yang kurasakan bukan hanya sentuhan tangan-romantis, tapi, lebih seperti Bang Arya sedang menggoncang-goncang badanku. Aku mulai linglung.

"Sa, kamu gimana? Ini udah jam berapa? Ayo, Saa..." Hah? Jam berapa? Bang Arya kenapa? Aku semakin bingung. Tubuhku terasa semakin digoncangkan oleh tangannya--yang kurasa bukan tangannya.


"Salsaaa.... Ayo bangun. Ini udah jam berapa?" Hah? Tiba-tiba aku melihat Tantri, teman sekamarku sudah berdiri di samping tempat tidur. "Kamu itu mimpi apa, sih? Siang-siang gini tidur sambil senyam-senyum. Dibangunin dari tadi susah banget lagi," omel Tantri.

"Hehehe..." Aku nyengir. "Mimpi ada seorang pangeran mengetuk pintu hatiku," jawabku sambil cengengesan.

"Pangeran ngetuk pintu aja udah sampe lupa waktu. Tuh, ada yang dari tadi ngetuk pintu ngantarin cinta nggak kamu gubris."

"Hah? Siapa?" tanyaku dengan muka cengo.

"Allah. Udah dari tadi adzan ashar tahu. Udah digedor-gedor sama Allah. Kamunya cuek aja. Tuh, udah mau jam lima. Udah ashar, belum?" tanya Tantri sambil melilrik jam dinding di kamarku.

Astaghfirullah. Hatiku tersentil.




Jumat, 30 Oktober 2015

Berlari "terlalu" kencang

"Kakaaaaaakkk... Rasanya pengen berhenti aja. Capek kak. Bosan. Rasanya pengen berhenti dari semua ini. Tiap hari syuro, ngatur kajian, seminar, ngisi, liqo, ngurus ini, ngurus itu. Adek capek kaakkk. :'( Rasanya jenuh. Tolong kak, adek harus gimana?"

Begitu lebih kurang sms seorang adik beberapa waktu lalu kepadaku. Akupun tersenyum menerima sms darinya. Dalam hati aku berkata, 'Adikku sudah besar, kini dia sudah berada di posisi yang dulu akupun merasakannya.' 

Lalu, tanpa pikir panjang, akupun membalas sms darinya, mencoba "menenangkan" dan merasakan apa yang dialaminya. Yang tentu saja, apa yang dia rasakan saat ini, aku sudah lebih dulu merasakannya. Bahkan hingga saat ini, masih sama. Hanya medannya kini berbeda.

"Wah, adek kakak ternyata udah besar ya. Amanahnya sekarang udah banyak. Hehe." Balasku.

"Kakaaaaakkkk...." balasnya lagi, yang membuatku menahan tawa. Karena membayangkan ekspresinya yang sedang protes manja, sambil memanyunkan bibir. Persis seperti setiap kali aku menggodanya.

Tanpa berbasa-basi lagi, akupun mengetik sms balasan. Mengembalikan topik ke pembicaraan semula. Aku tidak memberikan penjelasan, ataupun dalil-dalil atau apalah itu. Karena aku tahu, dia sudah hapal dan tahu semua. Aku hanya membalas dengan mencoba mengambil perumpamaan.

"Terkadang kita berlari terlalu kencang. Sehingga lupa, bahwa perjalanan ini amat panjang. Butuh energi yang banyak untuk mencapainya, butuh strategi yang bagus untuk mensiasati lelahnya. Jika kini lelah kau rasa, maka tidak perlu berhenti. Karena yang perlu kita lakukan hanyalah terus berjalan, tidak harus berlari. Nikmatilah setiap langkah perjalananmu. Rasakan betapa indahnya cara Allah membelaimu, dan menemani setiap ayunan langkah kakimu. Yakinkan diri dan kuatkan hati. Bahwa ini adalah jalan yang kau pilih. Jika lelah memghampiri, yang perlu kau lakukan adalah kembali mengatur strategi, tanpa perlu berhenti atau menepi. Cukup pejamkan matamu sejenak, rasakan cinta-Nya mengalir lembut di setiap helaan napasmu yang kini tersengal. Lalu, tataplah jalan yang membentang di hadapanmu. Dan katakan aku siap dengan strategi baru. :)"


#Tulisan ini bukan untukmu, dia atau mereka. Tapi aku!


-Cici Putri-
@ciciliaputri09


Kamis, 29 Oktober 2015

OWOP on My B'Day

Aaakkkk... Setelah tertunda sekian lama,  yang saking lamanya sampe nyaris sebulan. Wkakaka. Finally bisa juga ngerekap semua postingan ini sesuai janji (janji sama diri sendiri). *nangisharu*

Jadi, ceritanya beberapa waktu lalu, bertepatan dengan hari ulang tahunku, di bulan September kemarin, aku sempat ngadain challenge buat anak-anak OWOP via grup Whatsapp. Karena aku ngadain challenge dalam momen ulang tahun, udah pasti tema challenge-nya ulang tahun dong. Hehe.

Setelah berkutat dengan HP yang waktu itu sering ngadat, dan beberapa kendala lainnya *alasan* akhirnya hari ini aku bahagia banget bisa mengabadikan semua tulisan teman-teman yang ikutan challenge waktu itu. Thanks Guys. Ini kado istimewa buat aku. Apalagi tulisan kalian itu ada yang bikin aku terharu, dan ada yang bikin aku ketawa-tawa sendiri karena lucu. Hahaha. Pokoknya Thank You so much deh buat yang udah ikut partisipasi. O Wop You.

Bagi kamu semua, yang udah setia baca tulisan di blog  ini, langsung aja simak postingan campur sari berikut. Cekidot.

***

Mahligai angin, engkau semerbak bunga yang tak kunjung tercium bau khas aroma tubuh. Tapi, engkau dapat membelai setiap benda yang ada di bumi. Engkau terus saja berkelana bahkan itu sampai ke ufuk barat. Namun engkau tak sendiri.
Ada udara yang selalu menemanimu.
Engkau telah terbiasa bersamanya. Karena engkau telah menganggap udara sebagai saudara kembarmu.
Sungguh ini adalah hal dimana sebuah cerita dapat menyentuh relung hatiku. Tapi, seketika anganku melambung jauh.
Akankah aku bisa memiliki saudara kembar?
Pelupuk mata selalu berkedip saat hati berucap pada sunyi.
Aku tunggal.
Seandainya aku memiliki saudara kembar, aku tentu bahagia.
Aku akan berkata padanya kalau aku dan dia akan mengukir cerita seindah arwana secantik pelangi, semerdu melodi dan seabadi edelwis.
Ya walau terkadang kami tahu, jodoh atau kematian tidak ada yang tahu. Tapi, kami akan membuat kesepakatan pada jari kelingking. Kamu tahukan.
Kita akan mengucapkan sebuah janji pada kelingking dengan saksi bumi dan jari manis.
Kami juga akan berbagi pada diary. Sampai tak sedikit pun semua yang pernah kami ukir, ketika kami bisa menginjakkan kaki pada bumi, terlewatkan begitu saja.

By Kasih
xxxx

Surat Ulang Tahun

Nak, ini Ibu. Maaf jika tulisan Ibu tidak terbaca dengan jelas. Maaf jika bahasa Ibu belepotan. Tapi Ibu mohon, bacalah tulisan ini sampai selesai. Sampai kamu paham tentang ungkapan cinta Ibu yang begitu luas.
   
Jujur, Ibu tidak ingat kapan kamu lahir. Yang Ibu ingat, semalam sebelum kamu lahir, bulan bulat sempurna. Pertanda bulan hijriyyah memasuki pertengahan. Bulannya tepat bulan Muharram. Masalahnya ialah, Ibu selalu lupa jika harus mengingatnya dalam bentuk masehi. Terakhir kata kakakmu, kamu lahir tanggal 21 Agustus. Di aktemu tertulis demikian.

Ibu bahkan menulis surat ini di sembarang waktu. Mumpung ingat.

Nak, entah sejak kapan kamu menjadi pemarah karena hal-hal kecil seperti lupa mengucapkan selamat ulang tahun. Ibu bahkan tidak tahu mulai kapan kamu merayakannya. Dan kenapa pula harus merayakannya segala? Lengkap dengan potongan kue dan kado. Padahal selama ini keluarga kecil kita tidak pernah membiasakannya. Ibu dan Bapak bahkan tidak ingat kapan ulang tahun kami sendiri.

Sama sekali bukan Nak. Sama sekali bukan karena kami tidak sayang. Tapi karena memang hari ulang tahun, bagi kami, bagi Ibu khususnya, bukanlah sesuatu yang harus dirayakan. Apalagi diucapkan selamat sambil bergembira.

   
Nak, ulang tahun adalah pengurangan setahun waktumu hidup di dunia. Lantas kenapa harus dirayakan dan diberi selamat? Bukankah sebaiknya harus didoakan dengan khusu’ dan tulus? Serta dijadikan hari perenungan untuk dirimu sendiri Nak? Tentang semua kejadian setahun ke belakang?

   
Dan do’a Ibu tidak pernah putus sepanjang waktu. Setiap setelah selesai sholat. Setiap di sepertiga malam. Do’a-do’a yang panjang untuk kebaikan hidupmu dan kebahagianmu dalam menjalaninya.

Jadi untuk apa lagi Ibu mengucapkan selamat ulang tahun? Orang-orang yang merayakan ulang tahunmu belum tentu tulus. Tapi do’a Ibu tidak perlu kau pertanyakan lagi ketulusannya. Ibu hanya tidak ingin kamu menilai ketulusan orang lain sedangkal itu. Hanya dari ucapan ulang tahun.

Cinta dan ketulusan bisa dirasakan dan diungkapkan dengan banyak cara. Dan ucapan ulang tahun adalah cara yang paling mudah dilakukan. Apalagi Ibu dengar dari kakakmu, sekarang sosial media punya fungsi sebagai pengingat ulang tahun. Lalu apa istimewanya?

Ibu harap kamu bisa segera mengubah sudut pandangmu tentang ucapan selamat ulang tahun. Jangan habiskan perasaanmu meratapi orang-orang yang kamu pikir mereka tidak mengingatmu. Padahal tanpa sepengetahuanmu, mereka tidak pernah absen menyertakan namamu di setiap penghujung sholat mereka.

Salam Cinta yang tanpa ujung.
Dari Ibu.

**

Pipi Nay basah. Matanya sembab. Surat Ibunya keterlaluan. Sampai membuat dada Nay sesakit ini. Nay sungguh merasa malu.

Nay tidak tahu menyebut ini apa. Keajaiban? Bahkan surat ibu yang Nay temukan terselip dalam tas, tepat ditemukan hari ini. Saat ulang tahunnya yang ke-19.

Buru-buru ia mengambil handphone-nya di atas meja.
“Halo, ibu.. “ Nay berusaha menormalkan suaranya yang serak.

.Ana. 28 September 2015.

#ChallengeMissCiciManjah


 xxxx
#1
Ulang tahunku yang ke-6

Ada kenangan pada tiap bulir air dari langit yang jatuh. Kita sama-sama teringat pesan bunda agar meneduh sejenak ketika Tuhan menyapa makhluk-Nya dengan hujan. Namun dengan entengnya, langkah kaki kita berkejaran riang. Kutangkap gurat ketakutan di wajahmu saat menatapku yang menggigil kediginan. Tergopoh kau menggendong tubuhku yang suhunya meninggi dengan tiba-tiba.  Sesampainya di rumah, kau menangis sebagai tanda penyesalan karena sengaja melupakan peringatan dari bunda. Seperti yang kita tahu, bunda hanya tersenyum, membelai rambutmu, dan berbisik pelan, “Tidak apa-apa, sudah ... tidak perlu menangis.”

"Selamat ulang tahun, Cici!" Tiba-tiba ayah hadir dengan balon warna-warni di tangannya.

Kemudian empat cangkir cokelat panas buatan bunda makin melelehkan rasa cemas yang tadi bergelayut. Aku bahagia berada di antara kalian, bisikku pada Tuhan. Hujan pun berhenti tanpa pesan sebelumnya.

#2
Ulang tahun ke-11

'Adikku, Princess Cici. Hadiah buku harian ini untukmu. Kuharap kausuka. Dari kakakmu yang super ganteng.'

Bibirku yang tadinya menyungging senyum, menjadi kerucut setelah membaca pesan pada kado ulang tahun darimu. Ah, aku tak pernah ingin kehilanganmu. Tahukah? Entah kenapa, selalu kelu 'tuk aku katakan. Namun tanpa kata-kata, kau sangat pahami diriku. Isyarat tubuhku, kau yang paling hafal. Bagaimana saat aku merajuk manja, tak senang, sedih, atau saat marah. Sebab itulah aku tak dapat berbohong di hadapanmu. Diam-diam aku menyelipkan doa yang membuat pipiku merona di tepi jendela kamar saat hujan menyapa. Sampai ia pergi tanpa pesan sebelumnya.


#3
Ulang tahun ke-17

Kau berbisik, “Pelan-pelan. Jangan sampai suara langkah kakimu gaduh lalu membangunkan ayah dan bunda."

“Siap, Kak! Sebagai princess yang hari ini sedang berulang tahun, aku minta dibuatkan cokelat panas yang paling enak sedunia!" perintahku dengan menirukan gaya seorang puteri raja.

Malam itu dengan berjingkat, kita ke dapur untuk membuat dua cangkir cokelat panas karena dinginnya hujan menyergap tubuhmu yang tengah belajar sampai larut. Aku setia menemanimu sambil berceloteh banyak hal dan bertanya ini itu.

“Tapi, Yah, bunda takut melukainya ... "

Suara Bunda menghentikan langkah kaki kita. Aku dan kau berdiri di depan pintu kamar mereka sembari menempelkan daun telinga. Menguping ...

“Ayah tahu itu. Tapi bagaimana pun, kita harus menceritakan yang sebenarnya. Bahwa Cici bukan anak kita yang sesungguhnya. Ia ditukar oleh ibu kandungnya saat di rumah sakit. Ingat, Nda! Cici hari ini sudah 17 tahun. Ia semakin dewasa ..."

Tanpa pikir panjang, kau menarik lenganku untuk menjauh dari percakapan yang seharusnya bersifat rahasia itu. Aku tahu kau bingung harus bersikap bagaimana. Apalagi aku yang menjadi tokoh dalam perbincangan tadi.

“Aku tak bisa tidur," ucapku lirih.

Kau menarik lengan kananku lagi, lalu kaubawa aku menuju tempat persembunyian kita. Loteng. Aku terisak pelan sambil membenamkan wajah di antara kaki yang kutekuk. Kali ini kita bertukar posisi. Giliranmu yang menemaniku bersama simfoni gerimis yang ritmis. Begitu pilu, menyayat hati. Sampai ia berhenti seperti hujan-hujan pada hari ulang tahunku yang lalu ... ia pergi tanpa pesan atau kata apa pun.

#4
Ulang tahun ke-20

'Princessku, ini novel yang kauidamkan itu. Ah, tulislah sebuah novel juga. Kakak tahu kau suka sekali menulis. Ayolah. Semangaaat! Dan, selamat ulang tahun, Ciciku.'

Aku tersenyum dikulum. Kau memang selalu tahu yang kumau.

Kita memutuskan untuk menyimpan rahasia aksi pengupingan ala detektif malam itu. Tiga tahun berselang. Ayah-bunda pun diam. Tak ada yang berubah. Semua terlihat baik dan normal. Aku juga tidak mau bertanya lebih jauh.

Hanya satu yang berubah. Yakni perasaanku padamu. Sejak kenyataan yang kudengar kala itu, ada sedikit bahagia yang bersemayam dalam diam. Kau bukan kakak kandungku. Itu artinya, aku diperbolehkan memiliki rasa yang lebih padamu.

Oh, mungkinkah ini jawaban atas doa yang dulu pernah kubisikkan pada Tuhan saat hujan turun?
Aku mengatakan pada-Nya, "Kelak, aku menginginkan lelaki yang bisa menjaga cintaku seperti kakak yang selalu melindungiku."

Dia mengabulkan permintaanku seperti memberi buah durian.  Di luar durinya tajam, namun rasa di dalamnya sangatlah  manis dan menyenangkan.

#5

Semburat jingga muncul di ufuk barat sungai Rhein. Empat tahun aku pergi meningglkan rumah dan tanah air. Penyebabnya bukan karena kenyataan tentang pertalian darah, bahwa aku bukan anak kandung ayah-bunda. Tapi karena ...

“Cici sayaaang! Happy birthday, My Girl! Hadiah ini untukmu." seru Kak Rhein antusias petang itu.

"Wow! Coat super elegan ini untukku? Terima kasih, Kak Rhein ..."

"Oh ada satu lagi. Kado untukmu …" kakak pergi ke luar sebentar dan, "kenalkan, ini Sani. Pacar Kakak."

Geludaaar! Seketika petir menyambar dahsyat. Hujanpun turun deras. Kusambut uluran tangan dengan hati beku, padahal tangan kiriku saat itu menggenggam cangkir yang berisi cokelat panas.

Bip bip bip! Aku tersadar dari lamunanku. Lalu kubuka pesan singkat yang masuk ke surelku.

'Princessku, selamat ulang tahun ke 24. Kapan kaupulang? Ayah-bunda juga aku, sangat merindukanmu. Pulanglah gadis kecilku. Kau tak rindu cokelat panas buatan bunda? Oh ya, bulan depan aku dan Sani memutuskan untuk bertunangan. Pulanglah, Dik. Kuliahmu sudah selesai, kan?'

Aku kembali tersadar setelah melintasi petala ingatan. Kulihat parade kegelapan di atas sana segera pentas. Langit bersiap dengan jubah gelapnya.

Aku tak lagi suka mendengar melodi hujan. Sebab makin buatku terjebak dalam labirin kenangan. Namun aku terlambat berteduh dari gerimis. Kubiarkan air-Nya menyentuh lembut wajahku. Mengalir bersama airmata yang tersamarkan. Waktu tak selalu berperan menjadi obat. Ia dapat menjadi trailer drama kehidupan. Aku ingin hujan berhenti dengan pesan sebelumnya, supaya aku bersiap melangkah maju menyusuri waktu, bertemu pelangi yang warna-warni.

-Kiki-
#ChallengeMissCici

  xxxx

Bagiku, tak perlu balon berisi helium yang mampu melayang di udara. Ataupun balon tiup berisi oksigen yang membanjiri lantai rumah. Tak perlu kue bertingkat yang bahkan aku sendiri akan kebingungan bagaimana cara memotongnya, atau tinggi badanku tak sampai untuk meniup lilin di puncaknya. Tidak.

Bagiku, tak perlu juga badut gembul yang lucunya hanya buatan, yang senyumannya hanya polesan dan gurauannya hanyalah tipuan. Tidak perlu banyak orang yang bertepuk tangan sambil bersorak kepadaku. Oh Papa... Kau terlalu memanjakan aku. Mungkin akan lebih bermanfaat apabila semua kegembiraan ini aku bagi dengan mereka. Di sana tempat aku berasal.

Terima kasih, ini adalah ulang tahun paling meriah seumur hidupku. Akan tetapi ini juga menjadi ulang tahun yang paling hambar dalam hatiku. Di sini tempatku, tapi bukan asalku.

Aku hanya ingin berada di sana. Tempat aku berasal. Aku hanya perlu waktu beberapa detik untuk memejamkan mata sambil berdoa dalam hati. Kemudian aku butuh beberapa menit untuk memeluk mereka satu per satu. Keluargaku. Aku mohon padamu oh Papa, bawa aku ke sana barang sejenak.

***

Di langit nampak semburat merah, tapi itu bukan senja. Karena ada kepulan hitam yang mengikuti. Apa itu? Berasal dari sana, dari tempat asalku.

Tanpa meminta ijin dari Papa, aku langsung menyambar sepeda, aku kayuh sekuat tenaga, menuju ke sana.

"Masya Allah," gumamku lirih.

Air mata meleleh begitu saja di pipiku. Aku segera berlari ke bangunan yang sedang terbakar api. Tidak aku dapati seorang pun di sana. Di mana mereka semua?

Aku segera menekan nomor pemadam kebakaran. Tak begitu lama mereka akhirnya muncul. Aku bersikukuh mengikuti mereka meski dilarang. Di halaman depan, aku memungut sebuah papan yang tidak terlalu besar, satu-satunya benda yang masih utuh tidak dilahap oleh api. Bertuliskan "PANTI ASUHAN KASIH".

"Maafkan Papa sayang," sebuah suara mengagetkanku ketika aku hampir saja kehilangan kesadaran karena melihat jasad mereka menghitam dievakuasi setelah api mereda. Suara Papa.

"Aku hanya ingin merayakan ulang tahun bersama mereka Papa, sekarang aku tak akan pernah lagi melihat mereka. Saudara-saudaraku," sahutku sambil terisak.

Ulang tahun terburuk sepanjang hidupku, aku harus kehilangan mereka saudara-saudaraku disaat aku memulai kehidupan dengan orang tua angkatku. Rasanya aku tidak ingin hari ini ada, aku tidak ingin tanggal 29 Februari itu ada. Hanya empat tahun sekali aku menantikannya, tapi mengapa semua kejadian pilu ini yang menghampiri.
Aku benci ulang tahunku!

Dee~290915

  xxxx

Ulang tahun itu candu.


Aku ingin memberikan satu prosa dari hati terdalam untuk sahabatku yang menyemarakkan momen ulang tahunnya.

Yaaa, ulang tahun memang menjadi candu. Candu yang kian menderu agar kebahagiaan tetap utuh.
Ucapan selamat dan doa laksana intan permata, kilaunya terlihat walau kadang tak bisa dimiliki.
Harapan besar pun terpampang, alunan mimpi membuncah, sanubari menggelora.
Memang indah momen special itu, candunya tak pernah tergantikan dengan miliaran kekayaan.

Sentuhan persahabatan membuat bingkai cantik gelora jiwa, rona canda tawa menjadikan persahabatan semakin jelita.

Walaupun harus diakui, bahwa ada onak duri yang menusuk tajam, menyayat perasaan, mencincang perasaan.
Tapi, justru itu menjadi pemanis dalam persahabatan. Karena rasa pahit itu yang bisa membuat kita merasakan manisnya sebuah kenikmatan. Tanpa pahit, maka mustahil akan bisa menikmati rasa manis dalam jiwa.

Ya. Ulang tahun selalu menjadi candu.
Diri yang semakin kuat, emosi menggebu hebat dan semangat selalu membakar, menambah candu untuk menjadi orang nomor satu.

Candunya seperti meneguk segelas es di saat kehausan yang dahsyat.
Nikmatnya tak tergambarkan namun, bisa dirasakan.

Ulang tahun itu candu.
Secandu aku merangkai kata ini.

Selamat ulang tahun "princess". Semoga keberkahan selalu menyertaimu, dan pertolongan Allah selalu datang kapanpun kau butuh.

~Profesor cinta

  xxxx


Cici benci ulang tahun! Benci banget banget! Bukan, bukan masalah nggak ada yang ngucapin tepat pukul 00.00 lalu bilang, "selamat ulang tahun, Cici sayang." Bukan juga karena nggak ada yang kasih surprise lilin bertuliskan 'Happy Birthday, Ciciku..' Atau sebenarnya paling dinanti Cici, seseorang dengan seribu mawar di tengah candle light dinner lalu berlutut dan bilang, "Happy birthday, Dear. Will you marry me?"

Bukaaan... sayangnya bukan karena itu semua Cici membenci yang namanya ulang tahun atau perayaan romantis lainnya. Kalian nggak akan mengerti perasaan Cici. Bukan karena ia masih sendiri. Melainkan karena kalian bukan Cici! Ya, mana mungkin kalian bisa mengerti perasaan seseorang tanpa menjadi orang itu, kan?

Cici menatap sebuah tanggal di kalender. Ya, ulang tahunnya yang berada di bulan september. Cici tiba-tiba menangis.

Pintu kamar pun diketok. Ah, pasti mama! Seperti biasa Mama pasti akan membawakan Cici sebuah kue pertanda ulang tahunnya. Cici menghapus air matanya. Pintu dibuka,

"Selamat ulang tahun, sayang..." ucap Mama sembari mencium kening Cici.

Cici hanya murung.

"Sudahlah sayang... jangan bersedih terus. Ini kan hari ulang tahunmu."

Cici kembali menangis dan semakin keras menangis.

"Bagaimana aku tidak bersedih, Ma. Usiaku selalu berulang dan tidak pernah hilang. Aku tidak ingin ulang tahun, Ma. Aku ingin ilang tahun. Mama nggak akan ngerti bagaimana rasanya. Bagaimana takutnya Cici ketika orang lin bertambah tua sedang Cici tetap berada di usia yang itu-itu saja. Cici takut juga kehilangan Mama karena Mama mengalami ilang tahun, sedang Cici nggak."

Cici berkata sambil sesenggukan.

Ya, benar. Cici adalah seorang puteri yang legendaris. Puteri yang terkena kutukan seorang dukun jahat dan membuatnya tetap berada di usia yang itu-itu saja. Usia 25 tahun. Usia yang sangat nanggung. Mungkin bagi yang memuja kecantikan, umur abadi adalah segalanya. Tapi tidak bagi Cici. Bisa kalian bayangkan, kan? Bagaimana jika umur kalian berhenti di situ dan berulang setiap tahun? Bahkan para pangeran yang mau mempersunting pun jadi takut. Takut ikut terkena kutukan dukun jahat.

"Jangan menyerah, Cici sayang... Kita pasti akan menemukan penawar dari kutukan dukun jahat itu. Percayalah, keajaiban itu pasti ada. Mungkin kutukan ini sedang menunggu seorang pangeran yang akan membebaskanmu dari ulang tahun. Bersabarlah.. *karena yang terbaik memang penuh perjuangan yang besar dan waktu yang tidak sebentar." Mama menenangkan Cici.

Cici pun sedikit lega di peluk Mama.
Iya, Ma... Semoga pangeran itu segera datang menghapus kutukan.. Cici pun terlelap.

Dini Riyani
#ChallengeMissCiciManjah

(*) quotes dari anonim
  xxxx

Nakula & Sadewa

Ketua ekskul basket, Luca, sudah tahu bahwa dua anggotanya yang merupakan anak kembar, Nakula dan Sadewa, memang aneh. Tapi keanehan mereka tidak seajaib apa yang dilihatnya hari ini. Sebelum bel masuk berbunyi, Luca memandang heran pada si kembar yang datang ke sekolah pakai payung. Tak ada hujan, bahkan matahari hari ini juga nggak terik-terik amat, tapi mereka berdua memakai payung seolah tak ingin kejatuhan sesuatu. Mana motifnya polkadot, lagi!

"Nakula! Sadewa! Ooi!"

Luca kenal suara itu. Dia adalah anggota ekskul basket yang lain, Satrio, yang datang ke sekolah bareng Yudha. Ia memperhatikan Satrio dan Yudha yang menghampiri Nakula dan Sadewa dan tak bisa memikirkan hal lain selain merasa heran. Ngapain mereka sok kenal gitu? Ikutan dikira gila, baru tahu rasa deh, pikir Luca.

Tapi Satrio dan Yudha tidak bisa mendekati si kembar. Nakula dan Sadewa membuat payung yang mereka pakai sebagai barikade.

"Eits! Jangan dekat-dekat!" kata Nakula--atau Sadewa.

"Stop di situ tuan-tuan! Atau kalian dalam masalah," ujar yang satunya, entah Nakula atau Sadewa.

Yudha dan Satrio mengangkat kedua tangannya seolah-olah sedang ditodong pistol.

"Waduh....slow bro. Maksudnya apa nih?" tanya Satrio.

Tapi alih-alih menjawab pertanyaan Satrio, si kembar malah melirik ke arah lain, masih dengan sikap waspada. Mereka lalu mengarahkan payungnya ke kanan, kiri, depan, belakang, dan atas, secara bergantian. Semacam tarian payung tapi gagal.

"Siatuasi aman terkendali, kak. Kita lanjut?"

"Laporan diterima. Ayo kita lanjut."

Tanpa menggubris Yudha dan Satrio, Nakula dan Sadewa lanjut berjalan ke kelas. Masih lengkap dengan payung polkadot mereka.

"Apa sih??" tanya Yudha pada Satrio, bingung.

Luca sudah menduganya. Makanya, kalau ada orang sinting, jangan sok akrab dan dekat-dekat, batin Luca.

Lalu keempat anak kelas satu itu pun masuk ke kelas mereka masing-masing. Luca yang sama sekali tidak ingin tahu, juga berjalan menuju kelasnya yang ada di lantai dua. Semoga pelajaran di kelas bisa membuat Nakula dan Sadewa kembali normal, doa Luca dalam hati. Setidaknya, ia tak ingin ada yang macam-macam waktu latihan basket nanti siang.

"Hhhh...." harapan yang sia-sia tampaknya.

---

Satrio dan Yudha datang lebih dulu ke lapangan basket. Luca menyusul kemudian sambil membawa beberapa minuman botol. Hari ini mereka masih akan latihan dasar. Luca masih merasa anak-anak kelas satu itu benar-benar payah dan awam basket.....

"Nakula Sadewa mana?" tanya Luca pada mereka.

"Belum dateng. Sebentar lagi paling," jawab Satrio.

Yudha menengok ke arah kelas dan berseru, "Ah! Itu mereka!"

Luca pun ikut menoleh ke arah kelas dan mendapati Nakula dan Sadewa yang masih membawa payung polkadot mereka. Tapi kali ini mereka tidak memakainya seperti tadi pagi. Payung yang terbuka itu mereka seret sepanjang jalan. Dan meski dari jauh, Luca tahu kalau wajah mereka berdua menyiratkan kesedihan mendalam.

Nakula dan Sadewa pun sampai di lapangan. Wajah mereka benar-benar menyiratkan kekecewaan mendalam. Tapi baik Luca, Yudha dan Satrio, tak ada yang tahu sebabnya.

"Kalian nggak mau ngelakuin sesuatu?" tanya Nakula--atau Sadewa.

Luca mengernyitkan dahi, "Sesuatu apaan?"

"Apaan kek gitu," kata yang satunya.

Luca makin bingung dibuatnya. "Apaan sih? Udah deh, daripada ngomong nggak jelas gitu, mending sekarang kita latihan."

Nakula dan Sadewa saling pandang. "Semua sia-sia, kak," kata Sadewa.

Ooh, yang itu Sadewa, kata Luca dalam hati.

"Iya. Semua sia-sia. Tak berarti," Nakula sok puitis.

Mereka berdua pun menutup payung polkadot noraknya dan memasukkannya ke dalam tas. Wajah mereka masih sangat....sangat kecewa.

"Kalian kenapa sih?" tanya Yudha. Satrio mengangguk-angguk. Pertanyaan yang bagus.

Nakula menatap Yudha dengan pandangan nanar, "Sebenernya....." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Nakula menengok Sadewa. "Lo aja deh yang ngomong. Gue nggak sanggup," kata Nakula lirih.

Serius. Ini ada apa sih?? Pikir Luca.

"Sebenernya..... kita udah siap-siap menerima serangan terigu dan telur. Tapi....kayaknya orang-orang nggak ada yang tahu hari ulang tahun kami....." kata Sadewa.

"....."

Luca dan dua anggota ekskul basket lainnya benar-benar tak tahu reaksi apa yang harus mereka tunjukkan selanjutnya.

(.____.) --> muka Luca
(.____.) --> muka Yudha
(.____.) --> muka Satrio


  xxxx

"Ciciii!!! Selamat ulang tahun!! Ini cacing buat kamu!"

Aku melihat Cuplis dengan heran. Bagaimana caranya dia bisa berkicau sambil menjepit cacing di paruhnya? Memangnya dia ventriloquist yang bisa bicara dengan suara perut? Kalau iya, burung macam apa dia itu? Harusnya dia sudah masuk Guiness Book of Records!

Cuplis meletakkan cacing merah yang masih menggeliat kepanasan itu di depanku. Aku melihat cacing itu tanpa minat.

"Kenapa kamu ngasih aku cacing?"

Cuplis memiringkan kepalanya. "Kan tadi sudah kubilang, ini hadiah ulang tahunmu. Yeayyy!!" jawabnya heboh sendiri.

Aku Cici si burung kenari. Nama lengkapku Cicitcuit, dan tepat hari ini aku berumur empat tahun. Tapi.... aku tidak pernah menganggap hari ulang tahun itu begitu spesial. Bagi manusia, mungkin. Bagiku yang hanya seekor burung, ulang tahun tidaklah berarti. Masa hidup kami paling hanya 12 tahun. Itupun kalau nggak keburu ditangkap dan dimakan kucing garong.

Cuplis sih kebanyakan bertengger di pohon depan rumah pak RT. Pembantu di rumah itu jarang kerja dan hanya menonton TV sepanjang hari. Pasti Cuplis terpengaruh kebiasaan manusia karena keseringan memandangi kotak ajaib itu.

"Jadi aku cuma bisa makan cacing setahun sekali? Kok sedih banget, ya? Aku jadi nggak mau ulang tahun...." rengekku pada Cuplis.

"Eh.... anu... ya nggak gitu juga maksudnya." Cuplis jadi gelagapan.

"Aku maunya makan tiap hari. Bisa nggak aku ulang hari aja?" pintaku padanya.

Ulang hari? Istilah yang tidak buruk juga. Lagian bagi semua makhluk hidup, seharusnya tiap hari itu spesial. Sebab selama sehari itu kita masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia, meski kita tak tahu apa yang akan terjadi esok hari.

"Ulang hari? Boleh dong! Kalau untuk Cici mah tiap hari nyari cacing nggak masalah, hehe."

Setelah itu kami berdua terbang rendah, mencari santapan lain di hari yang spesial ini.

-nana-
29-09-2015

  xxxx
 
Hadiah


'Met ultah, Ci! Sori, nggak bisa mampir ke tempatmu. Asepnya parah.'

Cici membaca pesan yang baru masuk itu dan tersenyum maklum. Sudah beberapa pesan serupa yang masuk dari teman-temannya. Biasanya kalau ada yang berulang tahun, mereka akan berkumpul di satu tempat sekadar kumpul-kumpul sambil syukuran kecil-kecilan.

'Nggak ada kue ulang tahun buat tiup lilin, sih. Tapi make a wish gih! Nanti kita aminin!'

Pesan dari teman lainnya kembali masuk di chat grup. Ramai deh jadinya. Cici pun membalas.

'Nggak ngaruh keles. Emang lilin bisa nyampein doa?

Sengaja ditambahkan emoticon olehnya, supaya yang disampaikannya meski ucapan serius tapi tidak dianggap terlalu serius oleh beberapa orang yang mungkin saja sensitif soal itu.

'Ujan! Alhamdulillah, ujan!!'

Membaca pesan yang baru masuk membuat Cici segera melongok ke luar jendela.

Alhamdulillah. Semoga hujan kali ini cukup lama supaya asap mereda.

'Make a wish, Ci! Kalo ujan salah satu waktu yang makbul buat doa kan?'

Tersenyum tipis, Cici akhirnya memanjatkan doa.

Semoga masalah asap segera teratasi, semoga aku selalu diberi taufik dan hidayah. Semoga … jodohku segera datang….

TING TONG!

"Ci! Tolong bukain pintu!"

Cici manyun. Princess lagi ulang tahun kok disuruh-suruh sih? Biar deh….

Walaupun manyun, tetap saja Cici beringsut ke pintu untuk membukanya.

Di depan pintu Cici menemukan seorang pemuda ganteng nan rupawan. Seketika Cici terkesima.

"Dengan Mbak Cici?" kata pemuda itu.

'Ya Allah… Mungkinkah…? Mungkinkah Engkau mengabulkan doaku secepat itu??' sorak Cici dalam hati.

"Eh? I-iya. Saya…"

"Oh, dengan Mbak Cici sendiri ya? Ini, ada kiriman." Pemuda itu memberikan Cici sebuah kotak kue sambil tersenyum manis.

'Palingkan mukamu, Ci! Zina mata! Zina mata!! Eh, tapi kalau pandangan pertama nggak dosa kan ya? Nggak boleh kedip dong gue?' Hati Cici mulai kacau.

"Silakan ditandatangan di sebelah sini," kata si pemuda lagi.

"O-oke." Terpaksa Cici memalingkan wajahnya dari sang pemuda demi membubuhkan tanda tangan. Cih.

Setelah mendapat tanda tangan Cici, pemuda pengantar kue itu pun pergi.

Giliran Cici lari masuk kamar, cepat-cepat menyambar handphonenya dan mengetik pesan di grup.

'Siapa yang kirimin gue kueeeeee?? Thank yooooouuuu!! Besok-besok nggak usah kirimin kue, kirimin tukang delivery-nya aja ya ke rumah gueee~~~'

Cici pun mesam-mesem sendiri. Besok-besok kalau ada yang perlu kue, dia pasti akan merekomendasikan toko kue tadi. Kalau perlu dia yang ambil langsung ke sana. Demi bertemu si doi.


-Ruru-
29.09.15

  xxxx
 
"Buat ulang tahunmu bulan depan, kamu minta apa?"

Pertanyaan itu tiap tahun terlontar dari Ibu. Kemudian disusul Ayah.

Dulu aku selalu punya jawaban atas semua itu. Entah hanya sekedar minta masakan kesukaan atau boneka kesayangan. Itu terjadi saat dibangku sekolah. Ketika ulang tahun aku pandang sebagai moment penerimaan hadiah.

Beda cerita ketika aku berada di bangku kuliah. Aku hanya tersenyum saja saat pertanyaan itu terlontar. Karena saat itu hadiah bukanlah sebuah unsur utama saat itu.

Aku membenarkan tempat duduk, menghadap Ibu dan Ayah saat itu.
"Kalo aku minta barang, udah bukan masanya. Kalo aku minta do'a, aku yakin Ayah sama Ibu tanpa dimintapun pasti sudah ngedo'ain anaknya. Kali ini kalo aku boleh minta, aku mau minta sesuatu."

Ayah dan ibu mendengarkan.

"Aku minta sekotak nasehat spesial dari Ayah sama Ibu. Mungkin Ayah Ibu sekarang menganggap aku sudah dewasa. Menganggap aku sudah mengerti semuanya, tahu konsekuensi dari hal yang aku ambil. Sehingga Ayah dan Ibu hanya mengawasiku saja. Padahal masih banyak yang belum aku mengerti, tentang hidup. Dan aku ingin tahu dari Ayah Ibu."

Ibu tersenyum, Ayah mengusap kepalaku.


  xxxx

 Kalau ada hari yang ingin kuhindari selama aku hidup, itu adalah hari ulang tahun.
Selain hari ulang tahun itu menambah digit angka di umurku, memoriku tentang hari ulang tahun tidak pernah indah.


Dulu, saat ulang tahunku yang ke 13, temanku menggiringku ke sebuah sawah besar milik Pak Marwan. Beramai-ramai tubuhku didorong ke dalam sawah dan serta merta tubuhku dipenuhi lumpur. Detik selanjutnya saat aku ingin menangis, riuh komando dari Putra--teman dekatku yang superjahil--membuatku melongok seketika. Aba-aba dari Putra diarahkan agar pasukan yang dibawanya menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan ritme lagu Maju Tak Gentar karya C Simanjutak.

Ulang tahun ke 14-ku lebih parah. Sehabis pulang ujian Tata Boga, (atas dasar titah dari Putra) Nana teman sebangku, menggiringku ke belakang sekolah. Dia bilang akan memberikan sesuatu. Karena hari itu hari ulang tahunku dan Nana teman baikku, tentu aku senang bukan main. Seminggu sebelumnya, aku sudah mengatakan pada Nana ada sebuah jam yang sangat kuinginkan, wajahku merekah dan tak bisa berhenti tersenyum mengingatnya.
Sampai akhirnya senyum itu meredup setelah sampai di depan Nana dan Nana menyeringai lebar. Lebih lebar dariku. Lagi-lagi komando dari Putra memekakkan telinga, lalu disusul dengan sisa-sisa bahan makanan seperti tepung, telur, kopi yang dilemparkan ke arahku. Dan lagi, sebelum air mataku jatuh Putra menyanyikan lagu Happy Birth Day dengan suara lantang.

Hari-hari ulang tahunku dijadikan moment yang sakral oleh Putra. Meski aku bersembunyi di bawah kolong tempat tidurku pun, Putra selalu bisa membuatku ingin bunuh diri.

"TANTEE!! Cici ilaaang! Ngga ada di kamar!!"
Saat itu ulang tahunku yang ke 17 dan aku tidak masuk sekolah karena sakit (bohongan). Putra yang sehabis pulang sekolah menjengukku dan tidak menemukanku di kamar, panik.
Ibuku datang juga dengan panik. Setelah bertanya-tanya kepada Putra dengan ribut, jeda sejenak.
Aku yang berada di bawah tempat tidur merasa bingung, kemudian mendengar ibuku mulai tersedu.

"Tante apa benar yang dikatakan Cici sama aku bahwa dia sebenernya bukan anak tante? Apa itu benar?"
Tangisan ibuku terhenti, lalu dengan kaget dia berkata "Siapa yang ngasih tau kamu Putra?!"

Eh? Sejenak kurasakan napasku tertahan dan berdenyut sakit di hati.

Benar, aku mengatakan hal itu demi membuat Putra berhenti mengerjaiku.
Aku bilang padanya, sebenarnya aku bukan anak ibuku, karena insiden di rumah sakit. Berkat film yang aku tonton, aku mendapat ide cerita untuk mengelabui Putra. Mengatakan kepadanya kalau aku adalah anak yang tertukar karena kesalahan suster yang salah menuliskan papan namaku. Mengatakan kepadanya kalau aku selalu sakit setiap mengingat hari kelahiranku. Saat berkata begitu aku berakting dengan sungguh-sungguh dan Putra percaya.

"Saat itu, saat tante dibawa ke rumah sakit, turun hujan besar. Keadaan tante basah kuyup dan kedinginan saat berada di ruang persalinan"
Jeda sebentar dan aku mendengarkan cerita ibu dengan seksama.
"Lalu yang tante tau, dokter dan suster mememinta maaf dan mengatakan bayi dalam kandungan tante tidak bisa diselamatkan...."

Rasanya pedih. Saat itu aku benar-benar merasakan sesak seperti terhimpit dan panas yang semakin di bagian mataku.
"Di saat yang bersamaan, seorang bayi dari seorang single parent baru ditinggal mati orang tuanya..."
Aku tidak sanggup lagi menahan air mata dan sesak di dada, seraya dengan kasar keluar dari kolong tempat tidur dan memeluk ibuku dengan erat.
Begitu di pelukannya, tubuhku malah lemas dan hanya bisa menangis mengulangi kata 'Ibu... ibu...'.
Lalu saat merasa lebih baik aku membuka mata dan menemukan sepucuk kertas lusuh di tangan ibu, yang mengganggu pendengaranku ketika sedang tersedu.

Kuseka air mataku dan samar aku melihat deretan kata di kertas itu. Kupikir sepertinya ada kemiiripan kata dengan cerita yang ibu ceritakan barusan.

Aku merampasnya dan membaca tulisan di kertas itu secara keseluruhan. Benar saja. Itu adalah skrip kata-kata yang dikeluarkan ibuku barusan. Saat melihat ke arahnya dengan marah, ibuku menaikkan kedua pundaknya dengan rasa bersalah dan mengarahkanku kepada Putra yang sedang berdiri di belakangku.

"SELAMAT ULANG TAHUN CICI!!!!"
Langsung saja amarahku memuncak dan mendorong Putra jatuh terjengkang ke belakang.
"Gak lucu, tau!!!"

Lalu hari ini, ulang tahunku ke 19, tanpa Putra yang menjahiliku. Seharusnya ini menjadi hari yang paling tidak kunanti. Bahkan kalau hari ini datang aku selalu menyiapkan seribu cara untuk menghindar dari Putra.
Tapi ternyata di hari ini aku hanya diselimuti rindu setelah membaca sebuah surat yang datang bersamaan dengan sebuah buku. Putra yang sekarang menempuh pendidikan di ITB hanya bisa kutemui sosoknya dalam sebuah surat.

#SelamatHariLahirCici
#SelamatTambahTua
#ChallengeFiction
By : Zu

NB: ada cerita di ulang tahunnya Cici ke 18.
NB 2: nggak tau kenapa jadi cerpen begini. Panjang euy...


  xxxx

Bagaimana kabar ibu hari ini? Alhamdulillah, Ilham dlm keadaan sehat. Bu, ilham rindu sekali sama ibu. Rindu senyum ibu. Rindu belaian tangan ibu.

‌Ibu tahu gak? Besok adalah hari ulang tahunku yang ke-15. Gak terasa ya Bu, sudah hampir enam tahun sya tinggal di panti asuhan ini. Tinggal jauh dari Ibu. Dulu, aku gak mengerti knp Ibu menitipkan aku di panti ini. Saat itu usiaku masih 9 tahun. Berat bu rasanya tinggal tanpa Ibu disisiku. Tapi perlahan aku mulai mengerti, menitipkan aku disini adalah cara ibu agar aku bisa melanjutkan sekolah. Mencapai mimpi-mimpiku waktu kecil yang ingin menjadi guru.

‌bu, sejak kecil ibu slalu mengajariku bagaimana cara berterima kasih kepada orang yang telah berbuat baik. Ibu pesan ke aku disaat ibu menitipkan diriku di panti ini, "nak, syukuri nikmat tinggal di panti ini. Belajar yg tekun, taati peraturan yang ada, berucap yang baik-baik, maka dngan itu kamu udah berterima kasih kpd pengasuh panti ini." bu tahu? Aku mnjalani nasihat ibu semua itu. aku belajar dngan tekun adalah bentuk tanggung jawabku atas nikmat pemberian Allah. Ini amanah buatku ku bu, aku sekolah dari uluran dermawan yg ikhlas menginfakkan hartanya di jalan-Nya. Aku bertekad tidak mau mengecewakan mereka yg telah berbuat baik begitu banyak kepadaku. Disini juga aku berusaha menjaga lisanku. Dengan begitu, banyak santri yang ingin berteman denganku. Aku ingin menghargai orang lain, siapapun itu dngan cara mnjaga lisanku.

‌bu, besok adalah ulang tahunku. Tanda jatah usiaku hidup di dunia ini berkurang. Aku tidak ingin meminta apa-apa bu. Tidak ingin diramaikan, dibeliin kue, meniup lilin, makan bersama. Aku tidak ingin itu semua bu. Bu, Aku tahu kondisi ekonomi keluargaku. Dan aku tak pernah sedih hnya karena tidak ada perayaan di hari ulang tahunku. Aku hanya ingin doa dari ibu agar aku sehat selalu, agar aku mnjadi lebih sabar, agar aku bisa mncapai apa yg aku cita-citakan di tmpat ini, agar aku menjadi anak yng sholeh  yang berbakti kepada orang tua. 

‌bu, terimakasih sudah melahirkanku, merawatku, juga mengasihiku. Cinta ibu begitu besar dan begitu tulus. Aku kadang terharu sendiri mngingat perjuangan dan pengorbanan ibu telah mendidikku ku dan adik-adik. Terimakasih juga telah menitipi aku di panti ini. Bagiku ini adalah takdir Allah yang mesti disyukuri. Disini aku mengerti akan tanggung jawab seorang muslim. Aku bisa mengenal-Nya lebih dekat. Aku bisa meresapi dan memaknai ibadah-ibadah yang ku lakukan. Dan aku mndapat hidayah di tempat ini. Dan aku pun bertekad hidayah yg telah ada didiriku akan tetap ku jaga sampai di penghujung hidupku ini.

‌Ya Allah, ampunilah dosa ku dan dosa kedua orang tua ku. Sayangilah keduanya sebagaimana mereka telah mengasihiku di wakru aku kecil.
‌ya Allah, saleh-kan aku dan tuntunlah diriku mnjaga kesalehan itu. Karena hanya dengan itu, Engkau akan slalu mendengar doa-doaku. Dan karena itu aku selalu bisa mendoakan kedua orang tuaku.

Imron prayogi
30/09/15
#tantangancici


  xxxx
Aku Cinta Kamu Cinta Aku

"Kita putus!!!" Sebuah kalimat singkat yang akhirnya keluar juga darinya. Aku mengangguk tanpa pembelaan. Hening…

Kakiku gontai melangkah memasuki pekarangan rumah. Sesak. Melesak ke dalam hatiku, kata-katanya yang singkat itu. Di pagi ini. Pagi di hari aku genap 25 tahun. Pagi yang kukira akan berbeda karna aku sudah mulai memupuk keberanianku untuk siap menikah dengannya. Pagi yang…. Ah!

Nyatanya aku sendiri. Enam tahun yang sia-sia…

Dulu, kita teman akrab saat di SD. Setelah terpisah ketika kita duduk di bangku SMP-SMA, kita tak sengaja bertemu dalam tampilan dewasa. Dan, amazing. Aku selalu kagum setiap kali kamu menjadi ketua di organisasi kampus, dan aku, sekretarisnya. Kita memang ditakdirkan bersama, pikirku.

Dan kini, enam tahun kebersamaan itu seakan percuma. Sudah setahun ini kamu berfikir hubungan kita ada yang aneh. Kamu merasa tak ingin lagi pacaran denganku. Dan kamu tiba-tiba ingin menikahiku.

Aku tak tahu apa-apa tentang hidup berumah tangga. Aku takut. Tepatnya aku belum siap. Gusar pikiranku selama setahun. Tapi aku memohon untuk terus bertahan. Jangan tinggalkan aku.

Kamu berbeda sekarang. Setahun ini kamu tak lagi pernah sms aku untuk menyunggingkan senyumku setiap ku sebelum tidur. Tak lagi mengajak jalan. Tak lagi ada tatapan teduh yang memayungi hatiku.

Ada apa dengan kamu… Bahkan setahun ini… kamu pergi ke sudut terpencil yang tak dapat kujangkau.

Aku lelah dengan sikapmu. Ada sepetik pikiran untuk mengakhiri hubungan ini. Tapi aku…. Aku…. Aku memang tak begitu mengerti cinta. Yang kutahu hanya perasaan nyamanku tiap kali bersamamu, memandangmu.

>>
Sebulan kemudian.

"Salam. Cicillia… aku menghadiahkan ini untukmu. Semoga setelah membacanya, aku mendengar jawabanmu."

Secarik kertas menempel di kotak tak bernama yang baru saja tiba di rumahku. Saat kubuka, isinya buku kecil. Tak ada nama penulisnya. Aku segera membacanya untuk menghilangkan penasaranku.

Rintik rinai hujan menemani. Buliran air menetes di pipiku.

"Menikah, adalah cara lelaki mencintai perempuan. Jika kita mencintainya, bukan apa-apa yang dibutuhkan. Tapi lengan kita, yang akan memeluknya tiap kali ia butuh perlindungan. Kaki kita, yang akan bergerak dan bergerak agar permaisuri hati terpenuhi kebutuhannya. Hati kita, yang mendoanya di kala apapun, untuk setia meraja di sana. Dan kita, lelaki. Sama sekali tak menjadi lelaki tanpa kehadiran perempuan kita. Itulah kamu. Dan itu aku."

Aku memejamkan mata, setelah membaca sebait kalimat demi kalimat di akhir buku itu.

>>
Sehari kemudian

"Salam. Aku udah baca bukunya. Aku tau itu kamu." Sms terkirim.

Sms masuk. "Wa'alaikum salam. Iya. Maaf kalo kamu ga suka."

"Aku suka. Bukunya, dan kamu." Sms terkirim.

Sms masuk. "Dan..?"

"Kamu." Sms terkirim.

Sms masuk. "Yes what?"

Diam. Kepalaku berseliweran kata-kata, memilih yang tepat untuk kutuliskan dalam pesan yang akan kukirim padanya.

"Aku kangen kamu. Bisa nggak kita ketemu?" Sms terkirim.

Sms masuk. "Bisa. Aku datang untuk melamarmu ya?"

"Jangan secepat itu. Aku pengen ketemu kamu dulu. Aku kangen." Sms terkirim.

Sms masuk. "Cicillia… Kita udah putus. Kamu masih inget kan?"

Aku mengerenyit.

"Maksud kamu apa? Buku itu, bukan maksud cinta kamu?" Sms terkirim.

Sms masuk. "Cil, kamu masih belum ngerti? Aku menghormati kamu. Aku siap menjadi imam kamu. Dan aku ingin hubungan kita halal."

Astaga. Aku butuh satu jam untuk membalasnya.

"Jadi kamu mau menikah denganku? Kamu gak mau kita pacaran?" Tanyaku tegas.

Sms masuk. "Aku ingin anak-anakku lahir dari rahimmu. Aku memilihmu. Imanku jadi jaminan untuk kebahagiaanmu."

"Kapan kamu dateng ke rumah?" Sms terkirim.

Sms masuk. "Kamu serius Cil? Besok. Aku siap."

"Ok. Aku tunggu."

Aku masih belum tau pasti apa yang akan terjadi. Dan apa yang kulakukan.

Tapi, usiaku kini sudah cukup untuk ku mendewasakan diri. Aku mengerti, mengapa kamu memutuskan hubungan kita saat di hari ulang tahunku. Mungkin kamu ingin aku mengingatnya. Nyatanya, telah setahun kita tak bertemu, kita sudah putus sejak itu. Kamu justru memilih hari ulang tahunku. Kupikir kamu kejam. Tapi, bisa jadi itu adalah hadiah terindah dari kamu.

>>
Hari yang ditunggu.

Aku terperanggah. Kamu ganteng. Dan setelan bajumu, cakep. Aku menatapmu kaku.

"Jadi begini tante… maksud kedatangan saya kemarin, untuk….." seterusnya melengung di telingku. Tiba-tiba

"Kamu sendiri gimana Cil?" Ucap Mama menyentuh tanganku.

"Ya? Ya Ma? Apanya?" Aku kikuk. Aku melihat senyummu di sana. Oh, aku merindukannya….

"Kamu mau nggak? Kalau mama sih oke aja. Asalkan kamu mau. Kan mama udah kenal.. udah tau deh pacar kamu ini pasti baik.." sebelum aku menggerakkan bibirku, kamu bersuara lagi

"Maaf tante. Kita udah lama putus. Saya dateng ke sini bukan sebagai pacar Cicillia, Tante." Ucapmu pelan

"Oh gitu… hebat dong. Iya mama juga setuju nikah aja daripada pacaran. Kalau nikah kan jelas, jadinya mama punya anak baru." Mama tersenyum. Tulus.

Dalam momen ini, aku berharap ada Papa. Tapi rasa-rasanya kata-kata mama tadi sudah cukup menyejukkan hatiku.

"Iya Ma. Insya Allah Cicillia siap menikah." Kamu tersenyum lega

>>
Dua bulan kemudian. Malam pertama kita bersama di dalam satu kamar.

"Aku merindukan hari ini sejak lama, Cil." Tiba-tiba kamu memelukku erat dari belakang pundak, saat aku masih membenahi kado-kado di kamar.

Aku merasakan kenyamanan itu. Aku juga sangat merindukannya….

"Cil. Aku sayang kamu. Sudah lama aku ingin mengatakannya padamu." Ujarmu sambil membalik badanku tepat di depan matamu

Aku diam.

"Cil. Tahun lalu aku sadar kalau kita udah gak bisa bareng. Aku sedih. Tapi" kamu terhenti.

"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku putusin kamu…" ujarnya membaca mataku

"Maafin aku. Tapi kita memang harus putus Cil. Itu karna aku sayang kamu. Aku gak mau bikin kita ada dalam hubungan percintaan yang kita sendiri gak ngerti maknanya, semu."

Kamu diam.
Dan mengusap pipiku lembut, lalu mencium bekas usapannya.

"Aku merindukan kamu dalam hubungan yang halal. Aku ngerasa pengecut kalo sampe ga bisa bikin hubungan kita jadi bener. Aku sayang kamu. Cil…" ucapmu, memelukku lagi

"Aku minta maaf… Aku…" kamu melepaskan pelukanmu perlahan

"Aku udah bikin kamu tersiksa setahun ini. Makasih ya. Aku nyaman bisa kamu cintai dengan seperti ini. Kita bisa duduk bareng tanpa kikuk lagi. Kita bisa bergandeng tangan bahkan yang lebih dari itu. Aku juga sayang. Tapi aku gak tau gimana sayang itu. Makasih ya. Kamu ngajarin aku cinta. Cinta, yang semoga dengan janji suci kita, bisa makin bikin kita lebih dicintai oleh Sang Maha Cinta." Kamu tersenyum, dan meneteskan airmata.

"I Love You, Dear…." Sambil kamu mengecup jemariku.

#tantanganMbaCi
#ceritainimudah2anbikinMbaCisegeramenggenapkandinn
#LoveYouMbaCi

Crafty Rini Putri
30 September 2015


  xxxx


 Siang hari di sebuah peLataran kampus terjadi sebuah percakapan diantara 4 orang cewek, sebetuLnya bukan hanya percakapan tapi Lebih seperti menggosip karena mereka bicara nya pelan dan sangat peLan sehingga semut pun tak mendengarnya..4 gadis yang berteman semenjak pertama kaLi masuk.kampus itu adaLah Ayu (A),Sukma (S), Dwi (D) dan kiya (K)..
S ; "hey Minggu depan Lista (L) uLangtahun, Mau dikasih kado apa ?"
A ; "apa ya" sambiL garuk garuk tangannya yang terkena aLergi tahu goreng.
K : "Iya ya minggu depan dya uLtah, hadeg uang ku pas mepet ini "
D: "ehhm, sama az, gimna kLau patungan az kita berempat"
Dan semua mengnganggukan kepaLa nya yanh berarti tanda setuju.
D ; " trus apa yang mau dikasih"
A : " dibudget duLu az brapa uang nya "
S ; " patungan 10 ribu saya yaa 4 orng kan dpt 40rb "
Dan untuk kedua kaLinya mereka sepakat setuju.
K :"kira kira dia butuh apa ya?"
D : " udah gini az drpd riber kita nggak tau apa yg Lg dya ingin kan, udah kita Lngsng tanya az ke dya , dya mau kado apa uLatah tahun ini "
A : " bener juga, gk da surprise2 ya "
S ; " itu dya dtng Lngsng tanya az ya "
Dari arah pintu gerbang tampak Lista baru datang dan Langsung berjaLan menuju ke arah teman teman nya.
S ;"Lista minggu dpn kmu uLtah kan?"
L : " Iya, kenapa Lg sibuk mikir mau ngasih aku kado apa ya "
D :" iya, kamu minta apa, ?"
K :" iya ta kamu minta apa, kamu piLih az apa nanti kita yang bayar"
S:" iya kita yang bayar tp budget gak Lebih dr 40rb ya"
L : " ha ha ha ha, baik Lah nanti aq kabari Aku minta "
D : "Satu masaLah seLesai, sekarang waktu nya makan sudah Lapar saya"
Dan mereka bersama sama pergi ke kantin kampus untuk membeLi makan




  xxxx
-MAU NIKAH BESOK!-

"Maunya nikah besok! Pokoknya besok!"
Cici manyun, membuang muka dari mama dan papanya.
Mama papa hanya bisa saling lempar pandang, tak tahu harus bagaimana.
"Kenapa harus besok sih Ci? Lagian sama siapa coba?" Mama tampak berpikir keras. Nafsu makannya hilang. Ayam goreng di hadapannya serasa tak menarik hati lagi.
"Kan besok Cici ulang tahun maaaah. Cici kan udah 18 tahun, udah boleh nikah, udah boleh daftar di KUA!" Cici menjelaskan panjang-panjang sambil tetap manyun.
"Yakalik Ci, nggak besok juga lah... Sama siapa? Persiapannya gimana?" Papa mencoba mengajak Cici berpikir rasional.
"Nggak mau tahu, pokoknya Cici mau nikah besok!" Cici ngambek dan pergi ke kamarnya.
Tinggalah papa dan mama yang tidak tahu harus bagaimana.
Tiba-tiba...
"Aha! Papa punya ide Mah!"
Kemudian papa membuka ponsel pintarnya. Membuka sebuah chat group yang isinya bapak-bapak teman pengajian papa.
'Assalamu'alaikum bapak-bapak bagi yang punya anak lelaki siap nikah besok siang dengan putri saya, tolong japri saya ya. Kriteria sholeh dan baik hati. Boleh di BC ke teman-temannya. Terimakasih.'
Lalu papa senyam senyum, merasa idenya sangat cemerlang!

-depi-

  xxxx



KUE TANAH BASAH ARIA

 "Selamat ulang tahun kami ucapkan... Selamat panjang umur kita kan doakan... Selamat...selamat..eem...emmm selamat..."
Aria menghentikan lagu selamat ulang tahunnya. Wajahnya nampak berpikir keras. Ia lupa apa lanjutan lagu selamat ulang tahun yang kemarin dinyanyikan teman-temannya di pesta ulang tahun aini, teman TPA nya.
"Emm...tiup aja lah...FFUUUH..."
Aria bertepuk tangan sendiri setelah ranting yang ia anggap sebagai lilin ia tiup. padahal sih nggak ada apinya. Namanya juga pura-pura.
Aria memandangi kue ulang tahun mainannya dan bersiap pura-pura memotongnya.
"Aria..."
Aria menoleh ke sumber suara. Ternyata ibunya sudah berdiri di dekatnya.
"Eh Ibu..."
"Ibu cari-cari kamu. Sudah sore loh, belum mandi..." Ibu mengingatkan Aria.
"Eh iya lupa Bu, hehe." Aria beranjak dan meninggalkan mainannya. Sebelum ikut pergi ke dalam rumah, ibu sempat melirik kue mainan Aria yang ia buat dari tanah basah.
 Setelah mandi, Ibu memangil Aria ke ruang tengah.
"Tadi lagi main apa kamu Aria?"
"Oh, main ulang tahun-ulang tahunan Bu..." Kata Aria.
"Kan ulang tahun Aria masih dua hari lagi?" Tanya ibu sambil menyisir rambut basah Aria.
"Iya bu. Kemarin waktu Aria datang ke ulang tahun Aini rame bu. Ada nyanyinya, ada kue dan makanan banyak. Jadi tadi Aria pura-pura bikin kue...hehe."
Ibu diam, tidak menjawab.
"Bu?"
"Hmmm?"
"Kok ulang tahun Aria nggak pernah dirayain kayak Aini sih? Cuma dapet ucapan selamat aja dari ibu..." Ibu kembali terdiam.
***
"Aria...bangun Nak..."
Aria membuka matanya yang masih berat karena kantuk. Dan saat ia membuka mata,
"Selamat ulang tahun kami ucapkan...selamat panjang umur kita kan doakan...selamat sejahtera sehat sentosa... Selamat panjang umur dan bahagia..." lagu yang sama seperti di pesta ulang tahun Aini!
"Tiup lilinnya sayang." Belum genap kesadaran Aira akan apa yang terjadi, kali ini dia harus melakukan adegan yang paling ia suka dari ulang tahun Aini; tiup lilin.
FFUUUUH.
Lilin padam.
"Yeeee... Selamat ulang tahun ya sayang . .." Ibu bersorak dan mencium kening Aira.
"Nak, ibu mau bicara sesuatu padamu," kata ibu kemudian sambil menatap mata Aira.
"Ulang tahun sesungguhnya bukan soal pesta, bukan soal nyanyian dan tiup lilin. Ulang tahun adalah soal kamu menjadi lebih besar, lebih dewasa. Soal usia kita di dunia berkurang satu. Jangan pernah bersedih karena kita tidak pernah berpesta. Bersedihlah kalau kau bertambah besar tapi justru semakin malas sholat dan mengaji. Kau mengerti?"
Aira mengangguk mantap. Entah ia benar-benar mengerti kalimat panjang ibunya atau tidak. Yang jelas ia bahagia karena sekarang waktunya potong kue. Ah, bukan kue sebenarnya, tapi kue-kuean.
Ibu membuat nasi uduk yang biasa ia jual setiap pagi dibentuk dengan wadah bulat agar berbentuk seperti kue. Lalu dihiasinya dipinggirnya dengan wortel, sawi, timun dan cabai merah. Tak lupa lilin di tengahnya, lilin bekas mati lampu pekan lalu.
Ini sudah cukup buat Aria. Cukup sekali. Ulang tahun termewah selama ini, selama hidupnya yang ia lalui hanya bersama ibunya.

-depi-

  xxxx

 Nah, itu dia tadi semau postingan temen-temen yang ikutan challenge dari aku waktu itu (Semoga nggak ada yang ketinggalan). Alhamdulillah walau nggak semua yang sempat ikutan, tapi semuanya antusias. Bahkan saking antusiasnya, atau lebih tepatnya antusias mem-bully aku, sampai ada yang buat dua tulisan. Wkakaka. 

Sekali lagi, thank you so much untuk kalian semua. Semoga kebersamaan ini semakin mendekatkan kita menuju surga-Nya. Aamiin.

O Wop U.

-Cicilia Princess Ardila-

Miss. Tulis

Yuhuuu...

Jadi ceritanya beberapa waktu lalu dapat tantangan nulis duet dari salah seorang temen di grup. Awalnya sih nggak bisa ikutan, karena lagi 'sok sibuk' dan HP lagi ngambek. Hiks. Tapi ternyata eh ternyata, HP aku ngambeknya nggak lama karena segera aku bawa ke dokternya kemarin. Hehe.

So, dengan berbekal todongan dadakan dari Dini, dan deadline yang mepet, finally jadilah cerpen seperti di bawah ini. Selamat menikmati, Guys!

Oh ya, cerita ini ditulis dengan dua sudut pandang, sudut pandang aku (Cici) dan Dini. Nama-nama tokoh yang ada di tulisan ini juga asli loh. Mereka semua temen-temen aku di grup. Tapi, untuk ceritanya sendiri tentunya nggak, itu hanya fiksi. Buat seru-seruan aja. Hahaha.

Oke, let's cekidot. 

 ***

PoV-Dini

Pagi ini indah. Pagi ini cerah. Pokoknya pagi ini sebunga-bunga jilbab yang aku pakai dah. Tau kenapa? Nana hari ini mau traktir kami berempat nonton film. Yeaaay!!! Nana kesayangan banget deh! Tau aja kantong lagi kosong dan kita pengen banget nonton film itu. Yoiii, walaupun beda-beda emosi, tapi soal film aksi sih kami bakal beraksi. #Eh

Kami janjian di depan Depok Town Square (Detos). Terlihat di sana sudah ada Ruru dan Zu. Eh, tapi kenapa si Zu mukanya ditekuk begitu yak? Aku pun menghampiri mereka.

"Hoi, yang lain mana?" tanyaku.

"Belum dateng," sahut Zu masih dengan muka tertekuk.

"Lo kenapa, Zu?" tanyaku.

"Biasa... Nih, si Miss.Tulis Ruru. Gak bisa liat orang seneng dikit. Gue kan mau cerita tentang gue ketemu cowok cakep di kereta tadi. Eh, dia seperti biasa nyuruh gue nulis. Ilang udah mood gue buat cerita," jawab Zu dengan bersungut-sungut. Duh, Zu! Kalo cemberut jadi tambah gendut. #Ups

"Hahahaha. Lah, elo kan tau banget dia kagak suka dengerin cerita. Miss Tulis kan lebih suka baca cerita. Lo juga sih, lagian ngapain cerita ke dia?" kataku sambil tertawa.

"Abis bete nungguin kalian. Kan enak kalo bisa ngobrol gitu." Bibir Zu sudah sedikit bisa tersenyum.

Ruru yang dibicarakan sejak tadi hanya diam memangku bukunya. Heuh! Sahabatku yang satu ini memang aneh. Sepertinya kebiasaan dia membaca buku membuat dia punya sindrom nggak bisa mendengarkan cerita orang lain. Makanya dia lebih senang orang lain menulis untuknya.

"Ru, lagi baca buku apa?" tanyaku mencoba membuka pembicaraan.

Ruru hanya mengangkat bukunya agar aku bisa membaca judul buku tersebut. Aku dan Zu tertawa berbarengan karena melihat judul buku itu. Bisa dong kalian bayangin kalau judul bukunya 'Nikah, kan?' kalian semua pasti bakal ketawa.

And, as always Miss.Tulis ini hanya bersikap datar, seolah-olah kami cuma angin semriwing yang datang. Sebal sih, tapi mau gimana lagi, kan? Untungnya tak lama kemudian sahabat-sahabatku yang rusuh lainnya datang. Nana dan Cici.

"Sorry ya lama. Gue jemput Cici dulu tadi," kata Nana meminta maaf.

"Hah? Lo jemput Cici dari Pekanbaru?" tanya Zu polos seperti biasa.

"Bukanlah, dodol. Si Cici kan lagi ikut tantenya di Tangerang," jawab Nana sambil menggetok kepala Zu yang disambut tawa kami tanpa Ruru.

"Psst... Ruru baca apa sih? Serius banget," tanya Cici.

Aku bertatapan dengan Zu, kemudian...
"Hahahahaha," tawa kami meledak.

Nana dan Cici yang tak tahu apa-apa, mengernyit sebal.

"Apaan sih?" desak Nana.

"Udah masuk dulu aja yuk. Keburu mulai filmnya. Tar gue ceritain," rayuku pada Nana. Secara, udah panas gilak di luar sini.

***
PoV-Cici
 
"Wah... Keren banget ya filmnya tadi. Pengen deh, punya pacar jagoan kayak si Zacky," komentar Zu ketika kami baru keluar dari bioskop.

"Iya. Udah cakep, baik, jago bela diri lagi. Siapa sih yang nggak mau?" Nana menimpali.

"Hu... maunya. Ngarep niy yee..." kata Dini.

"Alah elo, Din. Emang lo gak mau?" Sungut Zu.

"Loh. Gue kan nggak bilang nggak mau. Tapi gue cuma bilang, kalian pada ngarep." Dini membela diri.

"Trus, emang lo nggak ngarep, Din?" Aku menimpali.

"Ya pengen juga dong. Haha" Dini tertawa garing. Tiga pukulan mendarat di badannya. Ya, hanya tiga pukulan. Minus satu dari kami berempat. Karena seperti biasa, Si Ruru Miss.Tulis nggak bakal ikut-ikutan soal beginian.

"Au... Sakit tau..." Dini cemberut.

"Bodoooo..." paduan suara kompak Zu, Nana, dan aku, komplit dengan cibiran.

"Eh. Eh... liat deh. Si Miss.Tulis beneran no comment ya..." Zu mencolek lenganku. Sedang yang diomongin berjalan santai di depan kami yang rusuh dari tadi. Santai? Lebih tepatnya jalan serius sendirian, sesekali menatap misterius--tatapan yang sulit aku terjemahkan--buku di tangannya.

"Ru, gimana menurut lo film tadi?" Aku mencoba menjajari langkahnya, di depan.

"Biasa aja,"  jawab Ru datar.

Hah? Biasa aja? Aku melotot. Gak percaya. "Kalau pemainnya? Ganteng gak?" tanyaku lagi. Kali ini pasti jawabannya beda, aku yakin.

"Biasa aja," jawab Ru cuek. Ekspresi datar makin menjadi.

Gubrak! Ni anak beneran datar, apa nggak punya perasaan sih? Film segitu keren dibilang biasa aja. Pemainnya yang super ganteng itu juga dibilang biasa aja. Uh! Sebel. Padahal kan aku cuma niat mencairkan ekspresinya yang beku. Uh! Aku berbalik ke belakang.  Zu, Nana, dan Dini memegang perut menahan tawa.

Tiba-tiba...

"Eh. Ada apa tu di sana? Kok pada rame-rame?" tanyaku entah pada siapa.

"Mana, mana?" Zu clingak-clinguk kiri-kanan.

"Bukan di sana. Tapi di sanaaaa..." Nana mengamit dan memalingkan wajah Zu ke arah yang kubicarakan.

"Meet and Greet bareng Eko Candriko, penulis buku Nikah, kan?" Dini mengeja tulisan yang terpampang di banner dekat kerumunan. Lalu tertawa, "Jodoh lo nih, Ru. Penulis buku yang lo pegang sekarang datang ke sini. Haha."

"Serius? Mana?" Ru antusias.

Aku, Zu, Nana dan Dini bersitatap. Heran. Tumben nih anak bisa kasih ekspresi lain, selain ekspresi datar? Apa jangan-jangan dia jatuh cinta?

"Udah, Ru. Buruan sana. Ambil posisi paling depan. Lo mau minta tanda tangan, kan? Siapa tahu dapat tanda hati sekalian." Nana tertawa garing.

Ruru mendekati kerumunan. Sedangkan kami, memilih mendekati outlet ice bubble di dekat podium, warna-warni bubble telah memanggil untuk segera dinikmati.

Di luar perkiraan, bukannya menerobos kerumunan untuk maju paling depan lalu minta tanda tangan, Ruru malah berdiri mematung di barisan paling belakang. Menatap lamat-lamat pemuda yang duduk di podium mini, di depan para fans nya. Hingga acara Meet and Greet itu bubar, Ruru masih berdiri mematung di sana. Matanya masih terpaku pada sosok pemuda di depannya. Entah sadar atau tidak, Ruru kini malah jadi makhluk paling mencolok di area Meet and Greet tadi. Karena hanya tinggal dia sendiri yang masih berdiri di sana, sedangkan yang lain sudah bubar beberapa menit yang lalu.

"Uh, dasar Miss.Tulis banget nih si Ruru. Liat deh!" Nana menyikut lenganku yang tengah asik menghabiskan tetes terakhir ice bubble.

"Aduh. Apa sih, Na?" Aku ngomel.

"Itu, Si Ruru. Gila ya dia. Masa masih di sana aja. Gak tahu apa udah pada bubar?"

"Udah. Kita samperin aja deh. Kasian juga liat dia masih di situ sendirian. Kayaknya udah kesambet deh."

"Hush. Jangan asal ngomong. Udah yuuk ki--" Tak sempat Dini menyelesaikan perkataannya, karena seorang pemuda lebih dulu datang menghampiri Ruru.

"Maaf, mau minta tangan, ya?" Sapa pemuda itu sopan. Yang ditanya gelagapan.

Eko? Kami berempat saling pandang.

***
PoV-Dini
 
Sumpah yak! Baru kali ini banget aku lihat Ruru jadi cewek normal. Gimana nggak? Lihat deh! Mukanya ada ekspresinya gitu. Tersipu malu-malu waktu penulis buku favoritnya nyamperin dia. Kita berempat cuma bisa melongo.

"Guys, ini nggak bisa dibiarin. Kita harus jodohin Ruru sama orang itu!" sahutku antusias.

"Gue setuju banget saran lo, Din. Kayak hidayah buat muka datarnya Ruru tuh." sambut Cici tak mau kalah.

"Tapi gimana caranya? Lihat tuh kelakuan si Ruru." kata Nana membuat kita berempat menoleh ke arah yang sama. Yaps, Ruru masih mematung kayak sapi ompong. Ckckck. Ekspresinya itu loooh... kayak dia ngeliatin buku yang dia suka pake banget. Di mukanya tuh kayak ada tulisan 'Ini punya gue. Ini punya gue!'.

"Kok bengong?" Dari jarak yang agak jauh kami mendengar Eko berkata begitu pada Ruru.

"Eh.. Iya. Aku mau minta tanda tangan." Walaupun samar, kita berempat yakin muka Ruru sedikit memerah.

"Gimana bukunya?" tanya Eko sambil memandang wajah Ruru. Aaaak, Ruruuuu beruntung banget siiih. *sambil gigit tisu*

"Bagus. Aku suka sama gaya tulisannya. Dan terlebih aku suka banget sama EYD-nya. Rapih banget," jawab Ruru sedikit berbinar.

Oke, fix. Kalian semua pasti bakal pengen narik Ruru dari situ terus jitak tuh anak. Kesempatan ngobrol sama cowok, masih aja dia bahas soal EYD. Nana udah hampir ambil langkah ngajak ribut Ruru tapi ditahan Zu. Udah berasa kayak benteng takeshi.

"Waw, baru kali ini ada orang yang memuji bukuku dari segi EYD. Kayaknya kamu tau banyak ya soal kepenulisan?"

Ngek-Ngok. Ternyata Eko sama anehnya kayak Ruru. Kita berempat pun melongo lagi.

"Ng... nggak juga. Aku cuma suka banget baca buku," kata Ruru tersipu.

"Wah, menarik. Oh, ya. Namamu siapa? Siapa tau kita bisa bekerja sama dalam hal kepenulisan." Waw, tawaran yang sangat menggiurkan.

"Ruru. Hmm.. boleh." Yah, Si Miss.Tulis keluar aslinya lagi. Datar.

"Oke. Ada kartu nama, Ru?"

Ruru pun memberikan kartu namanya pada Eko.

"Kayaknya kita nggak perlu usaha jodohin mereka lagi deh. Tuh udah kemajuan banget," kata Zu sambil memperbaiki posisi kacamata yang ditaruh di atas kepala.

Setelah Eko pergi, kami pun menghampiri Ruru. Apalagi kalau bukan untuk menggodanya.

"Ehem.. Cie... Gimana Ru perasaannya?" godaku.

"Iya, Ru. Kok bisa sampe bengong lama gitu ngeliatin doi? Apa bedanya sama penulis lain?" tanya Cici dengan suara manjanya.

"Nanti deh gue tulis di email."

Tettooott... Haaffft, Miss.Tulis beraksi lagi. Untungnya, dia sahabat kita. Coba kalo maling, udah kita gebukin dan kita geret ke kantor polisi buat digantung, eh, diinterogasi.

***
PoV-Cici
 
Tak disangka pertemuan singkat dua makhluk aneh, eh dua insan alias Ruru dan Eko beberapa waktu lalu menunjukkan kemajuan pesat. Bahkan kami para saksi mata sempat ketinggalan perkembangan info ter-update soal mereka.

"Udah kayak seleb aja tuh, si Miss datar dikepoin," Zu menggerutu.

"Iya juga sih ya. Ngapain coba kita ampe kepo segininya, ampe rela nungguin  perkembangan kisah cinta mereka di blognya Ruru? Padahal kan, biasanya disuruh baca aja kita ogah." Nana ikutan ngomel. 

Dan untuk mengurangi kekesalannya, tentu saja seperti biasa cemilan Dini jadi sasarannya. Maka terjadilah aktraksi rebut-rebutan snack antara Dini dan Nana. Selanjutnya, Zu akan datang sebagai penengah di antara keributan mereka. Atau lebih tepatnya Zu sebagai pengambil kebijakan, eh pengambil snack yang jadi rebutan.

"Dari pada kalian berdua ribut, udah siniin snacknya." Zu merebut snack Dini. Dan Nana hanya bisa pasrah.

"Apppah??? Dilamar???" Aku melotot, menatap layar laptop di depanku. Dini, Zu dan Nana sontak kaget mendengar teriakan dan ekspresiku. Bahkan Zu, nyaris menghamburkan snack sesi terakhir yang barusan berhasil direbutnya dari Dini dan Nana.

"Dilamar??? Maksud lo?" Nana menatap heran.

"Iya, dilamar. Ini nih, baca! Miss.Tulis barusan dilamar ama Eko. Dan parahnya, bisa-bisanya dia nggak ngasih tahu kita," kataku sambil menunjuk layar laptop yang di sana terpampang blog Ruru dengan judul 'Lamaran Mister Penulis'.

"Gila nih si Ruru, udah dilamar aja. And gak ngasih tahu kita. Wah, gak bisa dibiarin ini." Zu menggelengkan kepala, nggak terima. Lebih tepatnya mungkin nggak terima kalau ternyata si Miss.Tulis lebih duluan dilamar dari dia.

"Iya, ini nggak bisa dibiarin. Kita harus buat perhitungan sama Ruru. Bisa-bisanya dia gak cerita ama kita." Nana menimpali.

"Buat perhitungan? Perhitungan apa? Kenapa?" tanya Dini polos. Oh My God, Si Dini oon nya kumat, dan tentu saja ini membuat Nana, Zu dan aku semakin kesal. Tulatit kumat di saat yang tidak tepat.

"Tauk ah, Din. Lo tanya aja sama Zu." Nana melengos. Beranjak duluan menuju mobil.

***

"Ru, lo tuh gimana sih? Masa udah lamaran nggak kasih-kasih kabar? Lo anggap kita apa?" Nana langsung nyerocos ketika sampai di rumah Ruru.

"Iya, lo nganggap kita apa? Masa untuk hal sepenting ini lo nggak ngasih kabar ke kita?" Zu menimpali. Sementara aku dan Dini mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Nana dan Zu.

"Aku kan udah ngasih tahu. Udah aku tulis semuanya di blog," jawaban Ruru dan muka datarnya, sontak membuat kami semua makin geram.

Dan akhirnya kami sadar, percuma minta penjelasan, karena ujung-ujungnya bakal dijawab: 'Gue udah tulis semuanya.' Fix, seharusnya kami sadar ini dari awal.

***

Hari yang dinanti-nanti itu akhirnya datang juga. Hari yang dinanti-nanti oleh Ruru, tapi tidak buat kami tentunya. Pernikahan Ruru si Miss.Tulis dan Eko Candriko.

Seperti prosesi jelang ijab kabul biasanya, teman-teman pengantin perempuan pada ngumpul di kamar, menemani calon pengantin. Berusaha menenangkan diri sang pengantin wanita yang perasaannya campur aduk, deg-degan dan bahagia.

Tapi, sepertinya kali ini justru berbeda. Pengantin wanita terlihat biasa aja, datar.

Oh My God, Ruuu... ampe prosesi yang seharusnya paling mendebarkan gini aja ekspresi lo masih datar juga? Kami nggak habis pikir.

"Bagaimana pengantin laki-laki? Sudah siap?" Eko mengangguk.

"Wali? Para saksi? Semua sudah siap?" Pak penghulu menoleh ke arah para saksi dan undangan, semua mengangguk. Termasuk kami yang duduk di ruang dalam, bersebelahan dinding dengan ruang tamu yang dijadikan tempat prosesi ijab kabul. Ruru, duduk manis dengan gaun putihnya, kali ini wajahnya sedikit memerah. Mungkin ada bunga-bunga cinta yang kembali bersemi di hatinya. Aku, Zu, Nana dan Dini duduk bersisian, mengapit sang pengantin.

"Baiklah. Karena semua sudah siap, kita mulai saja ijab kabulnya. Silahkan Pak Parjo dan saudara Eko berjabatan tangan," kata Pak penghulu.

"Sebentar, Pak." Eko terlihat gelagapan.

"Loh, ada apa nak Eko?" tanya Pak Penghulu heran. Sedangkan Pak Parjo, ayah Ruru mengernyitkan dahi, tak mengerti.

"Ada yang punya kertas sama pena nggak?" Eko bertanya ke orang-orang di dekatnya.

"Kertas dan pena? Untuk apa nak Eko?" Kali ini ayah Ruru yang angkat bicara.

"Untuk nulis, Pak. Nulis ijab kabulnya. Karena anak Bapak ini, apa-apa harus ditulis. Saya takut kalau nggak saya tulis nanti dia anggap pernikahan ini nggak sah."

Hahaha... Tawa undangan pecah. Terlebih lagi, kami tentunya, yang tahu betul kebiasaan aneh sang pengantin perempuan. Bahkan Nana, nggak bisa berhenti tertawa hingga prosesi akad benar-benar dimulai.

Selesai.

Dicci (Dini dan Cici)
10.10.2015