Jumat, 27 Maret 2015

Bidadari berbaju biru


Lebih kurang minggu yang lalu, aku baru saja mengikuti salah satu agenda wisata alam yang diadakan oleh komunitas One Day One Juz atau yang lebih terkenal dengan sebutan ODOJ. Di luar dugaan aku, ternyata dalam agenda ini ada salah seorang umahat (ibu-ibu) yang ikut membawa suami dan anak-anaknya. Luar Biasa. Mereka semua terlihat begitu semangat, terutama anak-anaknya. Umahat ini membawa 3 orang anaknya yang masing-masing berusia lebih kurang 9 tahun, 7 tahun, dan 5 tahun. Walaupun jalan yang harus ditempuh untuk mencapai lokasi wisata, yakni air terjun ini tidak mudah, tapi mereka para mujahid kecil ini terlihat begitu semangat tak kenal lelah. Bayangkan, dengan usia mereka yang masih kanak-kanak,  harus menempuh jalan setapak di dalam hutan berbukit yang jalannya naik turun dan melewati dua buah anak sungai bebatu, dan perjalanan ini memakan waktu lebih kurang 30 menit dengan berjalan kaki. 

Selama perjalanan ini, aku mendapat pelajaran berharga dari mereka, terutama si gadis berbaju biru, mujahidah kecil berusia 7 tahun. Saat perjalanan pulang dari lokasi air terjun menuju tempat Bus kami diparkirkan, aku berkesempatan mendampinginya karena sang abi dan ummi masih tertinggal berjalan di belakang kami. Sedangkan dia, si mujahidah cilik sudah melesat mendahului yang lainnya. Aku pun tidak mau ketinggalan, karena kebetulan dia berada tepat di depanku, maka akupun berusaha mendampinginya. Maklum, jalan yang kami lalui tidak mulus, ada beberapa jalan yang terjal dan butuh kehati-hatian ekstra untuk melewatinya.

Sepanjang perjalanan bersamanya, aku sempatkan mengajak gadis cilik berbaju biru ini untuk berkenalan dan ngobrol-ngobrol ringan menanyakan seputar keluarga dan sekolahnya. Yaa.. pertanyaan standar saat perkenalan untuk memecah kekakuan. Dari obrolan singkat kami, barulah aku tahu ternyata umurnya masih 7 tahun dan duduk di kelas dua SD. Sungguh masih sangat muda tentunya. Ketika aku bertanya, “Gak capek?.”

 Mujahidah cilik menjawab dengan lugu,”Enggak.”

“Masih semangatkan?” tanyaku memastikan.

“iya, masih.” Jawabnya sambil mengangguk.

“Kenapa kok semangat banget? Kan jalannya jauh, mendaki, di hutan lagi.” tanyaku ingin tahu, mencoba mendalami apa yang sebenarnya membuat seorang anak kecil terlihat selalu bersemangat menempuh perjalanan yang melelahkan ini.

”Hmmm…” dia terlihat malu untuk menjawab.

“Pasti semangat mau nyeritain ke temen-temen ya, kalau liburannya mendaki bukit di dalam hutan dan sampai ke air terjuuuunnn” aku berusaha menebak sambil menggoda.

“Hehe.. Iya,jawabnya sambil mengangguk pelan, malu-malu.

Luar biasa, pikirku. Ternyata benar, jika kita punya tujuan dan gambaran jelas tentang kebahagian yang akan kita dapatkan dalam perjuangan ini, kita pasti akan senantiasa bersemangat menjalaninya, walaupun jalan yang ditempuh tidak mudah. Oh mujahidah cilik, tanpa sengaja kau telah mengingatkanku kembali akan pentingnya tujuan.

Selama perjalanan, aku masih berusaha selalu mendampingi si bidadari berbaju biru itu, beberapa kali sempat aku menawarkan untuk berhenti sejenak, karena sudah tidak tega melihat dia yang kelelahan, dan karena akupun sebenarnya juga merasakan kelelahan yang sama, tapi dia menolak dan berkata,”nanti aja kalau udah capek.”

“Wah, kalau gitu sekarang belum capek donk.” Kataku 

“Capek juga, tapi masih bisa ditahan.” Jawabnya polos.

Ya Allah,, sekali lagi Engkau beri hamba pelajaran dari gadis cilik ini. Dia mau menahan lelahnya, demi merasakan indahnya perjuangan menaklukkan jalan ini. Begitu pula dalam perjuangan dakwah ini memang akan ada lelah dan payah, tapi jika kita mampu bertahan tentunya akan ada banyak hal indah yang bisa kita caritakan untuk dijadikan pelajaran. Setelah beberapa lama berjalan, akkhirnya sampailah kami pada pendakian terakhir, dan ini adalah pendakian yang paling terjal dari sebelumnya, maka sekali lagi aku menawarkan,”Mau istirahat dulu sebelum mendaki atau masih semangat?” tanyaku dengan penuh senyuman melihat ke arahnya.

“Nanti aja, pas sampai atas” jawabnya mantap

“Seriuuuss….??” Tanyaku menggoda.

“Iya, nanti aja sekalian istirahatnya, pas udah nyampe  atas.” 

“Oke. Kalau nanti capek dan gak kuat, bilang ya..” cucuran keringat dan wajah yang mulai pucat perlahan terlihat menggantikan rona wajahnya, jilbab biru tua yang dikenakannya, mulai terlihat agak miring ke kiri, beberapa helai rambut terlihat mengintip ke luar, seakan ingin ikut meneriakan betapa perjalanan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Ada rasa khawatir melintas di pikiranku, kalau-kalau nanti mujahidah cilik ini tidak kuat dan jatuh pingsan. Tapi syukurlah, rupanya dia masih bertahan.

Saat sampai di tengah pendakian,”Istirahat dulu deh kayaknya” katanya dengan nafas ngos-ngosan sambil memegangi kaki.

“Oh mau istirahat? Boleh. Yuukk” kataku.

Kamipun mengambil posisi menepi. Sambil berselonjor di atas rumput, akupun mengeluarkan botol air minum dari dalam tasku, dan memberikannya pada bidadari cilik di sampingku. Aku persilahkan dia minum duluan. 

Ketika kami sedang beristirahat, beberapa teman-teman yang lain lewat sambil menyapa dan berujar, “Wah, luar biasanya adinda cilik kita satu ini. Jauh loh padahal, masih semangat aja kayaknya.” Begitulah kira-kira komentar dari beberapa teman-teman yang lewat di depan kami. Dan yang dipuji, hanya diam dan tersipu malu.

“Udah pada lewat ya? Yang lain masih ada gak di belakang?” mujahidah yang satu ini terlihat mulai khawatir, kalau-kalau dia malah jadi yang terakhir sampai nantinya.

 
“Gak kok” jawabku. “Abi masih di belakang kayaknya.” Kataku sambil melihat ke jalan di belakang kami, karena yakin tadi Abi si mujahidah ini masih di belakang. Ternyata benar saja, selang beberapa saat, munculah seorang Bapak-bapak muda mengenakan celana gunung, baju kaos lengkap dengan ransel dan kantong plastik menggelayut di tali ranselnya, dia adalah abinya si gadis cilik di sampingku.

“Abi, kok sendiri bi? Ummi sama adek mana?” mujahidah cilik bertanya pada abinya.

“Ummi sama adek naik sampan. Tadi kebetulan ada yang nawarin naik sampan.” Sang Abi menjelaskan.

“Oh, naik sampan ya..” katanya dengan ekspresi yang bisa dikatakan biasa saja. Datar. 
Tak ada kecemburuan ataupun penyesalan. Tidak ada terlihat raut sedih, ataupun pertanyaan-pertanyaan keluhan seperti, kenapa tadi aku duluan ya? Kalau gak duluan pasti bisa naik sampan sama Ummi, gak perlu capek-capek jalan. Lagian kenapa ummi curang sih pake naik sampan segala? Atau raut-raut kecawa lainnya, sama sekali tak ada terlukis sedikitpun di wajahnya. Yang terlihat hanya senyuman kebahagian karena dia mampu melewati perjalanan yang tidak mudah ini. Sungguh, sekali lagi aku belajar. Betapa tidak perlu mempersoalkan nikmat yang didapatkan oleh orang lain, cukup berbahagialah dengan apa yang sudah ada pada diri kita.

“Masih mau istirahat, atau lanjut jalan sama Abi?” Abi sang mujahidah bertanya sambil berjalan-jalan kecil mengatur nafas.

“Lanjut jalan sama abi ajalah, bi.” Diapun berdiri dan berjalan mengikuti abinya dan mengambil posisi berdampingan.

Aku berjalan pelan di belakang mereka, sambil terus memperhatikan gadis cilik berbaju biru di depanku. Mujahidah cilik mendongak ke atas, melihat ransel dan kantok plastik yang bergelayut di tali tas ransel sang abi, lalu berkata “Abi berat bawanya, bi? Ada yang mau dibantu?” tanyanya dengan tulus dan polos pada sang abi.

“Gak, gak apa kok.” Jawab Abi sambil tersenyum, lalu menggandeng tangan bidadari ciliknya.
ilustrasi: nyaplok di google

Dan untuk kesekian kalinya, kembali aku disadarkan olehnya, si gadis cilik berbaju biru. Ya Allah, betapa di kondisi sulit seperti inipun, di mana badan terasa lelah, kaki seakan mau patah dan keringat mengalir deras ke segala arah, dia justru dengan tulus menawarkan bantuan kepada orang lain. Padahal bisa ku lihat dengan jelas, bahwa beban tas ransel dan kantong plastik yang disandang sang abi dipunggungnya, sebenarnya tidak terlalu membebani bagi seorang laki-laki. Tapi, sepertinya rasa kepeduliannya terhadap orang yang dicintai, membuat ia tak lagi memikirkan itu semua. Yang ia tahu, perjalanan ini melelahkan, dan pasti abi perlu bantuan.
 
Sungguh, perjalanan kali ini, aku rasa bukan sekedar wisata jasadiyah, melainkan juga perjalanan ruhani yang mengajarkan begitu banyak arti dalam kehidupan. Karena sesungguhnya pelajaran hidup ini, bisa kita dapat dari siapa saja, termasuk dari seorang anak kecil sekalipun. 
Kepadamu Syifa, sang mujahidah, bidadari cilik berbaju biru. Terima kasih karena tanpa sengaja kau telah mengajari dan mengingatkanku kembali tentang arti perjuangan, semangat, peduli dan empati. Semoga kelak, Allah menjadikanmu salah satu pejuang untuk menegakkan islam di bumi pertiwi. Aamiin.

Wisata Alam ODOJ RIAU.
15 MARET 2015

3 komentar:

  1. Subhanallah, bidadari kecil yang luar biasaaa😍😍

    BalasHapus
  2. suka banget anak keciiil >_< lucu gak kak anaknyaa? hehe

    BalasHapus
  3. Baca tulisan kak ci jadi terasa kebawa suasana dalam ceritanya. Keren kak ��

    BalasHapus