Lebih kurang minggu yang lalu, aku baru
saja mengikuti salah satu agenda wisata alam yang diadakan oleh komunitas One
Day One Juz atau yang lebih terkenal dengan sebutan ODOJ. Di luar dugaan aku,
ternyata dalam agenda ini ada salah seorang umahat (ibu-ibu) yang ikut membawa
suami dan anak-anaknya. Luar Biasa. Mereka semua terlihat begitu semangat,
terutama anak-anaknya. Umahat ini membawa 3 orang anaknya yang masing-masing
berusia lebih kurang 9 tahun, 7 tahun, dan 5 tahun. Walaupun jalan yang harus
ditempuh untuk mencapai lokasi wisata, yakni air terjun ini tidak mudah, tapi
mereka para mujahid kecil ini terlihat begitu semangat tak kenal lelah.
Bayangkan, dengan usia mereka yang masih kanak-kanak, harus menempuh jalan setapak di dalam hutan
berbukit yang jalannya naik turun dan melewati dua buah anak sungai bebatu, dan
perjalanan ini memakan waktu lebih kurang 30 menit dengan berjalan kaki.
Selama perjalanan ini, aku mendapat
pelajaran berharga dari mereka, terutama si gadis berbaju biru, mujahidah kecil
berusia 7 tahun. Saat perjalanan pulang dari lokasi air terjun menuju tempat
Bus kami diparkirkan, aku berkesempatan mendampinginya karena sang abi dan ummi
masih tertinggal berjalan di belakang kami. Sedangkan dia, si mujahidah cilik
sudah melesat mendahului yang lainnya. Aku pun tidak mau ketinggalan, karena
kebetulan dia berada tepat di depanku, maka akupun berusaha mendampinginya. Maklum,
jalan yang kami lalui tidak mulus, ada beberapa jalan yang terjal dan butuh
kehati-hatian ekstra untuk melewatinya.
Sepanjang perjalanan bersamanya, aku
sempatkan mengajak gadis cilik berbaju biru ini untuk berkenalan dan ngobrol-ngobrol
ringan menanyakan seputar keluarga dan sekolahnya. Yaa.. pertanyaan standar
saat perkenalan untuk memecah kekakuan. Dari obrolan singkat kami, barulah aku
tahu ternyata umurnya masih 7 tahun dan duduk di kelas dua SD. Sungguh masih
sangat muda tentunya. Ketika aku bertanya, “Gak capek?.”
Mujahidah cilik menjawab dengan lugu,”Enggak.”
“Masih semangatkan?” tanyaku memastikan.
“iya, masih.” Jawabnya sambil mengangguk.
“Kenapa kok semangat banget? Kan jalannya
jauh, mendaki, di hutan lagi.” tanyaku ingin tahu, mencoba mendalami apa yang
sebenarnya membuat seorang anak kecil terlihat selalu bersemangat menempuh
perjalanan yang melelahkan ini.
”Hmmm…” dia terlihat malu untuk menjawab.
“Pasti semangat mau nyeritain ke
temen-temen ya, kalau liburannya mendaki bukit di dalam hutan dan sampai ke air
terjuuuunnn” aku berusaha menebak sambil menggoda.
“Hehe.. Iya,” jawabnya sambil mengangguk
pelan, malu-malu.
Luar biasa, pikirku. Ternyata benar, jika
kita punya tujuan dan gambaran jelas tentang kebahagian yang akan kita dapatkan
dalam perjuangan ini, kita pasti akan senantiasa bersemangat menjalaninya, walaupun
jalan yang ditempuh tidak mudah. Oh mujahidah cilik, tanpa sengaja kau telah
mengingatkanku kembali akan pentingnya tujuan.
Selama perjalanan, aku masih berusaha
selalu mendampingi si bidadari berbaju biru itu, beberapa kali sempat aku
menawarkan untuk berhenti sejenak, karena sudah tidak tega melihat dia yang
kelelahan, dan karena akupun sebenarnya juga merasakan kelelahan yang sama,
tapi dia menolak dan berkata,”nanti aja kalau udah capek.”
“Wah, kalau gitu sekarang belum capek
donk.” Kataku
“Capek juga, tapi masih bisa ditahan.”
Jawabnya polos.
Ya Allah,, sekali lagi Engkau beri hamba
pelajaran dari gadis cilik ini. Dia mau menahan lelahnya, demi merasakan
indahnya perjuangan menaklukkan jalan ini. Begitu pula dalam perjuangan dakwah
ini memang akan ada lelah dan payah, tapi jika kita mampu bertahan tentunya
akan ada banyak hal indah yang bisa kita caritakan untuk dijadikan pelajaran.
Setelah beberapa lama berjalan, akkhirnya sampailah kami pada pendakian
terakhir, dan ini adalah pendakian yang paling terjal dari sebelumnya, maka
sekali lagi aku menawarkan,”Mau istirahat dulu sebelum mendaki atau masih
semangat?” tanyaku dengan penuh senyuman melihat ke arahnya.
“Nanti aja, pas sampai atas” jawabnya
mantap
“Seriuuuss….??” Tanyaku menggoda.
“Iya, nanti aja sekalian istirahatnya, pas udah nyampe atas.”
“Oke. Kalau nanti capek dan gak kuat,
bilang ya..” cucuran keringat dan wajah yang mulai pucat perlahan terlihat menggantikan
rona wajahnya, jilbab biru tua yang dikenakannya, mulai terlihat agak miring ke kiri, beberapa helai rambut terlihat mengintip ke luar, seakan ingin ikut meneriakan betapa perjalanan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Ada rasa khawatir melintas di pikiranku, kalau-kalau nanti
mujahidah cilik ini tidak kuat dan jatuh pingsan. Tapi syukurlah, rupanya dia
masih bertahan.
Saat sampai di tengah
pendakian,”Istirahat dulu deh kayaknya” katanya dengan nafas ngos-ngosan sambil
memegangi kaki.
“Oh mau istirahat? Boleh. Yuukk” kataku.
Kamipun mengambil posisi menepi. Sambil
berselonjor di atas rumput, akupun mengeluarkan botol air minum dari dalam
tasku, dan memberikannya pada bidadari cilik di sampingku. Aku persilahkan dia
minum duluan.
Ketika kami sedang beristirahat, beberapa teman-teman yang lain lewat sambil menyapa dan berujar, “Wah, luar biasanya adinda cilik kita satu ini. Jauh loh padahal, masih semangat aja kayaknya.” Begitulah kira-kira komentar dari beberapa teman-teman yang lewat di depan kami. Dan yang dipuji, hanya diam dan tersipu malu.
Ketika kami sedang beristirahat, beberapa teman-teman yang lain lewat sambil menyapa dan berujar, “Wah, luar biasanya adinda cilik kita satu ini. Jauh loh padahal, masih semangat aja kayaknya.” Begitulah kira-kira komentar dari beberapa teman-teman yang lewat di depan kami. Dan yang dipuji, hanya diam dan tersipu malu.
“Udah pada lewat ya? Yang lain masih ada
gak di belakang?” mujahidah yang satu ini terlihat mulai khawatir, kalau-kalau
dia malah jadi yang terakhir sampai nantinya.
“Gak kok” jawabku. “Abi masih di belakang
kayaknya.” Kataku sambil melihat ke jalan di belakang kami, karena yakin tadi
Abi si mujahidah ini masih di belakang. Ternyata benar saja, selang beberapa
saat, munculah seorang Bapak-bapak muda mengenakan celana gunung, baju kaos
lengkap dengan ransel dan kantong plastik menggelayut di tali ranselnya, dia adalah
abinya si gadis cilik di sampingku.
“Abi, kok sendiri bi? Ummi sama adek mana?”
mujahidah cilik bertanya pada abinya.
“Ummi sama adek naik sampan. Tadi kebetulan
ada yang nawarin naik sampan.” Sang Abi menjelaskan.
“Oh, naik sampan ya..” katanya dengan
ekspresi yang bisa dikatakan biasa saja. Datar.
Tak ada kecemburuan ataupun penyesalan. Tidak ada terlihat raut sedih, ataupun pertanyaan-pertanyaan keluhan seperti, kenapa tadi aku duluan ya? Kalau gak duluan pasti bisa naik sampan sama Ummi, gak perlu capek-capek jalan. Lagian kenapa ummi curang sih pake naik sampan segala? Atau raut-raut kecawa lainnya, sama sekali tak ada terlukis sedikitpun di wajahnya. Yang terlihat hanya senyuman kebahagian karena dia mampu melewati perjalanan yang tidak mudah ini. Sungguh, sekali lagi aku belajar. Betapa tidak perlu mempersoalkan nikmat yang didapatkan oleh orang lain, cukup berbahagialah dengan apa yang sudah ada pada diri kita.
Tak ada kecemburuan ataupun penyesalan. Tidak ada terlihat raut sedih, ataupun pertanyaan-pertanyaan keluhan seperti, kenapa tadi aku duluan ya? Kalau gak duluan pasti bisa naik sampan sama Ummi, gak perlu capek-capek jalan. Lagian kenapa ummi curang sih pake naik sampan segala? Atau raut-raut kecawa lainnya, sama sekali tak ada terlukis sedikitpun di wajahnya. Yang terlihat hanya senyuman kebahagian karena dia mampu melewati perjalanan yang tidak mudah ini. Sungguh, sekali lagi aku belajar. Betapa tidak perlu mempersoalkan nikmat yang didapatkan oleh orang lain, cukup berbahagialah dengan apa yang sudah ada pada diri kita.
“Masih mau istirahat, atau lanjut jalan
sama Abi?” Abi sang mujahidah bertanya sambil berjalan-jalan kecil mengatur
nafas.
“Lanjut jalan sama abi ajalah, bi.” Diapun
berdiri dan berjalan mengikuti abinya dan mengambil posisi berdampingan.
Aku berjalan pelan di belakang mereka,
sambil terus memperhatikan gadis cilik berbaju biru di depanku. Mujahidah cilik
mendongak ke atas, melihat ransel dan kantok plastik yang bergelayut di tali
tas ransel sang abi, lalu berkata “Abi berat bawanya, bi? Ada yang mau
dibantu?” tanyanya dengan tulus dan polos pada sang abi.
“Gak, gak apa kok.” Jawab Abi sambil
tersenyum, lalu menggandeng tangan bidadari ciliknya.
ilustrasi: nyaplok di google |
Dan untuk kesekian kalinya, kembali aku
disadarkan olehnya, si gadis cilik berbaju biru. Ya Allah, betapa di kondisi sulit seperti
inipun, di mana badan terasa lelah, kaki seakan mau patah dan keringat mengalir
deras ke segala arah, dia justru dengan tulus menawarkan bantuan kepada orang
lain. Padahal bisa ku lihat dengan jelas, bahwa beban tas ransel dan kantong
plastik yang disandang sang abi dipunggungnya, sebenarnya tidak terlalu
membebani bagi seorang laki-laki. Tapi, sepertinya rasa kepeduliannya terhadap
orang yang dicintai, membuat ia tak lagi memikirkan itu semua. Yang ia tahu,
perjalanan ini melelahkan, dan pasti abi perlu bantuan.
Sungguh, perjalanan kali ini, aku rasa
bukan sekedar wisata jasadiyah, melainkan juga perjalanan ruhani yang
mengajarkan begitu banyak arti dalam kehidupan. Karena sesungguhnya pelajaran
hidup ini, bisa kita dapat dari siapa saja, termasuk dari seorang anak kecil sekalipun.
Kepadamu Syifa, sang mujahidah, bidadari
cilik berbaju biru. Terima kasih karena tanpa sengaja kau telah mengajari dan
mengingatkanku kembali tentang arti perjuangan, semangat, peduli dan empati. Semoga
kelak, Allah menjadikanmu salah satu pejuang untuk menegakkan islam di bumi
pertiwi. Aamiin.
Wisata Alam ODOJ RIAU.
15 MARET 2015
Subhanallah, bidadari kecil yang luar biasaaa😍😍
BalasHapussuka banget anak keciiil >_< lucu gak kak anaknyaa? hehe
BalasHapusBaca tulisan kak ci jadi terasa kebawa suasana dalam ceritanya. Keren kak ��
BalasHapus