Senin, 23 November 2015

Rasa yang "hilang"

Yuhuuu...


Hai, jumpa lagi sama Cici di sini. Kali ini aku bakal berbagi sebuah tulisan yang nge-jleb banget. Jleb ampe ke dasar hati. Bikin aku intropeksi diri, trus mewek sendiri. Hiks. Tulisan ini aku dapat dari seorang teman di grup Whatsapp. Nggak ada tercantum nama penulisnya, sih. Tapi, tulisan ini bagus banget buat menilik lebih dalam tentang diri kita. Tentang sebuah rasa, yang mungkin telah "hilang", tentang sebuah persepsi--yang salah dalam memaknai.

Oke langsung aja guys. Cekidot.

***
MENGAPA ALLOH TIDAK MENGHUKUM KITA?

ﻗﺎﻝ ﺍﺣﺪ ﺍﻟﻄﻼﺏ ﻟﺸﻴﺨﻪ :
ﻛﻢ ﻧﻌﺼﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻻ ﻳﻌﺎﻗﺒﻨﺎ ..
Seorang santri bertanya kepada Syaikhnya:
Berapa kali kita durhaka kepada Alloh dan Dia tidak menghukum kita?

ﻓﺮﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺸﻴﺦ :
Maka Syaikh menjawab:

ﻛﻢ ﻳﻌﺎﻗﺒﻚ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻧﺖ ﻻ ﺗﺪﺭﻱ .. ﺃﻟﻢ ﻳﺴﻠﺒﻚ ﺣﻼﻭﺓ ﻣﻨﺎﺟﺎﺗﻪ .. ﻭﻣﺎ ﺍﺑﺘﻠﻲ ﺍﺣﺪ ﺑﻤﺼﻴﺒﺔ ﺃﻋﻈﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻗﺴﻮﺓ ﻗﻠﺒﻪ ..
Berapakali Alloh menghukummu sedangkan kamu tidak mengetahuinya?
Bukankah dihilangkan darimu rasa manis munajah kepada-Nya?
Tidak ada cobaan yang lebih besar menimpa seseorang dari kerasnya hati...

ﺍﻥ ﺍﻋﻈﻢ ﻋﻘﺎﺏ ﻣﻤﻜﻦ ﺍﻥ ﺗﺘﻠﻘﺎﻩ ﻫﻮ ﻗﻠﺔ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﺍﻟﻰ ﺍﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺨﻴﺮ ..
Sesungguhnya hukuman yang paling besar dan mungkin kamu temui adalah sedikitnya taufik kepada perbuatan baik...

ﺍﻟﻢ ﺗﻤﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ ﺩﻭﻥ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻟﻠﻘﺮﺍﻥ ..
Bukankah telah berlalu hari-harimu tanpa bacaan Al Quran?

ﺍﻟﻢ ﺗﻤﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﻠﻴﺎﻟﻲ ﺍﻟﻄﻮﺍﻝ ﻭﺃﻧﺖ ﻣﺤﺮﻭﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ..
Bukankah telah berlalu malam malam yang panjang sedangkan engkau terhalang dari shalat malam?

ﺍﻟﻢ ﺗﻤﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻮﺍﺳﻢ ﺍﻟﺨﻴﺮ .. ﺭﻣﻀﺎﻥ .. ﺳﺖ ﺷﻮﺍﻝ .. ﻋﺸﺮ ﺫﻱ ﺍﻟﺤﺠﺔ .. ﺍﻟﺦ ﻭﻟﻢ ﺗﻮﻓﻖ ﺍﻟﻰ ﺍﺳﺘﻐﻼﻟﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﺒﻐﻲ .. ﺍﻱ ﻋﻘﺎﺏ ﺍﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ؟
Bukankah telah berlalu musim-musim kebaikan, Ramadhan, enam hari syawwal, sepuluh hari dzulhijjah, dan lainnya..., sedangkan engkau tidak mendapatkan taufik untuk memanfaatkannya sebagaimana mestinya... hukuman manalagi yang lebih banyak dari ini...?

ﺍﻻ ﺗﺤﺲ ﺑﺜﻘﻞ ﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ ..
Tidakkah engkau merasakan beratnya ketaatan?

ﺍﻻ ﺗﺤﺲ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻣﺎﻡ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﻭﺍﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ..
Tidakkah engkau merasa lemah dihadapan hawa nafsu dan syahwat?

ﺍﻟﻢ ﺗﺒﺘﻠﻰ ﺑﺤﺐ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻭﺍﻟﺠﺎﻩ ﻭﺍﻟﺸﻬﺮﻩ ..
Bukankah engkau diuji dengan cinta harta, kedudukan, dan popularitas..?

ﺃﻱ ﻋﻘﺎﺏ ﺍﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ..
Hukuman mana yang lebih banyak dari itu?

ﺍﻟﻢ ﺗﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﻐﻴﺒﺔ ﻭﺍﻟﻨﻤﻴﻤﺔ ﻭﺍﻟﻜﺬﺏ ..
Bukankah engkau merasa ringan untuk berghibah, namimah dan dusta..?

ﺍﻟﻢ ﻳﺸﻐﻠﻚ ﺑﺎﻟﻔﻀﻮﻝ ﻭﺍﻟﺘﺪﺧﻞ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﻌﻨﻴﻚ ..
Bukankah engkau tersibukkan untuk campur tangan pada hal yang tidak bermanfaat untukmu..?

ﺍﻟﻢ ﻳﻨﺴﻴﻚ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺍﻛﺒﺮ ﻫﻤﻚ ..
Bukankah akhirat dilupakan dan dunia dijadikan sebagai tujuan utama?

ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﺬﻻﻥ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺍﻻ ﺻﻮﺭ ﻣﻦ ﻋﻘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ..
Ini adalah tipuan,,, tidaklah itu semua kecuali bentuk hukuman dari Alloh...

# ﺇﺣﺬﺭ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﻓﺎﻥ ﺍﻫﻮﻥ ﻋﻘﺎﺏ ﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺴﻮﺳﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺃﻭ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﺔ ..
Hati-hatilah anakku, sesungguhnya hukuman Alloh yang paling ringan adalah yang terletak pada materi, harta, anak, kesehatan ...

ﻭﺍﻥ ﺍﻋﻈﻢ ﻋﻘﺎﺏ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ ..
Sesungguhnya hukuman terbesar adalah yang ada pada hati...

ﻓﺎﺳﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻭﺍﺳﺘﻐﻔﺮ ﻟﺬﻧﺒﻚ ..
Maka, mintalah keselamatan kepada Alloh, dan mintalah ampunan untuk dosamu...

ﻓﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﻟﻠﻄﺎﻋﺎﺕ ﺑﺴﺒﺐ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻳﺼﻴﺒﻪ
Sesungguhnya seorang hamba diharamkan taufik untuk melakukan ketaatan karena sebab dosa yang menimpanya.

*Sumber : Grup Whatsapp




Kamis, 12 November 2015

Morning Hectic

Seperti biasa, tiap pagi suasana di rumahku terasa ramai sekali--gaduh lebih tepatnya. Dua orang adikku yang duduk di taman kanak-kanak, si kembar, Rana dan Rani seperti biasa selalu berebutan ke kamar mandi. Mulai dari rebutan handuk--walau sudah punya masing-masing, hingga rebutan siapa yang harus lebih dulu ambil gayung dan pakai sabun. Tentu saja, pertikaian antara si kembar ini tidak akan berakhir jika mama belum turut ambil bagian untuk melerai.

Sementara Randy, adikku yang duduk di kelas 2 SMA tidak akan menunjukkan tanda-tanda ketertarikkannya untuk beranjak dari kasur--yang sudah lebih 6 bulan tidak diganti spreinya, jika si Bonny--jam waker berbentuk kucing kesayangannya belum berbunyi. Jika Bonny berbunyi, maka dengan kecepatan--entah apa, Randy akan segera bangun, melompat dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi, serta membuat kegaduhan bersama papa. Kegaduhan karena harus berdebat--rebutan kamar mandi dengan papa yang punya kebiasan bolak-balik buang air besar tiap pagi. Nyaris lebih dari 7 kali buang air sebelum akhirnya papa berangkat ke kantor. Sungguh kebiasaan papa yang aneh.

Seolah tidak peduli dengan kegaduhan yang terjadi di sekitarnya, Mba Tum, pembantu di rumah kami tengah asyik meramu bahan-bahan yang ada di dalam kulkas untuk diolah menjadi santapan lezat bagi penghuni rumah. Tentu saja seperti biasanya, sambil menyiapan masakan, Mba Tum berdendang-dendang ria dengan lagu dangdut terbarunya. Mba Tum penggemar dangdut tulen. Jika ingin tahu perkembangan dunia perdangdutan masa kini, tanyakan saja pada Mba Tum, dia tahu segalanya.

Sedangkan Farel, dan mungkin memang hanya Farel yang tidak turut serta menyumbangkan kegaduhan pagi hari di rumah. Adik laki-lakiku yang duduk di kelas 1 SMP ini, terlihat sudah rapi dengan seragam putih-birunya. Si Mr.Kaku kutu buku ini, seolah tidak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi. Dia hanya tertarik dengan hal-hal yang bisa menambah wawasan dan menaikkan nilai rapornya. Maka, jadilah buku-buku tebal menjadi santapan favoritnya tiap pagi. Bahkan saat di meja makan sekalipun, buku-buku tebal itu seolah menjadi hidangan pelengkap baginya.

Dan aku, mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri, masih setia di sini. Sejak ayam mulai tertidur hingga bangun kembali, berkutat dengan file-file di depan laptop dan printer yang tintanya ngadat lagi pagi ini.


-Cici Putri-



#Challenge
#BukuTintaKulkas

Selasa, 10 November 2015

Kotak Pos

"Kakaaaakkk... Itu punya aku mau dikemanain?"

"Mau dibuat sesuatu. Aku minta, ya." Alis Jony naik turun, menggoda--lebih tepatnya membujuk paksa adiknya.

"Tapi itu kan, tempat mainan aku," protes Danu.

"Udah, Untuk mainan kamu nanti pake yang lain aja. Pake keresek juga bisa. Ini lebih penting," jawab Jony. Tangannya sibuk mematut-matut kardus yang semula menjadi markas mainan adiknya.

"Kakak... Sebenernya mau buat apa, sih?" Danu mendekati Jony yang tengah men-design kardusnya.

"Sebentar. Nanti kamu juga tahu," jawab Jony masih sibuk dengan kardus, gunting, spidol dan beberapa peralatan lainnya. "Bisa tolong ambilin tangkai sapu yang udah nggak kepake di gudang, nggak?" pinta Jony.

Danu menurut, dan mengambilkan tangkai sapu yang dimaksud kakaknya, walau masih heran apa sebenarnya yang tengah dilakukan kakaknya yang duduk di kelas lima Sekolah Dasar ini. Sedangkan otak taman kanak-kanaknya, masih terlalu polos untuk menerka-nerka.

"Nah, siap." Jony berdiri berkacak pingang, dengan senyum sumringah seraya memamerkan karyanya.

"Itu apa, kak? Tongkat nenek sihir?" komentar Danu polos, melihat kardus yang sedikit dicoret-coret, atau digambar entahlah dengan tangkai sapu sebagai penyangganya. Mirip seperti tongkat sihir--atau lebih tepatnya tongkat ibu peri versi jumbo.

"Ini kotak pos. Mau aku letak di depan rumah," jawab Jony cuek. Tidak mempedulikan tatapan heran adiknya.

"Kotak pos? Tapi untuk apa, kak?" Danu masih saja dengan pertanyaan polos dan tatapan herannya.

"Buat naruh paket, surat atau apalah sejenisnya. Biar Pak pos yang tampangnya serem itu nggak perlu lagi ketok-ketok pintu kalau mau ngantarin paket untuk Kak Manda. Sebel tahu, kalau lagi-lagi aku yang disuruh ibu bukain pintu, trus aku harus jumpa sama Pak Pos serem dengan barisan gigi kuningnya gitu. Kayaknya Pak Pos itu nggak mandi-mandi deh, sampe tampangnya jadi kayak gitu," jelas Jony sambil bersungut.

"Haha..." Tawa Danu pecah. Dia kini mulai mengerti kenapa kakaknya ingin segera membuat kotak pos. Jony ingin menghindar dari Pak Pos yang sering sok ramah dengan barisan gigi kuning dan tampang mirip penculik.


-cici putri-
#TelPicNightOWOP


Senin, 09 November 2015

"Mengetuk" pintu

Hufh. Kuhempaskan badan yang penat di atas kasur kamar kosan. Tas selempang yang setia menemani perjalanan kuliahku selama tujuh semester ini, kuletakkan sembarang di samping kasur. Kunyalakan kipas angin mini yang terletak di samping tempat tidur. Syukurlah siang ini dosenku nggak jadi masuk, jadi aku bisa istirahat. Jarang-jarang bisa istirahat siang kayak gini. Dan kebetulan anak-anak kos yang lain belum pulang, jadi aku bisa bocan--bobok cantik. Siapa tahu nanti mimpi dilamar pangeran, kan lumayan. Hehehe.

Angin sepoi-sepoi mulai membelai rambutku yang basah oleh keringat. Oh, betapa nikmatnya bisa tidur siang seperti ini, pikiranku pun mulai melayang entah kemana. Terlena bersama belaian mesra angin dari kincir mini yang berputar di sampingku. Baru saja aku terlena dan hendak memejamkan mata, saat terdengar suara seseorang mengetuk pintu.

Tok... tok.. tok...

"Assalamu'alaikum." Ya ampuuun, ini siapa sih yang datang siang-siang begini. Nggak bisa banget liat orang seneng apa, yah?

"Wa'alaikumussalam," jawabku lirih, masih dengan kepala menekur ke bantal.


Tok... tok... tok...

"Assalamu'alaikum." Terdengar ucapan salam untuk kedua kalinya.

"Wa'alaikumussalam. Iya sebentar," jawabku malas. Dengan tampang kusut dan mata setengah terbuka, aku menyambar kerudung instan di belakang pintu kamar. Bukan jilbab lebar seperti yang kebanyakan digunakan para penghuni kos ini. Tapi setidaknya aku sudah menutup aurat selalu, kan? Menutup aurat versi aku tentunya. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan sambil misuh-misuh dalam hati, Hmm... Awas ya, kalau yang datang ini abang-abang galon yang sok kegenitan itu, terus belagak minta tagihan galon siang-siang gini. Langsung aku usir dan bilang mulai hari ini penghuni kos nggak minum air galon lagi, cukup nampung air hujan aja.

Tok... tok... tok...

Ketukan ronde ketiga, membuatku semakin sebal. Iya, iya. Sebentar. Ni orang nggak sabaran amat sih. 

"Ya, cari siapa?" kataku ketus seraya membuka pintu. Namun perasaan kesal karena ada yang mengganggu rencana bocan-ku tiba-tiba menguap bersama panas udara hari ini, saat mendapati seorang pria dengan tinggi 170-an, berkulit sawo matang, rambut rapi dengan sedikit "acakan cakep"  di bagian jambul, berdiri di hadapanku.

Oh Em Ji. Ini bukan mimpi kan? Ada angin apa, siang-siang gini ada pangeran cakep nyamperin aku ke kosan? Aku menepuk-nepuk pipi, meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.

"Eh. Reyna ada?" tanya pria itu sambil menunduk-nunduk sopan, sambil menyugingkan senyuman yang membuatku meleleh. Aku terpana.

"Maaf, Reyna ada?" tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.

"E eh." Aku gelagapan, ketahuan melamun. "Oh, Reyna. Reyna... masih di kampus, ya di kampus." jawabku menebak-nebak, karena memang mungkin dia masih di kampus. Ya ampun, ini cowok cakep amat sih, siapanya Reyna coba? Pacar? Kayaknya nggak mungkin deh, Reynakan jilbaber gitu, masa punya pacar. Kalau emang bukan pacar Reyna, berarti boleh dong buat aku? Khayalanku mulai beraksi lagi.

"Oh. Ya udah, kalau nggak ada. Saya titip ini aja, ya." Cowok berkemeja coklat dengan lengan panjang yang sedikit digulung itu menyerahkan kantong plastik berukuran lumayan besar padaku. "Itu dari ibunya Reyna, bilang aja tadi Bang Arya yang antar ke sini."

"Oh ya, nanti aku sampaikan," jawabku. Setelah berterima kasih, diapun pamit. Sebelum dia benar-benar membalikkan badan, "Oh ya, mas ini siapanya Reyna, ya?" tanyaku polos, lalu aku mengutuk diri sendiri karena lancang bertanya tanpa malu.

"Saya abangnya, bukan abang kandung sih. Tapi kami sepupu dan saudara sepersusuan, dan kebetuluan rumah kami berdekatan. Jadi, semalam waktu aku pulang, ibu Reyna nitip itu buat Reyna. Tolong sampaikan, ya." Aku mengangguk mengiyakan, diapun pamit dan berlalu.


Aku kembali ke kamar dengan wajah berseri-seri atau lebih tepatnya mesam mesem sendiri. Dan karena kejadian barusan, gen ngayal yang sedari dulu melekat di diriku mulai beraksi lagi. Aku kembali membaringkan badan dengan indah di tempat tidur sambil mengkhayal menjadi putri dan Bang Arya pangerannya. Aaa... Pasti keren banget deh. Akupun mulai terlarut dalam buaian mimpi--yang kuciptakan sendiri.

Tok... Tok... Tok...

Aduh. Siapa lagi, sih? Dengan berat aku melangkahkan kaki membuka pintu depan.

"Ya, cari si--" Suaraku tercekat saat melihat Bang Arya sudah berada di depan pintu dengan seikat bunga mawar merah di tangannya.

"Sa, maaf kalau udah ganggu istirahat kamu. Tapi aku ke sini cuma mau ngasih ini buat kamu." Bang Arya menyerahkan bunga mawar di tangannya ke padaku. Ya ampuuun... So sweet banget sih. Mukakku merah tomat, bahkan mungkin lebih merah lagi.

"Makasi ya, Bang. Jadi nggak enak, Bang Arya sampai repot-repot gini." Aku menerima bunga mawar itu dan menciumnya. Seperti adegan di tivi-tivi.

"Nggak repot, kok. Untuk gadis secantik kamu, aku seneng-seneng aja direpotin." Kata-kata Bang Arya membuatku makin meleleh.

"Oh ya. Bang Arya kenapa balik lagi? Dan kok tahu namaku Salsa?"

"Karena aku... Aku sayang kamu, Sa." jawab Bang Arya seraya menyentuh pundakku.

"Bang Arya sayang aku?" Bagaimana mungkin baru kenal udah bisa bilang sayang? Mendadak otak khayalanku mulai mendarat di bumi--bisa berpikir logis.

"Iya, aku sayang kamu. Sayang kamu." Kini yang kurasakan bukan hanya sentuhan tangan-romantis, tapi, lebih seperti Bang Arya sedang menggoncang-goncang badanku. Aku mulai linglung.

"Sa, kamu gimana? Ini udah jam berapa? Ayo, Saa..." Hah? Jam berapa? Bang Arya kenapa? Aku semakin bingung. Tubuhku terasa semakin digoncangkan oleh tangannya--yang kurasa bukan tangannya.


"Salsaaa.... Ayo bangun. Ini udah jam berapa?" Hah? Tiba-tiba aku melihat Tantri, teman sekamarku sudah berdiri di samping tempat tidur. "Kamu itu mimpi apa, sih? Siang-siang gini tidur sambil senyam-senyum. Dibangunin dari tadi susah banget lagi," omel Tantri.

"Hehehe..." Aku nyengir. "Mimpi ada seorang pangeran mengetuk pintu hatiku," jawabku sambil cengengesan.

"Pangeran ngetuk pintu aja udah sampe lupa waktu. Tuh, ada yang dari tadi ngetuk pintu ngantarin cinta nggak kamu gubris."

"Hah? Siapa?" tanyaku dengan muka cengo.

"Allah. Udah dari tadi adzan ashar tahu. Udah digedor-gedor sama Allah. Kamunya cuek aja. Tuh, udah mau jam lima. Udah ashar, belum?" tanya Tantri sambil melilrik jam dinding di kamarku.

Astaghfirullah. Hatiku tersentil.