Senin, 21 September 2015

Rindu pagi

Pagi.
Aku selalu suka pagi
Saat mentari malu-malu keluar dari persembunyiannya

Pagi
Aku selalu menanti pagi
Karena ia begitu indah
Ada senyum sang mentari yang merekah

Mentari
Ia selalu setia menemani pagi
Memberikan semangat baru pada makhluk penghuni bumi.

Dan belianya oksigen pagi hari,
Itu yang membuatku makin jatuh hati.
Jatuh hati pada indahnya romansPagi.
Aku selalu suka pagi
Saat mentari malu-malu keluar dari persembunyiannya

Pagi
Aku selalu menanti pagi
Karena ia begitu indah
Ada senyum sang mentari yang begitu merekah

Mentari
Ia selalu setia menemani pagi
Memberikan semangat baru pada makhluk penghuni bumi.

Dan belianya oksigen pagi hari,
Sungguh membuatku makin jatuh hati.

Pagi, mentari, dan oksigen belia yang masih perawan tanpa kontaminasi,
Seperti paket komplit pengungkit semangat,
yang mampu menghilangkan beban dan kekhawatiran akan semua masalah yang mendekat.
Mengalirkan aura positif. Optimis. Menatap masa depan.

Tapi kini,
Pagi tak indah seperti biasanya.
Mentari seolah kehilangan senyum riangnya.
Kemana dia?
Kemana mentari pagiku?
Apakah kini dia telah enggan dan bosan,
Menyapa penghuni bumi dengan senyuman?

Ah. Aku tak tahu apa alasan dia sebenarnya,
Sehingga pagi ini senyumnya tak seindah semula.
Bahkan wajahnya pun, tak bisa kulihat dengan sempurna.
Tertutup amukan si putih kepulan pembakaran lahan.

Aku rindu pagiku yang dulu.
Aku rindu mentari.


-cici putri
@ciciliaputri09


Pku,200915
Di tengah pagi yang bekabut.


Jumat, 18 September 2015

Seperti samudra, bukan ombak!

Setiap manusia selalu punya naluri melakukan kebaikan,
begitu pula aku.

Aku ingin selalu berbuat baik,
berteman dengan orang-orang baik,
dan menuju kehidupan yang lebih baik.

Aku ingin menebar kebaikan seluas-luasnya
Seluas samudra yang tak bertepi
tak berbatas

Aku ingin semangat ini abadi dalam diri,
hari ini, esok, dan selamanya.
Karena aku tak ingin menjadi seperti ombak
yang sesaat terlihat begitu gagah menghempas karang,
lalu menghilang.

-cici putri-
@ciciliaputri09


Kenapa D lagi, Gak R R



Kenapa D lagi, D lagi, kok gak R R, R R ...
Kenapa kamu berbeda, beda.
Apa ada yang salah dari yang kubilang,
O o ... kenapa?

*udah jangan keterusan nyanyinya* #plakk

Teman-teman ada yang tahu itu lagu apa?
Yang pada update lagu-lagu Indonesia pasti tahu dong ... Aku yang gak update aja tahu. Haha ... *lebih tepatnya tanpa sengaja jadi tahu*

Yap. Bener banget itu lirik lagu CJR (Coboy Junior), yang judulnya aku lupa. Haha. Parah. *niat nulis gak, Ci?* #plakk

Oke, jadi gini teman-teman. Beberapa hari yang lalu, adik aku muter lagu itu, dan karena aku ada di samping dia, otomatis aku denger dong ya ... So, pas denger lagu itu aku bisa nangkep, itu lagu tentang anak ABG yang lagi PDKT gitu deh. Trus, BBM nya gak dibales ama si dia.  D (baca : deliv) , tapi gak di-R (baca : read). So, yang ngirim BBM jadi galau, lebih tepatnya jadi mikir, apa aku salah ya? Padahal kan sebelumnya baik-baik aja? Bukannya sebelumnya dia malah seneng kalau aku kirim pesan? Lagian yang aku kirim kan yang baik-baik. Nah, lebih kurang ditu deh ya, isi lagunya. Kalaupun gak, anggap aja gitu. #maksa.com

*Terus? Hubungannya ama aku apa, Ci? Pliz deh jangan belibet*
Hehe ... Cabal kaka ... Ini mau aku jelasin.

Jadi, misalkan pesan itu adalah pesan kebaikan (cara Allah untuk mengingatkan kita). Lalu, sudah berapa banyakkah pesan yang sampai kepada kita dan kita abaikan? Gak kita baca. Ada nasehat, renungan, kisah nabi dan para sahabat, jarang sekali kita mau membaca dengan seksama. Seringnya justru kita lewatkan begitu aja. Ah, nanti aja. Ah, udah basi. Udah sering. *Lah, udah sering aja gak berubah-rubah*mikir*

Kita lebih tertarik baca guyonan, chatting cie-cie-an, bully-bully-an, dan sebagainya yang buat happy-happy. Padahal, kalau keseringan kayak gini, bisa mematikan hati. Hiks. *ngomong ama kaca*

Nah, yang lebih ngenes lagi nih ya ... Gak cuma taujih dan renungan yang berseliweran di medsos aja yang sering kita males untuk bacanya, tapi lebih dari itu. Pesan cinta, nasehat hidup, petunjuk surga, pengingat mati, dan cerita komplit lain di dalam Qur'an, sekarang mulai jarang kita baca. Qur'annya udah D (baca : ada di tangan kita), tapi kita gak R (baca : baca dan pahami), atau kalaupun ada, jarang. Hanya selingan habis maghrib setelah ngecek grup di WA/BBM yang lagi sepi.

Sedih banget nasib si Qur'an ini. Udah D, tapi gak di-R. Lebih sedih lagi yang udah ngirim Qur'an ini (Allah) untuk kita. Padahal sudah jelas, pesan ini (Qur'an) dibuat spesial untuk kita. Hamba-Nya. Dibuat dengan cinta, dan semua yang kita butuhkan ada di dalamnya. Tapi, apa yang kita lakukan? Pesannya cuma D, gak kita di-R. :(

Lagi-lagi, kalaupun di-R, itu cuma selingan aja, intensitasnya dikit, ruhnya apalagi, mungkin kian terjepit.

Bagi kita yang biasanya ngirim pesan ke seseorang, trus pesannya udah D, tapi gak di-R, pasti rasanya sakit ya ... Setidaknya galau, apalagi kalau kita liat si dia asik ganti status or PM, tapi pesan gak di-R. Sakitnya tuh di sini *nunjuk dada*
Kira-kira Allah gitu gak ya? Ngeliat kita asik dengan yang lain, sementara pesan-Nya didiemin? :(

Hmm ... Entahlah.
Yang jelas, bukan seberapa sedih Allah melihat kita mengacuhkan pesan-Nya, tapi betapa menyedihkannya nasib kita kelak, yang sudah mengacuhkan pesan dari-Nya. :'(

"... Rabbana la tu aa khidznaa innasiinaa au akhtho'naa ..."
... Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa dan kami melakukan kesalahan ..." (Q.S 2:286)


#NoteToMySelf

-cici putri-
@ciciliaputri09

Pku, 17.09.15

Jumat, 11 September 2015

Aku (benci) menjadi guru



Terpaksa. Ya, itulah jawaban yang selalu keluar dari mulutku setiap kali ada yang bertanya kenapa aku memilih jurusan keguruan. Dan lagi, setiap kali aku mendengar pertanyaan itu, dadaku menjadi sesak. Rasa benci kembali membuncah. Bergejolak. 

Bapak. Dialah orang yang telah memaksaku untuk memilih jurusan ini. Bahkan ia pernah berkata akan melakukan apa saja agar aku bisa lulus di Fakultas Keguruan. Di Universitas swastapun tidak masalah, asalkan keguruan. Begitulah, saking berambisinya ia ingin anaknya menjadi guru. Ya, alasannya hanya satu, “Anak perempuan mau jadi apa lagi kalau kerja gak jadi guru?” katanya padaku. Tentu saja Bapak punya alasan lain, alasan lain yang tersirat. Bapak ingin aku melanjutkan cita-citanya dulu. Menjadi guru. Yang tidak kesampaian karena persoalan ekonomi.

Tidak bolehkah aku memilih jurusan yang sesuai keinginanku? Ingin rasanya aku berontak. Berteriak sekuat tenaga, mengatakan pada dunia, “AKU BENCI MENJADI GURU”.

Guru bagiku adalah pekerjaan yang membosankan. Profesi yang tak jarang menjadi bahan tertawaan siswa-siswa. Tentu, sebagaimana kalian tahu, di sekolah-sekolah sudah tidak asing lagi, bahkan sudah menjadi rahasia umum kalau nyaris setiap guru diberikan julukan khusus oleh siswa-siswanya. Julukan yang bahkan tidak hanya berlaku untuk satu kelas saja, tapi juga kelas-kelas lainnya. Dan yang lebih ‘tragis’ lagi, julukan itu bahkan turun temurun di kalangan siswa. Mulai dari kakak kelas, berlanjut ke adik kelas di bawahnya, di bawahnya, di bawahnya, dan di bawahnya lagi. Ya, seperti ku katakan tadi. Turun-temurun. Dan tentunya kalian semua tahu, julukan yang bisa bertahan turun-temurun seperti ini adalah julukan yang konotasinya negatif. Seperti “Bapak lapangan golf untuk guru yang kepalanya botak licin, Mister Rimbun untuk guru yang berkumis tebal, Bu Teletubies untuk guru berbadan pendek dan gempal, Nyi blorong untuk guru yang suka ngasih PR, Mak lampir untuk guru yang suka marah-marah, dan sebagainya. Dan lagi-lagi nyaris mendekati angka seratus persen guru yang mendapat julukan, sudah dapat dipastikan julukannya adalah negatif. Hanya sebagian kecil saja guru mendapat julukan yang baik, dan jikapun ada mungkin perlu diberi rekor MURI, karena itu jarang sekali terjadi.

Hari-hari pun berlalu. Bulan berganti tahun, kini aku sudah berada di tahun ke-3 perkuliahan. Dan itu artinya, di akhir semester ini aku akan menjalani masa KKN (Kuliah Kerja Nyata), inilah satu-satunya masa yang aku berharap bisa menikmatinya. Setelah melihat daftar lokasi dan nama peserta KKN di papan pengumuman kampus, aku nyaris berteriak. YESS! Akhirnya aku mendapat lokasi KKN di desa pedalaman, desa yang  aku tahu  berbatasan langsung dengan pantai, lebih tepatnya desa ini berada di pulau. Itu berarti di desa ini nantinya aku bisa memotret sepuasnya. Akan aku abadikan pesona-pesona indah itu dalam lensa kameraku. Photograph. Itulah hobiku sesungguhnya, dan aku berharap bisa kuliah dijurusan Photography dulu. Ah. Aku benci jika harus mengulang kenangan tentang itu lagi. Tentang perdebatanku dengan Bapak soal pemilihan jurusan. Bapak tidak setuju aku menjadi fotografer, karena itu bukan pekerjaan yang menjanjikan, begitu alasannya.

Aku bahagia, setidaknya inilah hari-hari yang paling menyenangkan selama aku menjalani perkuliahan. KKN. Di sinilah aku bisa bereksplorasi sesukaku, melepaskan sepuasnya naluri fotograferku. Nyaris setiap senti mata memandang, tak lepas dari bidikan lensa kamera DSLR milikku. Semuanya terekam. Jelas.

Bagiku semua yang ada di sini indah. Aku betah. Ditambah lagi karena di sini, aku tak perlu menerima telpon setiap pagi dari seseorang yang selalu saja menanyakan bagaimana perkuliahanku. Ya, siapa lagi kalau bukan Bapak. Karena di sini, di tempat KKN, sinyal sedikit sulit. Jika ingin menelepon harus mencari tempat yang agak tinggi dan lapang, jauh dari pepohonan.

Selama menjalani KKN, aku nyaris sama sekali tidak menjalankan program-program yang sudah dirancang oleh kelompokku. Karena aku sama sekali tidak tertarik. Yang aku tahu hanya satu, menangkap semua moment dalam lensa. Bahkan bila perlu, aku ingin tidak lulus saja di mata kuliah ini, agar aku bisa mengulang KKN lagi, dan menjelajah ke tempat-tempat lebih eksotis tahun depan.

Hari itu, saat matahari dengan pongah memamerkan sinarnya ke pada penghuni bumi, dua orang anak  sedang memperdebatkan sesuatu. Di bawah pohon kelapa, berkarpetkan pasir putih. Mereka berdebat tentang hasil yang benar dari soal perkalian yang mereka kerjakan dari buku pelajaran yang sudah mulai kumal warnanya, bahkan beberapa lembar dari halaman buku tersebut telihat enggan berkumpul dengan halaman lainnya. Tercerai-berai. Sampulnya? Jangan ditanya, sudah lama pergi meninggalkan badannya.

Setelah beberapa petikan kamera aku abadikan moment ini, akupun mendekat. Menghampiri mereka, “Hai adik, lagi ngapain?” aku mengambil posisi berselonjor di samping mereka. Raut wajah senang dan harap memancar dari mata dua anak di sampingku, mungkin mereka berharap aku bisa membantu menyelesaikan perdebatan mereka.

“Eh ada kakak cantik dari kota,” kata mereka hampir bersamaan. Aku tersenyum.

“Lagi pada ngapain?” aku melirik buku yang ada di tengah mereka. “Oh, lagi pada belajar ya? Ngerjain soal matematika?” selidikku.

 “Hehe... Iya, Kak. Kakak bisa bantu?” mata mereka membulat, penuh harap.

“Boleh, sini kakak lihat.” Salah satu dari mereka yang belakangan aku tahu namanya Abdul menyodorkan buku pelajaran itu ke padaku. “Oh, lagi ngerjain soal ini? Udah pada ngerti?” mereka kompak menggeleng pelan. Rragu-ragu. Tersirat perkataan, “Ayo kak, ajari kami.” Tanpa dipinta   dengan senang hati aku menurut, dan ini kali pertama dalam hidupku aku begitu menikmati kegiatan ini. Mengajar. Menjadi guru. Entah karena apa, siang itu aku begitu bahagia bisa bercengkrama dan mengajari mereka, hingga tanpa terasa raut jingga mulai mewarnai kanvas biru yang membentang. Hari mulai senja.

“Belajarnya udahan dulu ya, udah mau maghrib nih,” kataku.

“Oh iya. Gak kerasa, ya Mat? Udah mau maghrib aja,” kata Abdul pada temannya Mamat. “Iya, mungkin karena kakak yang ngajarinnya baik dan cantik. Gak kayak Wak Atong. Haha.” Mereka tertawa. Lalu dengan segera membungkam mulut dengan tangannya, melirik sekeliling, kemudian mengurut dada. Lega.

“Wak Atong? Siapa itu?” tanyaku heran.

 “Wak Atong itu orang yang biasanya sering ngajarin kami, Kak. Semua penduduk desa di sini, terutama anak-anak. Belajar baca tulis dan berhitung sama Wak Atong. Karena memang cuma Wak Atong yang bisa baca-tulis dengan lancar di sini. Begitu kak.” Abdul dan Mamat bergantian menjelaskan.

Aku mengangguk-angguk mendengarkan, “Oh, jadi di sini gak ada sekolahan?” tanyaku lagi, tak percaya.

“Gak ada kak, kalaupun mau sekolah, jauh kak. Harus ada yang ngantarin karena harus nyebrang pake perahu. Itu di sana.” Mereka serentak menunjuk ke seberang, pulau yang terlihat lebih besar dari tempat kami sekarang. “Kakak, apa besok kakak masih mau ngajarin kami?” Amat menatapku. Tatapan penuh harap, wajahnya mendadak sendu. Aku terdiam sesaat, ada rasa cinta yang menjalar. Hangat. Melewati relung hati, menembus tembok benci yang selama ini ku kunci.

“Ya. In syaa Allah besok kita belajar lagi ya.” jawabku sambil tersenyum.

“Besoknya lagi kak?” Abdul menimpali. Matanya membulat. Berbinar. “Dan besok-besoknya lagi? Kakak juga mau kan?” Mereka melompat berdiri. Tanpa menunggu kata-kata keluar dari mulutku, mereka sudah berlari berputar-putar.

“Horeee... Horeeee... Kita bisa belajar lagi, sekarang kita dapat guru cantik. Horrree...”

 Aku tersenyum memandangi dua anak yang meluapkan kegimbaraannya pada deburan ombak. Guratan jingga senja itu menjadi saksi. Untuk pertama kali, aku merasakan “Aku bahagia menjadi seorang guru”.



-cici putri-
@ciciliaputri09





Rabu, 09 September 2015

Negeri Aksara


 


Di sini tidak ada mentor sejati.
Yang ada hanya pembelajar abadi.

Di sini tidak ada atasan dan bawahan.
Yang ada hanya mereka yang saling berbagi peran

Di sini bukan kumpulan anak pejabat.
Tapi dari sini 'kan lahir banyak generasi hebat

Di sini,
ada aku dan kamu.
Ada kita.
Bersama.
Membangun peradaban dunia,
Melalui rangkaian aksara

Di sini,
Kita bersama
Menebar manfaat semampunya
Berharap 'kan menjadi pemberat pahala
Tuk bersama raih Jannah-Nya.


#PeCi
#PenaCici

-cici putri-
@ciciliaputri09