"Beli. Enggak. Beli. Enggak. Beli. Enggak." Aku mengatupkan jemari satu per satu. Menghitung, mencoba megambil keputusan.
"Maaf Bu, jadi beli tiketnya?"
Ngek. Ibu?
Gila nih mbak penjual tiket. Aku masih muda gini dipanggil ibu. Nikah juga belom. Bikin sebel.
Gila nih mbak penjual tiket. Aku masih muda gini dipanggil ibu. Nikah juga belom. Bikin sebel.
"Gimana Bu, jadi? Soalnya itu di belakang ibu, anak-anak
udah ramai ngantri," kata mbak penjual tiket menambahkan. Mbak penjual
tiket yang belakangan kutahu namanya dari name tag yang tertera di
bajunya. Kiki.
"Oh ya, Bu Kiki."
Rasain aku panggil ibu juga. Emang enak?
"Saya nanti aja, masih nunggu temen. Adik-adik ini aja duluan,"
jawabku beralasan.
jawabku beralasan.
Nunggu teman? Helloooo. Aku kan ke sini sendirian, dan emang
lagi nggak janjian sama siapapun? Aduh, kenapa sih, aku malah jadi
bohong gitu cuma karena takut malu?
Setelah keluar dari barisan antrian tiket, aku memilih
mengambil tempat duduk yang hanya berjarak beberapa meter dari loket.
Masih ragu, beli tiket nggak ya? Mau beli tiket tapi malu. Masa udah
gede masih pengen nonton yang beginian, sih? Lagian kalau
dihitung-hitung, ini entah sudah yang keberapa puluh kalinya aku datang
ke tempat ini, hanya untuk menyaksikan keajaiban tata surya pada layar
raksasa dalam ruangan.
Ya, dari zaman masih pakai seragam merah putih
dulu, aku suka ke sini. Planetarium. Tempat di mana aku bisa menikmati
keindahan ruang angkasa dengan cahaya yang berpendar-pendar. Bahkan
tidak hanya itu, ada satu sesi yang paling kusuka, yaitu saat para
peserta diajak seolah-olah menjelajah ruang angkasa, dan mengakhiri
perjalanan dengan mendarat di bumi. Menikmati indahnya langit malam
dengan taburan bintang.
Aku kembali memainkan jemari. Berharap segera bisa
mengambil keputusan untuk membeli tiket atau tidak, saat suara seseorang
memanggilku.
"Hai... Kadhir!" Aku menoleh. "Kadhir lagi di sini juga? Ngapain?" Tiba-tiba saja seseorang yang sangat kukenal dengan keanehannya memanggil namaku itu sudah berada di dekatku.
"Eh. Di... Dini?" jawabku sedikit gelapan.
"Iya. Ini aku kak, Dini. Kadhir ngapain di sini?" selidiknya.
Tuh kan, dia selalu saja memanggilku dengan sebutan itu. Kadhir. Dikira aku temannya Doyok apa?
"Jangan bilang kakak mau nonton di dalam. Nggak mungkin
kan, seorang Nadhira Arini datang ke sini, sendiri lagi, cuma karena
kepengen nonton film tata surya?" tanyanya lagi dengan tatapan seolah
berhasil menebak alasanku sebenarnya.
"Oh... Ya nggaklah," elakku.
"Trus, kalau nggak, ngapain?" selidiknya lagi, yang membuatku sedikit kikuk.
"Kamu sendiri, ngapain ke sini? Jangan-jangan mau nonton juga yaaa..." Yess. Aku berhasil membalikkan kata-katanya.
"Oh. Aku? Kalau aku emang mau nonton, Kak."
Tuh kan, bener. Nih anak juga mau nonton. Huh. Lagaknya aja tadi mau ngetawain aku.
"Tapi, bukan karena aku emang mau nonton, Kak."
Heh?
Seolah mengerti tatapan heranku, Dini melanjutkan kata-katanya.
"Karena ini nih, nemenin mereka." Dini menoleh ke belakang,
menunjuk segerombolan anak-anak yang sudah bersiap untuk mengantri
membeli tiket.
Yah... Kirain, aku bakal dapat temen nonton.
"Hmm... Jadi, Kadhir mau ngapain ke sini?" Pertanyaan itu kembali lagi.
"Oh..." Aku memberi jeda sejenak. Mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Mencoba mencari alasan yang logis. "Tuh, mau beli itu,"
kataku, setelah berhasil menemukan kios sovenir khas Planetarium.
"Oooo... Kadhir mau beli sovenir? Buat apa, Kak?" tanyanya lagi.
Idih. Nih anak beneran kepo apa pengen ngerjain aku sih?
"Buat ponakan aku," jawabku sekenanya. Tapi untuk ini, aku memang tidak berbohong. Aku memang punya ponakan.
"Ponakan Kadhir yang mana?"
Tuh kan, masih nanya lagi nih anak. "Ponakan dari kakak sepupu aku."
"Ooo..." Mulut Dini membulat.
"Aku duluan ya... Mau buru-buru," kataku segera. Sebelum
naluri kepo-nya muncul lagi dan membuatku semakin susah. Segera saja aku
berlalu menuju kios sovenir dan meninggalkan Dini dengan ekspresi
cengo-nya.
"Mba, yang itu dua ya." Aku menunjuk sebuah lampu berbentuk
persegi enam yang bisa mengeluarkan cahaya kerlap-kerlip seperti
bintang. Mirip cahaya bintang ketika kita berada di dalam planetarium.
Sengaja aku membeli dua buah. Satu untukku, dan satu lagi untuk Alif,
anak sepupuku.
Akupun bergegas keluar setelah membayar sejumlah uang
kepada mba penjual sovenir. Menuju rumah Alif. Memenuhi janji. Bukan,
bukan janji. Tapi, membuktikan ucapanku pada Dini tadi, membelikan
sovenir untuk keponakanku.
Alif, sepertinya ini memang rezeki kamu deh,' batinku seraya memacu motor menuju rumahnya.
@ciciliaputri09
Heh. Gue emang udah jadi emak2, wkwkwk
BalasHapus