Kamis, 29 Oktober 2015

Miss. Tulis

Yuhuuu...

Jadi ceritanya beberapa waktu lalu dapat tantangan nulis duet dari salah seorang temen di grup. Awalnya sih nggak bisa ikutan, karena lagi 'sok sibuk' dan HP lagi ngambek. Hiks. Tapi ternyata eh ternyata, HP aku ngambeknya nggak lama karena segera aku bawa ke dokternya kemarin. Hehe.

So, dengan berbekal todongan dadakan dari Dini, dan deadline yang mepet, finally jadilah cerpen seperti di bawah ini. Selamat menikmati, Guys!

Oh ya, cerita ini ditulis dengan dua sudut pandang, sudut pandang aku (Cici) dan Dini. Nama-nama tokoh yang ada di tulisan ini juga asli loh. Mereka semua temen-temen aku di grup. Tapi, untuk ceritanya sendiri tentunya nggak, itu hanya fiksi. Buat seru-seruan aja. Hahaha.

Oke, let's cekidot. 

 ***

PoV-Dini

Pagi ini indah. Pagi ini cerah. Pokoknya pagi ini sebunga-bunga jilbab yang aku pakai dah. Tau kenapa? Nana hari ini mau traktir kami berempat nonton film. Yeaaay!!! Nana kesayangan banget deh! Tau aja kantong lagi kosong dan kita pengen banget nonton film itu. Yoiii, walaupun beda-beda emosi, tapi soal film aksi sih kami bakal beraksi. #Eh

Kami janjian di depan Depok Town Square (Detos). Terlihat di sana sudah ada Ruru dan Zu. Eh, tapi kenapa si Zu mukanya ditekuk begitu yak? Aku pun menghampiri mereka.

"Hoi, yang lain mana?" tanyaku.

"Belum dateng," sahut Zu masih dengan muka tertekuk.

"Lo kenapa, Zu?" tanyaku.

"Biasa... Nih, si Miss.Tulis Ruru. Gak bisa liat orang seneng dikit. Gue kan mau cerita tentang gue ketemu cowok cakep di kereta tadi. Eh, dia seperti biasa nyuruh gue nulis. Ilang udah mood gue buat cerita," jawab Zu dengan bersungut-sungut. Duh, Zu! Kalo cemberut jadi tambah gendut. #Ups

"Hahahaha. Lah, elo kan tau banget dia kagak suka dengerin cerita. Miss Tulis kan lebih suka baca cerita. Lo juga sih, lagian ngapain cerita ke dia?" kataku sambil tertawa.

"Abis bete nungguin kalian. Kan enak kalo bisa ngobrol gitu." Bibir Zu sudah sedikit bisa tersenyum.

Ruru yang dibicarakan sejak tadi hanya diam memangku bukunya. Heuh! Sahabatku yang satu ini memang aneh. Sepertinya kebiasaan dia membaca buku membuat dia punya sindrom nggak bisa mendengarkan cerita orang lain. Makanya dia lebih senang orang lain menulis untuknya.

"Ru, lagi baca buku apa?" tanyaku mencoba membuka pembicaraan.

Ruru hanya mengangkat bukunya agar aku bisa membaca judul buku tersebut. Aku dan Zu tertawa berbarengan karena melihat judul buku itu. Bisa dong kalian bayangin kalau judul bukunya 'Nikah, kan?' kalian semua pasti bakal ketawa.

And, as always Miss.Tulis ini hanya bersikap datar, seolah-olah kami cuma angin semriwing yang datang. Sebal sih, tapi mau gimana lagi, kan? Untungnya tak lama kemudian sahabat-sahabatku yang rusuh lainnya datang. Nana dan Cici.

"Sorry ya lama. Gue jemput Cici dulu tadi," kata Nana meminta maaf.

"Hah? Lo jemput Cici dari Pekanbaru?" tanya Zu polos seperti biasa.

"Bukanlah, dodol. Si Cici kan lagi ikut tantenya di Tangerang," jawab Nana sambil menggetok kepala Zu yang disambut tawa kami tanpa Ruru.

"Psst... Ruru baca apa sih? Serius banget," tanya Cici.

Aku bertatapan dengan Zu, kemudian...
"Hahahahaha," tawa kami meledak.

Nana dan Cici yang tak tahu apa-apa, mengernyit sebal.

"Apaan sih?" desak Nana.

"Udah masuk dulu aja yuk. Keburu mulai filmnya. Tar gue ceritain," rayuku pada Nana. Secara, udah panas gilak di luar sini.

***
PoV-Cici
 
"Wah... Keren banget ya filmnya tadi. Pengen deh, punya pacar jagoan kayak si Zacky," komentar Zu ketika kami baru keluar dari bioskop.

"Iya. Udah cakep, baik, jago bela diri lagi. Siapa sih yang nggak mau?" Nana menimpali.

"Hu... maunya. Ngarep niy yee..." kata Dini.

"Alah elo, Din. Emang lo gak mau?" Sungut Zu.

"Loh. Gue kan nggak bilang nggak mau. Tapi gue cuma bilang, kalian pada ngarep." Dini membela diri.

"Trus, emang lo nggak ngarep, Din?" Aku menimpali.

"Ya pengen juga dong. Haha" Dini tertawa garing. Tiga pukulan mendarat di badannya. Ya, hanya tiga pukulan. Minus satu dari kami berempat. Karena seperti biasa, Si Ruru Miss.Tulis nggak bakal ikut-ikutan soal beginian.

"Au... Sakit tau..." Dini cemberut.

"Bodoooo..." paduan suara kompak Zu, Nana, dan aku, komplit dengan cibiran.

"Eh. Eh... liat deh. Si Miss.Tulis beneran no comment ya..." Zu mencolek lenganku. Sedang yang diomongin berjalan santai di depan kami yang rusuh dari tadi. Santai? Lebih tepatnya jalan serius sendirian, sesekali menatap misterius--tatapan yang sulit aku terjemahkan--buku di tangannya.

"Ru, gimana menurut lo film tadi?" Aku mencoba menjajari langkahnya, di depan.

"Biasa aja,"  jawab Ru datar.

Hah? Biasa aja? Aku melotot. Gak percaya. "Kalau pemainnya? Ganteng gak?" tanyaku lagi. Kali ini pasti jawabannya beda, aku yakin.

"Biasa aja," jawab Ru cuek. Ekspresi datar makin menjadi.

Gubrak! Ni anak beneran datar, apa nggak punya perasaan sih? Film segitu keren dibilang biasa aja. Pemainnya yang super ganteng itu juga dibilang biasa aja. Uh! Sebel. Padahal kan aku cuma niat mencairkan ekspresinya yang beku. Uh! Aku berbalik ke belakang.  Zu, Nana, dan Dini memegang perut menahan tawa.

Tiba-tiba...

"Eh. Ada apa tu di sana? Kok pada rame-rame?" tanyaku entah pada siapa.

"Mana, mana?" Zu clingak-clinguk kiri-kanan.

"Bukan di sana. Tapi di sanaaaa..." Nana mengamit dan memalingkan wajah Zu ke arah yang kubicarakan.

"Meet and Greet bareng Eko Candriko, penulis buku Nikah, kan?" Dini mengeja tulisan yang terpampang di banner dekat kerumunan. Lalu tertawa, "Jodoh lo nih, Ru. Penulis buku yang lo pegang sekarang datang ke sini. Haha."

"Serius? Mana?" Ru antusias.

Aku, Zu, Nana dan Dini bersitatap. Heran. Tumben nih anak bisa kasih ekspresi lain, selain ekspresi datar? Apa jangan-jangan dia jatuh cinta?

"Udah, Ru. Buruan sana. Ambil posisi paling depan. Lo mau minta tanda tangan, kan? Siapa tahu dapat tanda hati sekalian." Nana tertawa garing.

Ruru mendekati kerumunan. Sedangkan kami, memilih mendekati outlet ice bubble di dekat podium, warna-warni bubble telah memanggil untuk segera dinikmati.

Di luar perkiraan, bukannya menerobos kerumunan untuk maju paling depan lalu minta tanda tangan, Ruru malah berdiri mematung di barisan paling belakang. Menatap lamat-lamat pemuda yang duduk di podium mini, di depan para fans nya. Hingga acara Meet and Greet itu bubar, Ruru masih berdiri mematung di sana. Matanya masih terpaku pada sosok pemuda di depannya. Entah sadar atau tidak, Ruru kini malah jadi makhluk paling mencolok di area Meet and Greet tadi. Karena hanya tinggal dia sendiri yang masih berdiri di sana, sedangkan yang lain sudah bubar beberapa menit yang lalu.

"Uh, dasar Miss.Tulis banget nih si Ruru. Liat deh!" Nana menyikut lenganku yang tengah asik menghabiskan tetes terakhir ice bubble.

"Aduh. Apa sih, Na?" Aku ngomel.

"Itu, Si Ruru. Gila ya dia. Masa masih di sana aja. Gak tahu apa udah pada bubar?"

"Udah. Kita samperin aja deh. Kasian juga liat dia masih di situ sendirian. Kayaknya udah kesambet deh."

"Hush. Jangan asal ngomong. Udah yuuk ki--" Tak sempat Dini menyelesaikan perkataannya, karena seorang pemuda lebih dulu datang menghampiri Ruru.

"Maaf, mau minta tangan, ya?" Sapa pemuda itu sopan. Yang ditanya gelagapan.

Eko? Kami berempat saling pandang.

***
PoV-Dini
 
Sumpah yak! Baru kali ini banget aku lihat Ruru jadi cewek normal. Gimana nggak? Lihat deh! Mukanya ada ekspresinya gitu. Tersipu malu-malu waktu penulis buku favoritnya nyamperin dia. Kita berempat cuma bisa melongo.

"Guys, ini nggak bisa dibiarin. Kita harus jodohin Ruru sama orang itu!" sahutku antusias.

"Gue setuju banget saran lo, Din. Kayak hidayah buat muka datarnya Ruru tuh." sambut Cici tak mau kalah.

"Tapi gimana caranya? Lihat tuh kelakuan si Ruru." kata Nana membuat kita berempat menoleh ke arah yang sama. Yaps, Ruru masih mematung kayak sapi ompong. Ckckck. Ekspresinya itu loooh... kayak dia ngeliatin buku yang dia suka pake banget. Di mukanya tuh kayak ada tulisan 'Ini punya gue. Ini punya gue!'.

"Kok bengong?" Dari jarak yang agak jauh kami mendengar Eko berkata begitu pada Ruru.

"Eh.. Iya. Aku mau minta tanda tangan." Walaupun samar, kita berempat yakin muka Ruru sedikit memerah.

"Gimana bukunya?" tanya Eko sambil memandang wajah Ruru. Aaaak, Ruruuuu beruntung banget siiih. *sambil gigit tisu*

"Bagus. Aku suka sama gaya tulisannya. Dan terlebih aku suka banget sama EYD-nya. Rapih banget," jawab Ruru sedikit berbinar.

Oke, fix. Kalian semua pasti bakal pengen narik Ruru dari situ terus jitak tuh anak. Kesempatan ngobrol sama cowok, masih aja dia bahas soal EYD. Nana udah hampir ambil langkah ngajak ribut Ruru tapi ditahan Zu. Udah berasa kayak benteng takeshi.

"Waw, baru kali ini ada orang yang memuji bukuku dari segi EYD. Kayaknya kamu tau banyak ya soal kepenulisan?"

Ngek-Ngok. Ternyata Eko sama anehnya kayak Ruru. Kita berempat pun melongo lagi.

"Ng... nggak juga. Aku cuma suka banget baca buku," kata Ruru tersipu.

"Wah, menarik. Oh, ya. Namamu siapa? Siapa tau kita bisa bekerja sama dalam hal kepenulisan." Waw, tawaran yang sangat menggiurkan.

"Ruru. Hmm.. boleh." Yah, Si Miss.Tulis keluar aslinya lagi. Datar.

"Oke. Ada kartu nama, Ru?"

Ruru pun memberikan kartu namanya pada Eko.

"Kayaknya kita nggak perlu usaha jodohin mereka lagi deh. Tuh udah kemajuan banget," kata Zu sambil memperbaiki posisi kacamata yang ditaruh di atas kepala.

Setelah Eko pergi, kami pun menghampiri Ruru. Apalagi kalau bukan untuk menggodanya.

"Ehem.. Cie... Gimana Ru perasaannya?" godaku.

"Iya, Ru. Kok bisa sampe bengong lama gitu ngeliatin doi? Apa bedanya sama penulis lain?" tanya Cici dengan suara manjanya.

"Nanti deh gue tulis di email."

Tettooott... Haaffft, Miss.Tulis beraksi lagi. Untungnya, dia sahabat kita. Coba kalo maling, udah kita gebukin dan kita geret ke kantor polisi buat digantung, eh, diinterogasi.

***
PoV-Cici
 
Tak disangka pertemuan singkat dua makhluk aneh, eh dua insan alias Ruru dan Eko beberapa waktu lalu menunjukkan kemajuan pesat. Bahkan kami para saksi mata sempat ketinggalan perkembangan info ter-update soal mereka.

"Udah kayak seleb aja tuh, si Miss datar dikepoin," Zu menggerutu.

"Iya juga sih ya. Ngapain coba kita ampe kepo segininya, ampe rela nungguin  perkembangan kisah cinta mereka di blognya Ruru? Padahal kan, biasanya disuruh baca aja kita ogah." Nana ikutan ngomel. 

Dan untuk mengurangi kekesalannya, tentu saja seperti biasa cemilan Dini jadi sasarannya. Maka terjadilah aktraksi rebut-rebutan snack antara Dini dan Nana. Selanjutnya, Zu akan datang sebagai penengah di antara keributan mereka. Atau lebih tepatnya Zu sebagai pengambil kebijakan, eh pengambil snack yang jadi rebutan.

"Dari pada kalian berdua ribut, udah siniin snacknya." Zu merebut snack Dini. Dan Nana hanya bisa pasrah.

"Apppah??? Dilamar???" Aku melotot, menatap layar laptop di depanku. Dini, Zu dan Nana sontak kaget mendengar teriakan dan ekspresiku. Bahkan Zu, nyaris menghamburkan snack sesi terakhir yang barusan berhasil direbutnya dari Dini dan Nana.

"Dilamar??? Maksud lo?" Nana menatap heran.

"Iya, dilamar. Ini nih, baca! Miss.Tulis barusan dilamar ama Eko. Dan parahnya, bisa-bisanya dia nggak ngasih tahu kita," kataku sambil menunjuk layar laptop yang di sana terpampang blog Ruru dengan judul 'Lamaran Mister Penulis'.

"Gila nih si Ruru, udah dilamar aja. And gak ngasih tahu kita. Wah, gak bisa dibiarin ini." Zu menggelengkan kepala, nggak terima. Lebih tepatnya mungkin nggak terima kalau ternyata si Miss.Tulis lebih duluan dilamar dari dia.

"Iya, ini nggak bisa dibiarin. Kita harus buat perhitungan sama Ruru. Bisa-bisanya dia gak cerita ama kita." Nana menimpali.

"Buat perhitungan? Perhitungan apa? Kenapa?" tanya Dini polos. Oh My God, Si Dini oon nya kumat, dan tentu saja ini membuat Nana, Zu dan aku semakin kesal. Tulatit kumat di saat yang tidak tepat.

"Tauk ah, Din. Lo tanya aja sama Zu." Nana melengos. Beranjak duluan menuju mobil.

***

"Ru, lo tuh gimana sih? Masa udah lamaran nggak kasih-kasih kabar? Lo anggap kita apa?" Nana langsung nyerocos ketika sampai di rumah Ruru.

"Iya, lo nganggap kita apa? Masa untuk hal sepenting ini lo nggak ngasih kabar ke kita?" Zu menimpali. Sementara aku dan Dini mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Nana dan Zu.

"Aku kan udah ngasih tahu. Udah aku tulis semuanya di blog," jawaban Ruru dan muka datarnya, sontak membuat kami semua makin geram.

Dan akhirnya kami sadar, percuma minta penjelasan, karena ujung-ujungnya bakal dijawab: 'Gue udah tulis semuanya.' Fix, seharusnya kami sadar ini dari awal.

***

Hari yang dinanti-nanti itu akhirnya datang juga. Hari yang dinanti-nanti oleh Ruru, tapi tidak buat kami tentunya. Pernikahan Ruru si Miss.Tulis dan Eko Candriko.

Seperti prosesi jelang ijab kabul biasanya, teman-teman pengantin perempuan pada ngumpul di kamar, menemani calon pengantin. Berusaha menenangkan diri sang pengantin wanita yang perasaannya campur aduk, deg-degan dan bahagia.

Tapi, sepertinya kali ini justru berbeda. Pengantin wanita terlihat biasa aja, datar.

Oh My God, Ruuu... ampe prosesi yang seharusnya paling mendebarkan gini aja ekspresi lo masih datar juga? Kami nggak habis pikir.

"Bagaimana pengantin laki-laki? Sudah siap?" Eko mengangguk.

"Wali? Para saksi? Semua sudah siap?" Pak penghulu menoleh ke arah para saksi dan undangan, semua mengangguk. Termasuk kami yang duduk di ruang dalam, bersebelahan dinding dengan ruang tamu yang dijadikan tempat prosesi ijab kabul. Ruru, duduk manis dengan gaun putihnya, kali ini wajahnya sedikit memerah. Mungkin ada bunga-bunga cinta yang kembali bersemi di hatinya. Aku, Zu, Nana dan Dini duduk bersisian, mengapit sang pengantin.

"Baiklah. Karena semua sudah siap, kita mulai saja ijab kabulnya. Silahkan Pak Parjo dan saudara Eko berjabatan tangan," kata Pak penghulu.

"Sebentar, Pak." Eko terlihat gelagapan.

"Loh, ada apa nak Eko?" tanya Pak Penghulu heran. Sedangkan Pak Parjo, ayah Ruru mengernyitkan dahi, tak mengerti.

"Ada yang punya kertas sama pena nggak?" Eko bertanya ke orang-orang di dekatnya.

"Kertas dan pena? Untuk apa nak Eko?" Kali ini ayah Ruru yang angkat bicara.

"Untuk nulis, Pak. Nulis ijab kabulnya. Karena anak Bapak ini, apa-apa harus ditulis. Saya takut kalau nggak saya tulis nanti dia anggap pernikahan ini nggak sah."

Hahaha... Tawa undangan pecah. Terlebih lagi, kami tentunya, yang tahu betul kebiasaan aneh sang pengantin perempuan. Bahkan Nana, nggak bisa berhenti tertawa hingga prosesi akad benar-benar dimulai.

Selesai.

Dicci (Dini dan Cici)
10.10.2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar