Selasa, 18 Agustus 2015

Hidup Tak Sempurna

"Bu, aku ingin merantau". Kataku pada ibu. Saat itu langit sedang memperlihatkan warna jingganya. Pertanda sang malam kan datang menyapa.

"Kenapa kamu ingin merantau, Nak? Bukankah di sini kita sudah bisa hidup damai. Jauh dari hingar bingar kota. Di sini kita bisa menghirup udara segar setiap hari. Masyarakat hidup rukun, dan rasa kekeluargaan masih kuat terasa. Untuk keperluan sehari-hari alhamdulillah, kita juga masih punya kebun untuk digarap. Di sini juga kita dekat dengan sanak saudara, jadi mudah kalau-kalau kita butuh sesuatu." Kata ibu seraya membereskan sampah-sampah bekas anyaman tikarnya. Ibu memang suka mengayam. Beberapa hasil anyaman tikarnya terkadang dijual jika ada yang berminat.


"Tapi Bu, aku ingin kehidupan yang lebih baik. Aku merasa di sini aku tidak bisa berkembang. Aku ingin kehidupan yang lebih maju. Punya rumah gedung, mobil, banyak relasi, pakai dasi, baju rapi seperti orang-orang di televisi bu. Aku ingin merasakan sukses seperti mereka." Aku menjelaskan dengan semangat menggebu.

"Apa kamu sudah pikirkan masak-masak?"

"Sudah, Bu. Aku sudah memikirkan semua ini jauh-jauh hari."

"Lalu, keputusanmu ini sudah bulat? Yakin kamu ingin merantau?" Ibu kembali bertanya, sepertinya ia ingin memastikan seberapa besar keinginanku untuk merantau.

"Iya, Bu. In syaa Allah. Keputusanku sudah bulat. Aku juga sudah menghubungi temanku yang di Jakarta. Dia bilang, jika aku memang ingin ke Jakarta, dia akan bantu mencarikan pekerjaan untukku. Sekarang, aku hanya butuh restu dari ibu. Jika ibu izinkan aku akan berangkat besok lusa. Untuk biaya, ibu tidak perlu khawatir, aku punya sedikit tabungan." Jelasku meyakinkan.

"Baiklah, Nak. Jika keputusanmu itu sudah bulat, ibu merestui. Berangkatlah. Ibu do'akan semoga kamu sukses di rantau sana. Jangan lupa untuk selalu berkirim kabar pada ibu."

"In syaa Allah, Bu. Jika sudah di Jakarta nanti aku akan selalu kirim kabar pada ibu."

"Semoga kamu sukses." Ibu memeluk dan mencium keningku.

Tiiiiiiin... Tiiiiiiiiin....

Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Pengemudi mobil di belakangku terlihat mulai marah-marah, karena aku terlambat merespon si lampu hijau. Jalanan padat. Macet tak dapat dihindari. Pulang malam, berjam-jam antri dan terjebak di jalanan. Itu semua nyaris setiap hari ku rasakan. Ya beginilah ibukota, tempat yang ku pilih beberapa tahun lalu. Saat aku memutuskan pilihan untuk merantau. Kini aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Rumah, mobil dan jabatan. Tapi, satu yang tak bisa ku dapatkan di kota ini, yaitu kedamaian.

Tiba-tiba aku rindu. Rindu saat-saat menghabiskan nasi dengan sambal terasi buatan ibu di ladang. Rindu saat sore hari aku duduk bernyanyi, menemani ibu mengayam tikar ditemani secangkir kopi. Rindu saat ibu marah-marah karena aku masuk rumah dengan kaki berkubang tanah.
Rindu. Ah. Aku rindu semua itu.

Kini aku tahu ibu. Aku ingat kata-katamu. Saat aku hendak berangkat dulu, kau pernah bilang padaku, "Nak, jika kau ingin kehidupan yang sempurna, maka kau takkan pernah mendapatkannya. Tapi jika hatimu mampu menerima semua apa adanya, maka semua kan terasa sempurna. Baik itu teman, kerabat, ataupun harta kekayaan, semuanya tidak ada yang mampu membuat hidup ini sempurna. Yang kita bisa lakukan adalah berusaha untuk menerimanya dengan sempurna dan selalu bersyukur atas apapun pemberian dari-Nya".

-cici putri-

Ilustrasi oleh : Santoso Permadi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar