Senin, 01 Juni 2015

(Hilang)nya Putri Malu

Mentari pagi tersenyum indah.
Lazuardi biru terlihat begitu gagah. Membentang. Memayungi bumi.
Dua orang anak perempuan usia pra sekolah berlarian, berpacu menuju jembatan kecil di komplek perumahan tempat mereka tinggal.
Ada sesuatu yang ingin mereka tuju. Ada sesuatu yang ingin mereka perebutkan untuk dimenangkan, di bawah jembatan. Jembatan kecil yang hanya berukuran tidak lebih dari 5 meter, karena sejatinya jembatan ini hanyalah penghubung antar bibir parit di lingkungan perumahan.

"Horrrreee.... aku sampai duluan. Yeeee.... aku yang bakalan dapat banyak. Yang ini, yang ini, yang ini." Dila berteriak girang, karena kali ini dia berhasil mengalahkan Icha. Tangan mungilnya berhasil menyentuh si putri malu lebih banyak. Ya, itulah kegemaran mereka setiap pagi. Berburu putri malu. Menyentuhnya dan membuat skor terbanyak untuk membuat si putri malu mengatup malu.

"Yahh... aku kalah deh." Kata Icha cemberut.
"Eh. Tapi ini masih ada kok. Ye... aku nemuin yang baru, di sini juga banyak. Satu, dua, tiga, empat, lima,  ..." Icha menghitung setiap kali tangannya menyentuh daun si putri malu. Dia baru saja menemukan tempat persembunyian si putri malu yang baru, di bawah jembatan agak menjorok ke dalam.

"Wah... banyak ya di sana? Aku mau dong, Cha?" Dila menyusul Icha ke bawah jembatan.
Ilustrasi : Santoso Permadi

"Iya. Ayo sini. Banyak di sini." Icha bersemangat.

Dua gadis kecil itu terlihat begitu ceria. Mereka sungguh menikmati permainan sederhana mereka setiap pagi. Berburu putri malu.

***
"Eh, Cha... Kita main ke jembatan yuk." Ajak Dila.

"Hmm... boleh juga. Udah lama ya kita gak ke sana".
Dua gadis kecil yang dulu setiap pagi berlarian menuju jembatan, kini sudah beranjak dewasa. Mereka rindu akan kenangan masa kecilnya.

"Wah... ternyata jembatan ini gak banyak berubah ya, Cha." Komentar Dila ketika mereka berdua tiba di jembatan.

"Iya, masih sama seperti dulu. Warna semennya, paritnya, beberapa coretan yang pernah kita buat juga masih ada."

"Iya, Cha. Semua masih sama, kecuali satu. Putri malu kita. Di bawah dan sekitaran jembatan ini udah gak ada lagi putri malu kayak dulu." Kata Dila pelan, wajahnya mulai terlihat sedih. Angin berhembus semilir, membuat kerudung biru yang dikenakannya melambai-lambai.

"Iya, Dil. Kamu bener. Putri malu kita udah gak ada. Apa karena sekarang komplek kita makin ramai? Sehingga dia tak lagi mau tumbuh? Atau kini mungkin dia hanya ada di suatu tempat?" Icha mencoba menerka-nerka. Berpikir. Memelintir, memainkan ujung jilbabnya.

"Hm... mungkin putri malu itu sama seperti kita, Cha." Jawab Dila.

"Sama seperti kita? Maksud kamu?" Icha heran.

"Iya. Keberadaan putri malu sekarang semakin langka. Mungkin karena pembangunan sudah semakin pesat di mana-mana. Sehingga tidak ada lagi tempat untuk mereka hidup bebas dan bersembunyi seperti dulu. Karena dia putri malu, maka tumbuhnya pun malu-malu. Dia malu jika tumbuh dikeramaian, dia malu bila tersentuh. Jika sekarang kita melihat putri malu semakin langka, begitu pulalah putri-putri yang ada di dunia nyata. Rasa malunya seolah telah hilang entah kemana. Tidak malu jika aurat diumbar ke mana-mana. Tidak malu jika berduan dengan yang bukan mahramnya. Tidak malu tertawa dan berbicara yang menggoda lawan jenisnya. Dan banyak lagi tidak malu tidak malu lainnya." Dila menerawang, menatap lepas ke lazuardi pagi.

"Hmmm.... Huft" Icha menghela nafas. "Ya.Kamu bener, Dil." Ichapun ikut melemparkan pandangannya pada lazuardi pagi. Dalam pikiran mereka hadir tanda tanya yang sama.

'Wahai Putri, kemana pergi rasa malu kini?'


-Cici Putri-
@ciciliaputri09

1 komentar:

  1. sukaa. pesan yang mau disampaikan jadi terasa ringan dengan pembawaan bahasa yang mudah dipahami :)
    keep writing!

    BalasHapus