Selasa, 12 April 2016

Putri Kentang (Part 2-End)

Putri Kentang part 1, baca di sini

***
Tong sampah yang tak teralu besar di sudut kamar penuh dengan bola-bola kertas berbentuk sembarang. Bukan bola sebenarnya, mungkin lebih tepat jika menyebutnya gumpalan kertas yang diremek-remek, ini entah sudah kertas yang keberapa, dan nyaris, jika aku tak bisa mengendalikan diri, habis sudah satu rim kertas HVS, hanya untuk menulis sebuah surat, surat untuk Pini.

'Tuhaaan... Kenapa sesulit ini???' Aku meremas-remas kepalaku yang plontos.

Menulis surat. Ya, mungkin terlihat aneh dan kuno untuk zaman serba canggih seperti sekarang. Tapi, apalah dayaku, ponsel pintarku seakan tak ada gunanya bila aku berhadapan dengan Pini. Bukan karena aku menjadi gagu ketika hendak menghubunginya--walaupun sebenarnya itu salah satu alasannya--tapi, alasan utamanya adalah karena Pini tidak punya ponsel pintar. Jangankan ponsel pintar, ponsel yang tak pintar pun dia tak punya. Karena seperti kalian tahu, Pini hanyalah gadis dari keluarga sederhana, gadis penjual kentang. Namun, kesederhanaan--dan paras ayu--yang dimilikinya inilah, yang membuatku jatuh cinta.

Aku menatap frustasi kertas kosong di hadapanku. Ini kertas terakhir. Oh, bukan, bukan. Ini kertas dua terakhir, karena ternyata aku masih punya satu kertas cadangan di bawah bantal--yang sering aku jadikan media untuk menatap seolah-olah itu adalah foto Pini. Aku membenamkan wajah di atas meja. Badanku lunglai. Sekarang aku bisa apa? Tiba-tiba, kata-kata Frian kemarin terngiang-ngiang di telingaku, "Siapa tahu Pini sudah punya calon."

Pini, benarkah kau sudah ada yang punya? Seketika aku mengutuk diriku, betapa bodohnya aku. Hingga kini, hanya bisa diam saja. Frian benar, bisa jadi sudah ada pria lain yang lebih berani untuk melamar Pini. Kalau begitu, aku akan segera bertindak, sebelum semuanya benar-benar terjadi. Aku membulatkan tekad. Maka, seketika itu juga tanganku lincah mengajak sang pena berdansa di atas kertas. Menorehkan tinta, merangkai kata-kata cinta. Untuk Pini. Putri kentangku.

Hufh... Aku menarik napas lega. Tak perlu waktu banyak, aku sudah menyelesaikan suratku untuk Pini. Surat yang berisi luapan hati dalam bentuk puisi dan narasi. Oh Pini, semoga kau benar-benar menjadi permaisuriku. Kulipat rapi dan kumasukan suratku ke dalam amplop bermotif hati. Amplop yang sengaja aku beli dari toko Pinky.

Aku melirik jam dinding yang mungkin sudah bosan menatapku sepanjang malam ini. Pukul 02.59 dini hari. Huaaaa... aku menguap, meregangkan otot-ototku. Surat sudah siap, sekrang saatnya untuk istirahat. Masih ada waktu beberapa jam, sebelum si ayam berkokok.

***
Sore ini, seperti sore-sore sebelumnya, aku menanti Pini lewat di depan rumah. Kali ini dengan sedikit debaran yang berbeda, karena aku sudah menyiapkan surat yang akan kuberikan padanya. Surat yang sekadar untuk membuatnya saja, nyaris membuatku tak tidur sepanjang malam. Pucuk dicinta, sang pujaan pun tiba. Aku segera menghampirinya. Dengan sedikit basa basi menanyakan barang dagangannya, maka akupun memberanikan diri menyampaikan hajatku yang sebenarnya. Untunglah, sepertinya Tuhan tahu bahwa aku sangat pemalu, sore ini--entah kenapa--komplek terlihat sepi, hingga aku leluasa untuk mendekati Pini.

"Pini," kataku agak salah tingkah.

"Ya, Mas." Ia menoleh ke arahku. Tersenyum, seraya tangannya lincah membungkus kue-kue kentang pesananku.

"Mas mau kasih sesuatu untuk kamu." Pini membalas ucapanku dengan tatapan heran.

"Mas mau kasih ini." Aku menyodorkan surat beramplop merah jambu. "Ini surat. Kamu baca di rumah, ya..."

Pini mengambil surat yang kusodorkan padanya, masih dengan tatapan bingung. Beberapa detik ia sempat tediam dan menatap amplop pemberianku. kemudian berkata, "Oh ya, Mas. Kebetulan. Liat amplop ini Pini jadi teringat sesuatu," katanya polos. Sedangkan jantungku semakin berpacu demi menerka-nerka apa yang akan dikatakannya.

"Ini Mas. Pini mau ngasih ini." Pini menyerahkan sebuah amplot berukuran agak besar dari ukuran amplop surat biasanya. Hatiku semakin tak karuan. Apakah ia juga menyimpan rasa yang sama? Dan semalam ia juga menulis surat, sama sepertiku?

Aku menerima amplop darinya, "Ini apa?" tanyaku pura-pura. Sedangkan dalam hati, aku yakin, ini pasti surat. Dan sudah pasti surat cinta. Untukku.
Wajah Pini memerah, ia menunduk dan tersenyum malu. Senyum yang membuatku semakin ingin untuk segera mendatangi bapaknya. "Itu undangan, Mas." Pini memainkan ujung jilbabnya, malu-malu.

Deg. Ada hantaman keras tepat di hatiku. Apakah ini undangan pernikahan? Namun aku tak mau menduga-duga, dan aku berharap semoga dugaanku salah.

"Ini undangan apa? Kamu mau nikah, ya?" tanyaku memastikan, setelah beberpa detik lalu memastikan diriku akan baik-baik saja, jika Pini menjawab iya.

Pini mengangguk dua kali. Dan itu cukup untuk menjawab semuanya. Terlambat sudah. Aku kalah, bahkan ketika baru memulai.

Beberapa detik. Aku hanya bisa terdiam, dan memastikan aku akan baik-baik saja setelah ini, walau aku tahu, itu sulit.

"Nikah sama siapa?" tanyaku lagi, dengan suara bergetar, semoga Pini tak menyadirnya.

"Sama Mas Frian. Sepupu Mas Gilang."

Dan seketika, rasanya aku ingin mati saja.



21 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tragis mbak cici..😂😂😂

    BalasHapus
  3. Tragis mbak cici..😂😂😂

    BalasHapus
  4. Duuhh... Bang gilang memang pas ya klo berakir tragis,hhee piss

    BalasHapus
  5. Hmmm sad ending. Tapi bagus penuturannya

    BalasHapus
  6. Hua si Frian tega amir yaaaaaa 😂😂

    BalasHapus
  7. duh,aa Gilang... yang tabah yaa =))

    BalasHapus
  8. Duuh aku aku perannya tragis hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu emg cocok jd peran dpt cinta yg tragis, Lang.
      Hhaha

      Hapus
  9. Terus Frian nyanyi ala Jamal mirdad dan Lidia kandau "jangankan dalam kehidupan, di dalam bercinta pun aku kalah" 😀

    BalasHapus
  10. Dalam kisah nyataku, aku bernasib seperti bang gilang, pujaan hatiku diambil dlu sama orang.....😢

    BalasHapus
  11. Kpn2 kl bikin cerita lagi, namaku mbokyo digawe mbk Cici 😆😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaa.
      Ada yg mnt dimasukin namanya inih.

      Hohohoho.
      Oke deh.
      In syaa Allah next time ya, Mas.

      Hapus
  12. Ho ya ampun. Aa gilang selalu bernasib naas urusan cinta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertiny ini memang sdh mnjadi jalan hidupny mba. Hehe

      Hapus
  13. kisahnya sangat tragis, bikin ikutan nyesek hehehe

    BalasHapus