Kamis, 04 Juni 2015

Sepeda Bayu

Sore itu Deni sedang membereskan tumpukan buku dan file-file kuliahnya yang sudah hampir sebulan dibiarkannya bertumpuk-tumpuk tak beraturan di meja dan di sudut-sudut lantai kamarnya. Belakangan ini, Deni sibuk menyiapkan beberapa agenda besar di kampusnya. Di tengah keseriusannya membenahi tumpukan buku dan file-file miliknya, ada sesuatu yang tiba-tiba menyeret perhatiannya. Sebuah foto yang selalu disimpan dalam buku agendanya, tak sengaja terjatuh, hingga membuat pikirannya kini melayang pada kenangan beberapa tahun yang lalu. Kenangan bersama sahabat masa kecilnya. Bayu.

“Kamu masih nyimpen foto itu, Den?” Tanya Ari, teman sekamar Deni yang sedari tadi ikut membantu Bayu membersihkan kamar mereka. Ari tahu betul, bagaimana kedekatan Bayu dan Deni dulu. Sewaktu mereka masih sama-sama duduk di bangku Sekolah Dasar. Deni, Ari dan Bayu, mereka bertiga sudah kenal sejak masih kecil, karena mereka tinggal dan besar di komplek perumahan yang sama.

“Eh... Iya.” Deni tersadar dari lamunannya. Wajahnya terlihat sendu.

“Hmm... Kalau liat foto ini, pasti kamu jadi inget sama Bayu lagi kan? Aku ngerti perasaan kamu, Den. Wajar sih, kalau tiap liat foto ini kamu selalu teringat sama Bayu, karena kalian kan emang deket banget. Sampe-sampe Pak Rahmat, guru ngaji kita dulu kalau ngabsen nama kalian langsung dijadiin satu. Bayu Deni. Bukan dipanggil satu-satu, tapi sekaligus. Karena kalian pasti duduknya selalu bareng. Hehe”

“Ah. Kamu Ri, masa yang diinget bagian itu sih. Haha.” Deni ikut tertawa. Namun, sejurus kemudian tawanya menghilang, ia kembali menatap sendu pada dua anak yang sedang bersepeda dalam foto yang ada di tangannya. Itu adalah satu-satunya foto kenangan yang ia miliki bersama sahabatnya Bayu. Foto di saat Deni baru bisa bersepeda, sedangkan Bayu sudah lama bisa mengendarai sepeda yang bahkan sebenarnya bukan sepeda yang pantas untuk anak seusia mereka saat itu, karena sepeda yang dipakai Bayu adalah sepeda kakaknya yang berukuran lebih besar dari sepeda teman-temannya yang lain.

Ilustrasi :  Santoso Permadi

“Bayu itu curang, Ri.” Kata Deni memecah keheningan.

“Curang? Curang kenapa?” Ari heran.

“Iya. Dia curang. Dia pergi duluan ninggalin kita. Dan dia pergi di saat kami tengah asik menyelami ilmu agama bareng. Waktu itu kamu masih ingat kan? Kita masih sama-sama kelas lima SD. Tapi dia, udah mikir jauh ke depan, melampui pemikiran anak-anak seusia kita waktu itu. Dan kamu tahu apa yang dia katakan waktu aku hampir putus asa untuk belajar naik sepeda?” Ari menggeleng.

“Waktu itu, Bayu mengatakan “Kita boleh saja menganggap diri kita lemah, tapi bila kita menyerah, bagaimana mungkin kita memperoleh jannah.”

“Hah? Bayu bilang gitu? Seorang anak kelas lima SD, bicara layaknya seorang aktivis kampus? Gimana bisa? Trus apa hubungannya sama naik sepeda?” Ari kaget, nyaris tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan Deni. Atau Deni sedang mengingau? Pikirnya.

“Haha...” Deni malah tertawa. Ari bengong.“Tepat sekali. Apa yang kamu pikirkan sama seperti apa yang ada dipikiranku waktu itu. Tapi itulah Bayu, kata-katanya memang terkadang aneh, melampaui batas anak seusia kita. Mungkin itu karena dia dibesarkan di keluarga yang taat beragama.”

Ari mengangguk-angguk membenarkan. “Lalu, maksud kata-kata Bayu tadi apa? Aku jadi penasaran apa hubungan naik sepeda sama surga.” Desak Ari.

“Jika bisa bersepeda itu tujuan kita dan kita benar-benar menginginkannya, maka kita gak boleh menyerah, walaupun rasanya sungguh payah, dan harus menahan sakit dan luka karena jatuh berkali-kali. Tapi, itulah pengorbanan. Kita akan tahu manisnya pengorbanan kalau kita udah berhasil nanti. Karena berhasil tanpa pengorbanan itu gak asik. Sama kayak belajar naik sepeda, jatuh itu biasa. Yang gak biasa itu kalau kita nyerah karena jatuh. Ingat aja, yang penting kita harus bisa naik sepeda, fokus sama sepeda, bukan jatuhnya.”

“Hmm.. ya ya ya. Sekarang aku ngerti. Begitu juga dengan kita saat ini. Jika kita ingin memperoleh surga, maka kita tidak boleh menyerah karena lemah. Fokus pada surga, maka kelemahan akan terkalahkan. Gitu kan?” Kata Ari seraya memandang ke arah Deni.

“Ya. Kamu bener.” Deni tersenyum. Kemudian kembali menatap foto yang ada di tangannya. “Bay, terima kasih atas apa yang dulu telah kau katakan padaku, karena kata-katamu itulah aku mampu bertahan hingga saat ini. Aku akan selalu berjuang, Bay. Agar kita bisa bersama di surga. Tunggu aku di surgamu.” Deni menerawang. Peristiwa na’as sepulang mengaji itu, telah merenggut nyawa sahabat kecilnya. Bayu tewas tertabrak mobil yang dikendarai oleh seorang pemuda yang sedang mabuk-mabukan. Bayu menghembuskan nafas terakhir saat hendak dibawa ke rumah sakit, ia sempat mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum akhirnya pergi dengan wajah tersenyum, untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar