Selasa, 28 April 2015

Lukisan jingga



"Cukup! Cukup, Rel! Aku sudah muak dengan semua ini. Puisi, lagu, syair dan apapun bentuknya itu. Aku sudah muak. Muak dengan semua kata-kata manismu. Aku lelah dengan semua ini." Rina kesal. Dia bosan dengan semua kata-kata puitis yang selalu diucapkan Farel kepadanya. 

"Tapi Rin. Itu semua tulus dari hati aku. Memang itulah yang aku rasakan padamu. Aku sangat mencintaimu, Rin." 

"Tidak. Tidak Rel. Ini bukan cinta namanya. Aku bosan. Kau selalu saja mengucapkan kata-kata manis. Puisimu! Anganmu! Semua itu bohong belaka." Rina semakin meninggikan nada bicaranya, membuat orang yang berlalu lalang di taman kampus sore itu menatap heran ke arah mereka berdua. "Dan sekarang, kembali kau menuliskan dan membacakan kisah-kisah manis itu untukku. Kau bilang, kita akan mengarungi samudra pernikahan bersama. Kita akan menatap indah bulan yang sama, tanpa khawatir akan terpisahkan. Kita akan menikmati langit sambil berpegangan tangan. Di perahu yang sama, kau dan aku saling bersama sebagai nahkoda dan aku navigatornya. Ya... ku akui, itu memang terasa indah di khayalanku. Bisa berdua dan menua bersamamu. Tapi, untuk apa itu semua? Jika itu hanya khayalan belaka?? Aku lelah, Rel. Aku lelah. Aku ingin kebersamaan yang lebih nyata. Bukan seperti saat ini" Rina tertunduk, menarik nafas dalam dan terpaku di kursi bambu di taman tempat mereka biasa menghabiskan waktu untuk diskusi. Ada perasaan menyesal dan juga lega, berhasil mengungkapkan semua perasaan yang selama ini ditahannya. Sementara Farel, berdiri, terdiam tanpa kata di samping kursi bambu itu.

"Lalu? Kau ingin kita bagaimana?"

"Aku ingin, kau hentikan semua rayuan-rayuan dan kata manismu itu. Simpan saja untuk dia yang nanti menjadi pendampingmu. Jangan lagi kau tujukan untukku. Toh, dari awal kita juga tidak ada hubungan apa-apa. Hanya pertemanan biasa. Yang mungkin sekarang, sudah mulai menjalar ke pertemanan yang bukan biasa lagi. Aku tidak mau menambah dosa lagi."

"Jadi? Maksudmu?? Kita tidak akan berteman lagi?"

"Kita tetap berteman. Tapi hanya sebatas teman. Tidak lebih. Dan aku mohon, jangan lagi kau kirimkan aku puisi-puisi cinta itu. Simpan saja itu untuk dia yang halal untukmu nanti." 

Hufh... Farel menarik nafas dalam, lalu berkata. "Ok baiklah. Aku mengerti maksudmu, dan sungguh akupun menghargai itu. Kalau begitu, aku akan datang besok ke rumah orang tuamu. Melamarmu." Kata Farel tanpa ragu.

"Ap.. apa?? Kau akan datang melamarku?" Rina terbelalak. Tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Mungkin Farel sudah gila. Pikirnya.

"Ya, aku akan melamarmu, besok. Karena aku tak mau orang lain yang menerima ini. Aku hanya ingin kau yang menerimanya, lukisan yang telah kubuat dengan sepenuh jiwa. Lukisan yang sudah terpatri di hatiku, akan kuberikan untuk dia yang menjadi pendamping hidupku. Dan kini aku semakin yakin, kamulah orangnya. Peganglah ini. Aku akan datang besok menemui orang tuamu." Kata Farel seraya menyerahkan sebuah lukisan bahtera, laut dan bulan nan romantis berwarna jingga. Farel pun berlalu. Meninggalkan Rina yang masih duduk terpaku, dengan lukisan jingga di tangannya.

~Cici~
#MalamNarasiOWOP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar