Senin, 09 November 2015

"Mengetuk" pintu

Hufh. Kuhempaskan badan yang penat di atas kasur kamar kosan. Tas selempang yang setia menemani perjalanan kuliahku selama tujuh semester ini, kuletakkan sembarang di samping kasur. Kunyalakan kipas angin mini yang terletak di samping tempat tidur. Syukurlah siang ini dosenku nggak jadi masuk, jadi aku bisa istirahat. Jarang-jarang bisa istirahat siang kayak gini. Dan kebetulan anak-anak kos yang lain belum pulang, jadi aku bisa bocan--bobok cantik. Siapa tahu nanti mimpi dilamar pangeran, kan lumayan. Hehehe.

Angin sepoi-sepoi mulai membelai rambutku yang basah oleh keringat. Oh, betapa nikmatnya bisa tidur siang seperti ini, pikiranku pun mulai melayang entah kemana. Terlena bersama belaian mesra angin dari kincir mini yang berputar di sampingku. Baru saja aku terlena dan hendak memejamkan mata, saat terdengar suara seseorang mengetuk pintu.

Tok... tok.. tok...

"Assalamu'alaikum." Ya ampuuun, ini siapa sih yang datang siang-siang begini. Nggak bisa banget liat orang seneng apa, yah?

"Wa'alaikumussalam," jawabku lirih, masih dengan kepala menekur ke bantal.


Tok... tok... tok...

"Assalamu'alaikum." Terdengar ucapan salam untuk kedua kalinya.

"Wa'alaikumussalam. Iya sebentar," jawabku malas. Dengan tampang kusut dan mata setengah terbuka, aku menyambar kerudung instan di belakang pintu kamar. Bukan jilbab lebar seperti yang kebanyakan digunakan para penghuni kos ini. Tapi setidaknya aku sudah menutup aurat selalu, kan? Menutup aurat versi aku tentunya. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan sambil misuh-misuh dalam hati, Hmm... Awas ya, kalau yang datang ini abang-abang galon yang sok kegenitan itu, terus belagak minta tagihan galon siang-siang gini. Langsung aku usir dan bilang mulai hari ini penghuni kos nggak minum air galon lagi, cukup nampung air hujan aja.

Tok... tok... tok...

Ketukan ronde ketiga, membuatku semakin sebal. Iya, iya. Sebentar. Ni orang nggak sabaran amat sih. 

"Ya, cari siapa?" kataku ketus seraya membuka pintu. Namun perasaan kesal karena ada yang mengganggu rencana bocan-ku tiba-tiba menguap bersama panas udara hari ini, saat mendapati seorang pria dengan tinggi 170-an, berkulit sawo matang, rambut rapi dengan sedikit "acakan cakep"  di bagian jambul, berdiri di hadapanku.

Oh Em Ji. Ini bukan mimpi kan? Ada angin apa, siang-siang gini ada pangeran cakep nyamperin aku ke kosan? Aku menepuk-nepuk pipi, meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.

"Eh. Reyna ada?" tanya pria itu sambil menunduk-nunduk sopan, sambil menyugingkan senyuman yang membuatku meleleh. Aku terpana.

"Maaf, Reyna ada?" tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.

"E eh." Aku gelagapan, ketahuan melamun. "Oh, Reyna. Reyna... masih di kampus, ya di kampus." jawabku menebak-nebak, karena memang mungkin dia masih di kampus. Ya ampun, ini cowok cakep amat sih, siapanya Reyna coba? Pacar? Kayaknya nggak mungkin deh, Reynakan jilbaber gitu, masa punya pacar. Kalau emang bukan pacar Reyna, berarti boleh dong buat aku? Khayalanku mulai beraksi lagi.

"Oh. Ya udah, kalau nggak ada. Saya titip ini aja, ya." Cowok berkemeja coklat dengan lengan panjang yang sedikit digulung itu menyerahkan kantong plastik berukuran lumayan besar padaku. "Itu dari ibunya Reyna, bilang aja tadi Bang Arya yang antar ke sini."

"Oh ya, nanti aku sampaikan," jawabku. Setelah berterima kasih, diapun pamit. Sebelum dia benar-benar membalikkan badan, "Oh ya, mas ini siapanya Reyna, ya?" tanyaku polos, lalu aku mengutuk diri sendiri karena lancang bertanya tanpa malu.

"Saya abangnya, bukan abang kandung sih. Tapi kami sepupu dan saudara sepersusuan, dan kebetuluan rumah kami berdekatan. Jadi, semalam waktu aku pulang, ibu Reyna nitip itu buat Reyna. Tolong sampaikan, ya." Aku mengangguk mengiyakan, diapun pamit dan berlalu.


Aku kembali ke kamar dengan wajah berseri-seri atau lebih tepatnya mesam mesem sendiri. Dan karena kejadian barusan, gen ngayal yang sedari dulu melekat di diriku mulai beraksi lagi. Aku kembali membaringkan badan dengan indah di tempat tidur sambil mengkhayal menjadi putri dan Bang Arya pangerannya. Aaa... Pasti keren banget deh. Akupun mulai terlarut dalam buaian mimpi--yang kuciptakan sendiri.

Tok... Tok... Tok...

Aduh. Siapa lagi, sih? Dengan berat aku melangkahkan kaki membuka pintu depan.

"Ya, cari si--" Suaraku tercekat saat melihat Bang Arya sudah berada di depan pintu dengan seikat bunga mawar merah di tangannya.

"Sa, maaf kalau udah ganggu istirahat kamu. Tapi aku ke sini cuma mau ngasih ini buat kamu." Bang Arya menyerahkan bunga mawar di tangannya ke padaku. Ya ampuuun... So sweet banget sih. Mukakku merah tomat, bahkan mungkin lebih merah lagi.

"Makasi ya, Bang. Jadi nggak enak, Bang Arya sampai repot-repot gini." Aku menerima bunga mawar itu dan menciumnya. Seperti adegan di tivi-tivi.

"Nggak repot, kok. Untuk gadis secantik kamu, aku seneng-seneng aja direpotin." Kata-kata Bang Arya membuatku makin meleleh.

"Oh ya. Bang Arya kenapa balik lagi? Dan kok tahu namaku Salsa?"

"Karena aku... Aku sayang kamu, Sa." jawab Bang Arya seraya menyentuh pundakku.

"Bang Arya sayang aku?" Bagaimana mungkin baru kenal udah bisa bilang sayang? Mendadak otak khayalanku mulai mendarat di bumi--bisa berpikir logis.

"Iya, aku sayang kamu. Sayang kamu." Kini yang kurasakan bukan hanya sentuhan tangan-romantis, tapi, lebih seperti Bang Arya sedang menggoncang-goncang badanku. Aku mulai linglung.

"Sa, kamu gimana? Ini udah jam berapa? Ayo, Saa..." Hah? Jam berapa? Bang Arya kenapa? Aku semakin bingung. Tubuhku terasa semakin digoncangkan oleh tangannya--yang kurasa bukan tangannya.


"Salsaaa.... Ayo bangun. Ini udah jam berapa?" Hah? Tiba-tiba aku melihat Tantri, teman sekamarku sudah berdiri di samping tempat tidur. "Kamu itu mimpi apa, sih? Siang-siang gini tidur sambil senyam-senyum. Dibangunin dari tadi susah banget lagi," omel Tantri.

"Hehehe..." Aku nyengir. "Mimpi ada seorang pangeran mengetuk pintu hatiku," jawabku sambil cengengesan.

"Pangeran ngetuk pintu aja udah sampe lupa waktu. Tuh, ada yang dari tadi ngetuk pintu ngantarin cinta nggak kamu gubris."

"Hah? Siapa?" tanyaku dengan muka cengo.

"Allah. Udah dari tadi adzan ashar tahu. Udah digedor-gedor sama Allah. Kamunya cuek aja. Tuh, udah mau jam lima. Udah ashar, belum?" tanya Tantri sambil melilrik jam dinding di kamarku.

Astaghfirullah. Hatiku tersentil.




3 komentar:

  1. Reyna tuh bukannya lagu dangdut ya, KakCi?

    "Sungguh mati aku jadi Reyna-saran.."
    #Jayus #Abaikan #KomentarPentingBetDah

    Wey, setoran yang kedua wey! #RentenirTulisan

    BalasHapus
  2. Yg kedua males ah.
    Ckup itu mjd rhasia htiku dan hatimu.
    #eeaaa
    #apaancoba
    #gaknyambung

    BalasHapus
  3. Wkwkwk, ngekek mba. Aku langsung bayangin Fedi Nuril masa :v

    BalasHapus