Rabu, 30 Desember 2015

Dulu-Kini

Dulu.
Saat whatsapp tak dianggap. Banyak orang justru merasa lebih keren pakai BBM. Tapi sekarang, aku rasa tidak. Justru mereka yang tidak menggunakan Whatsapp, dianggap kudate (Kurang Update).

Entah kapan atau dari mana fenomena Whatsapp ini bermula. Tapi, yang jelas bagi diriku sendiri, menggunakan Whatsapp pada mulanya bukan karena latah atau ikut-ikutan trend. Karena, sebelum chatting via Whatsapp nge-trend, aku sudah lebih dulu menggunakannya. Dan saat itu, jujur saja. Kontak Whatsapp di HP-ku, masih sepi. Hanya ada beberapa. Grup? Apalagi. Tidak ada satupun.

Namun, seiring berjalannya waktu. Fenomena Whatsapp makin mewabah. Grup makin banyak, bahkan tak terhitung lagi. Walau begitu, aku masih ingat. Bahkan sangat terekam jelas diingatanku, apa nama grup pertamaku. Ya, dialah ODOJ (One Day One Juz). Sebuah komunitas mengaji (Tilawah Qur'an satu hari satu juz). Aku bergabung di komunitas ini pada November 2013. Dan tidak lama, hanya selang 1-2 bulan saja semenjak aku bergabung di komunitas ini, maka Whatsapp langsung mewabah di mana-mana. Pertambahan kontak di HP-ku meningkat drastis. Grup ini itu makin bertebaran. Mulai dari grup kampus, kajian, bisnis, dan lain sebagainya.

Kadang aku berpikir, dulu Whatsapp cenderung terabaikan. Tapi, semenjak ada ODOJ, Whatsapp menjadi perhatian. Dan untuk hal ini, sepertinya Whatsapp harus berterima kasih ke pada ODOJ. Eh, atau ODOJ yang harus berterima kasih pada Whatsapp? Karena waktu itu hanya Whatsapp yang bisa menampung member grup lebih dari 30 orang (Tidak seperti BBM yang hanya 30 orang saja). Ah sudahlah, aku tidak ingin membahas siapa yang harus berterima kasih kepada siapa. Toh, juga tidak ada gunanya. Yang jelas, ODOJ dan Whatsapp (WA) saling membutuhkan.

Dulu.
Banyak di antara kita yang masih begitu awam. Tidak tahu bagaimana menggunakan smartphone, apalagi Whatsapp. Atau, ada juga sebagian dari kita yang sudah menggunakan smartphone, tapi masih awam dengan aplikasi Whatsapp.
Entah kenapa, lagi-lagi selalu saja terlintas di pikiranku, bahwa Whatsapp "harus berterima kasih" pada ODOJ. Karena tidak sedikit orang yang pada akhirnya menggunakan aplikasi ini, hanya karena ingin bergabung di ODOJ.

"Maaf mba, itu gabung ODOJ-nya via apa ya? Whatsapp? Saya nggak punya Whatsapp mba. Tapi, nanti saya coba install dulu ya."

"Mba, itu di grup kok bisa muncul icon-icon gitu, ya? Caranya gimana?"

"Mba, cara buat list tilawahnya gimana? Bisa bantu aku?"

"Mba, ini gimana?"

"Mba itu apa?"

"Mba, Mba, bla bla bla."

Begitulah lebih kurang komentar-komentar mereka yang baru menggunakan Whatsapp karena bergabung di grup ODOJ.

Dan kini? Kalian tahu hasilnya? Jangan ditanya lagi. Mereka sudah ahli menggunakan semua fitur-fitur yang ada. Bahkan mungkin lebih ahli dariku. Jumlah grup di smartphone-nya? Ah. Aku rasa juga tak terhitung lagi. Bukankah dengan bergabung di satu grup saja, bisa melahirkan grup lain yang beranak pinak? Karena di grup banyak besileweran info-info mengenai grup-grup lainnya. Yang siapa saja bebas mengakses dan mendaftar.

Dulu.
Waktuku banyak luang, tak jarang bahkan sering update status nggak jelas. Kadang juga uring-uringan nggak jelas mau ngapain.

Dulu.
Pekerjaanku biasa saja. Bahkan sering mengganggur. Ingin cari kerja sampingan, bingung mau kerja apa. Bisnis? Nggak tahu mau bisnis apa.

Dulu.
Anak-anak rasanya sulit diatur. Dengan tetangga tidak begitu akur.

Dulu.
Aku bukan siapa-siapa. Bahkan terkadang di tengah masyarakat aku seolah antara ada dan tiada.

Dulu.
Aku bingung, aku linglung. Jiwaku terkungkung.

Dulu.
Rezeki rasanya begitu sulit. Keresahaan hati kian menghimpit. Tak jarang, terkadang hutang juga datang melilit.

Dulu.
Karena alasan itu semua. Dari pada waktu terbuang percuma, dan agar aku bisa mendekat pada-Nya, aku memilih untuk bergabung di sini, bersama ODOJ.

Dulu.
Masih teringat kenangan itu, saat aku dan teman-teman saling berlomba ingin segera kholas (menyelesaikan tilawah 1 juz), mendapat icon terbaik. Bukan. Bukan icon terbaik sesungguhnya yang kami kejar. Tapi, amalan terbaik, dalam rangka ber-fastabiqul khairat.

Kini.
Alhamdulillah. Mungkin ini berkah dari Allah. Karena aku sudah istiqomah untuk tilawah. Keresahaan semakin memudar, rezekipun kian lancar. Tawaran pekerjaan, peluang bisnis datang tanpa terduga. Dan tentu saja, itu semua membuatku semakin bahagia.

Kini.
Makin hari bisnisku semakin lancar. Relasiku juga semakin melebar. Peluang-peluang kerja, jenjang pendidikan yang lebih baik, semuanya makin terbuka lebar. Waktuku, kini tak luang lagi. Hampir setiap menit, bahkan detik selalu terisi.

Kini.
Semuanya semakin mendekat. Karirku melesat, bisnisku semakin jauh meningkat. Aku merasa butuh waktu lebih banyak lagi.

Kini.
Curcol di grup ODOJ, sudah mulai kukurangi. Muncul di grup untuk saling menyemangati, juga hanya sesekali. Itupun, kalau aku ada waktu. Laporan? Ah. Kadang aku lupa. Tapi, bukankah yang penting aku tetap tilawah?

Kini.
Pekerjaanku kian banyak. Orderan jualanku semakin membludak. Ini pasti karena aku semakin serius menjalani bisnis ini. Kalau begitu, aku harus fokus.

Kini.
Japrian dari admin dan teman-teman ODOJ terasa seperti rentenir yang selalu menghantui. Menagih-nagih laporan, memintaku segera menyelesaikan tilawah.
Hey! Tak tahukah mereka kini aku sedang berusaha membagi waktu? Aku tak bisa lagi seperti dulu. Tilawah? Nanti saja. Pekerjaanku yang lain, tak bisa ditunda.

Kini.
Mungkin lebih baik aku mundur saja. Daripada terus bertahan di sini. Bersama orang-orang yang kerjanya hanya menghantui. Menagih-nagih setoran tilawahku. Memangnya mereka pikir, mereka malaikat? Mau mencatat semua amalku? Begitu?

Kini.
Keputusanku sudah bulat. Aku mundur saja. Keluar dari jama'ah (ODOJ). Toh, jika hanya mengaji, aku bisa sendiri. Dan aku bisa lebih bebas, tanpa perlu ada yang menghantui.

Kini.
Aku sendiri. Bebas dari segalanya. Tak perlu bersusah-susah untuk laporan. Tak perlu repot-repot menjadi petugas harian.

Kini.
Aku bisa lebih leluasa melakukan apa saja yang aku suka. Dan tentunya, kini aku lebih punya banyak waktu untuk yang lain. Untuk keluarga, karir, dan bisnisku.

Kini.
Aku bebas. Aku terlepas. Aku merdeka. Semerdeka-merdekanya. Hingga mungkin aku benar-benar "merdeka" hingga tilawahpun kini aku benar-benar lupa.
Ya Allah, inikah bencana?

Sahabatku,
Tak perlu merasa tersindir, apalagi tersentil. Karena tulisan ini bukan untukmu. Tapi aku!

Semoga menjadi pengingat, agar aku bisa selalu taat. Agar Allah senantiasa berkenan, menjagaku dari godaan dunia yang sungguh semakin meraja.

"Jika bersama dakwah saja kau serapuh itu, bagaimana mungkin jika kau seorang diri?" (Ust.Rahmat Abdullah)

Ya Rabbi, ampuni kami.




-Cici Putri-
@ciciliaputri09
ODOJ181

Pku,301215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar