"Horrreeee.... Bapak pulang!!!" Bunga berlari menyambut
kedatangan bapaknya. Pak Jarwo, seorang nelayan desa. "Kalau bapak udah
pulang, berarti sekarang waktunya Bunga main sama Bang Randy. Ayo Bang,
kita main...!" Bunga menarik tangan Randy.
"Iya. Iya. Sebentar ya... Adik abang yang cantik. Abang bantuin bapak dulu bawa ikan-ikan ini ke dalam."
"Oke deh. Bunga tunggu. Tapi janji ya... Seperti kata abang
semalam. Kali ini, bunga yang pegang kendali dayungnya. Oke?" kata
Bunga sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
"Oke," jawab Randy, juga mengacungkan kelingkingnya--tanda perjanjian.
Bermain sampan sepulang bapaknya dari melaut, memang sudah menjadi kebiasaan Randy dan Bunga. Dan sore itu seperti janji Randy pada
Bunga, jika Bunga berhasil mengkhatamkan bacaan iqro'- nya, maka Randy
akan mengizinkan Bunga untuk mendayung dan memegang kendali sampan
mereka. Bunga setuju, dan hari ini dia menagihnya.
"Ayo Bang. Udah selesai, kan bantuin bapak? Bunga udah
nggak sabar nih. Ayooo..." Bunga kembali menarik tangan abangnya,
memintanya untuk bergegas.
"Iya. Iya... Ayo! Kamu udah siap kan? Tapi janji ya... Kamu
nanti hati-hati. Dayungnya pelan-pelan." Randy mengingatkan. Dalam
hatinya menyelinap rasa khawatir akan keselamatan adiknya yang masih
duduk di bangku sekolah dasar ini.
"Sip Bang. Tenang aja. Bunga kan anak pelaut, jadi udah
biasalah main di laut. Apalagi kan ada abang yang jagain Bunga," kata
Bunga sambil memainkan kerah bajunya.
Bunga terlihat begitu bahagia sore itu. Betapa tidak.
Keinginannya untuk mengendalikan sampan dengan kayuhnya sendiri,
akhirnya terwujud.
Saat Randy dan Bunga tengah asik menikmati langit sore di
atas sampan, tiba-tiba saja langit berubah mendung. Terdengar gemuruh
yang seakan ingin menghujam kalbu dengan suaranya. Terlihat dari jauh
petir mengilat-kilat. Ada apakah gerangan? Randy mulai was-was, namun
juga tak ingin melihat senyum dari sang adik mendadak surut. Awan hitam berarak, seperti parade kegelapan. Ombak meninggi, deburannya
mencekam. Sampan mereka mulai tak seimbang. Limabelas menit bertahan
dengan segenap kemampuan.
Randy teringat mitos yang selama ini menjadi obrolan warga, bila tanggal tiga belas menurut penanggalan jawa jatuh pada hari jum'at di bulan Suro, maka anak perempuan dilarang bermain di laut. Karena pada hari itu, arwah Mbah Legi akan bangkit untuk mencari tumbal sebagai ganti anaknya yang dulu mati tenggelam di laut. Menurut cerita, Mbah Legi adalah orang pertama yang tinggal di perkampungan itu, dan dia juga adalah seorang yang memiliki kemampuan magis, yang pada akhirnya meninggal karena stres kehilangan anaknya yang mati di telan ombak.
Randy teringat mitos yang selama ini menjadi obrolan warga, bila tanggal tiga belas menurut penanggalan jawa jatuh pada hari jum'at di bulan Suro, maka anak perempuan dilarang bermain di laut. Karena pada hari itu, arwah Mbah Legi akan bangkit untuk mencari tumbal sebagai ganti anaknya yang dulu mati tenggelam di laut. Menurut cerita, Mbah Legi adalah orang pertama yang tinggal di perkampungan itu, dan dia juga adalah seorang yang memiliki kemampuan magis, yang pada akhirnya meninggal karena stres kehilangan anaknya yang mati di telan ombak.
Suasana saat itu terasa semakin mencekam. Awan hitam
semakin pekat bekejaran dengan angin yang berhembus semakin kencang.
Sampan semakin oleng, kayuh yang dikendalikan kini lepas dari genggaman.
Panik. Apa yang harus diperbuat. Sampan terhempas dipermainkan ombak
yang mengamuk.
***
"Randy, di sini kamu rupanya." Pak Jarwo menghampiri Randy yang tengah berdiri menatap ke laut lepas. "Kamu pasti lagi kangen sama adikmu ya?"
Yang ditanya masih diam. Menarik nafas dalam. Raut kesedihan menyelimuti wajahnya.
"Kita semua memang sayang sama Bunga. Tapi Allah lebih
sayang sama dia. Kamu nggak usah terus-terusan sedih, apalagi
menyalahkan diri sendiri. Semua sudah ada yang ngatur, kita tinggal
jalani saja." Pak Jarwo berusaha menghibur anak laki-lakinya yang
tinggal semata wayang.
"Iya, Pak. Randy tahu. Allah memang sayang sama Bunga. Tapi
entah kenapa, perasaan bersalah itu selalu saja muncul setiap kali
Randy melihat sampan Bapak tertaut di sini. Sampan yang selalu menjadi
tempat bermain dan sumber keceriaan kami. Dan di sampan ini juga,
peristiwa itu terjadi. Randy merasa bersalah, Pak. Randy nggak bisa
jagain Bunga." Air mata yang sedari tadi berusaha disembunyikannya, kini
jatuh sudah. Tak terbendung lagi.
"Iya. Bapak ngerti perasaan kamu. Tapi nggak ada gunanya
terus-terusan bersedih seperti ini. Nanti adikmu nggak tenang di alam
sana. Lebih baik kamu banyak-banyak doain dia, biar kita semua bisa
berkumpul di surga. Dan yang terpenting, kamu harus hilangkan di pikiran
kamu tentang mitos yang beredar di kampung kita. Jangan sampai kamu
berpikiran bahwa adikmu hanyut dan hilang karena dibawa arwah Mba Legi
seperti kata orang-orang kampung. Kita itu punya Allah, Allah yang atur
semuanya, hidup mati kita ada di tangan Allah. Bukan di tangan Mbah Legi
atau tangan-tangan manusia lain. Jangan sampai karena saking sayangnya
sama keluarga sendiri, kita jadi syirik sama Allah. Ikhlaskan adikmu ya,
Le." Pak Jarwo berusaha menenangkan.
"Iya, Pak. In syaa Allah." Randy mengangguk pelan.
"Oh ya, ini udah hampir maghrib. Gak baik ngelamun, mending
banyakin do'a sama sholawat untuk adikmu. Yo wes... Ayo balik! Ibumu
udah masak enak buat makan malam."
"Ya, Pak. Sebentar lagi ya Pak. Randy masih mau di sini
dulu. Bapak duluan aja. Nanti Randy nyusul, dan Bapak nggak usah
khawatir. Randy baik-baik aja kok, In syaa Allah. Randy cuma masih mau
merasakan hadirnya Bunga di sini. Boleh kan, Pak?"
"Yo wes. Bapak pulang dulu. Tapi jangan lama-lama loh. Bentar lagi adzan maghrib" Pak Jarwo mengingatkan.
"Ya Pak." Pak Jarwopun berlalu. Meninggalkan Randy
sendirian, menatap ke laut luas. Bayangan kecerian bersama adiknya
menjelang senja, masih melekat kuat dalam ingatannya.
Bunga. Semoga engkau bahagia di sana, dan Allah tempatkan kamu di tempat terbaik di sisi-Nya.
***